Sri Sultan Hamengku Buwono IX dilahirkan dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun pada 12 April 1912. Ia adalah anak kesembilan dari Hamengku Buwono VIII (Gusti Pangeran Puruboyo), ibunya adalah Raden Ajeng Kustilah. Ngarso Dalem, demikian beliau disapa sebagai bentuk penghormatan, menjadi putra mahkota Kesultanan Yogyakarta ketika menginjak usia tiga tahun, saat ayahnya naik tahta.
Ketika berumur empat tahun, Dorodjatun harus keluar kraton untuk tinggal bersama keluarga Belanda, Mulder, di wilayah Gondokusuman. Di keluarga inilah kemudian dia mendapatkan nama Henkie yang diambil dari Pangeran Hendrik dari Netherlands. Pendidikan dasar dan menengahnya pada sekolah-sekolah Belanda, kemudian pendidikan tingginya di Belanda. Ekskalasi memanasnya situasi di Eropa yang mengarah pada peperangan, membuatnya harus kembali ke Tanah Air.
Dorodjatun setibanya di Batavia, sekarang Jakarta, langsung disambangi oleh ayahnya. Selama berada di Batavia, Dorodjatun menerima keris Jaka Piturun. Pemberian keris ini sebagai simbol bahwa suksesi di Kesultanan Yogyakarta sudah berlangsung. Dorodjatun adalah penerus Kesultanan Yogyakarta. Pulang ke Yogyakarta, ayahnya jatuh sakit dan langsung dilarikan ke rumah sakit Onder de Bogen. Bulan akhir Oktober 1939, HB VIII mangkat.
Setelah kesepakatan dalam keluarga maka Dorodjatun menjadi HB IX. Gubernur Jendera Hindia Belanda, Lucien Adam kemudian menobatkannya, pertama sebagai putra mahkota dan kemudian disusul sebagai Sultan Yogyakarta. Dorodjatun bergelar sebagai Sampéyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Sénapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sanga.
Saat itu dia menegaskan bahwa meskipun dirinya berpendidikan barat, namun tetap sebagai orang Jawa. HB IX memang dikenal selalu berada bersama rakyat dan Indonesia. Sebagai contoh, untuk mencegah rakyatnya dijadikan romusha oleh tentara Jepang. HB IX kemudian membuat proyek kanal irigasi, Selokan Mataram, dari sungai Progo dan Opak. Alasannya untuk meningkatkan hasil pertanian yang selama ini hanya mengandalkan curah hujan.
Bersama dengan Paku Alam VIII, HB IX sangat mendukung Republik Indonesia sejak dicetuskan Proklamasi 17 Agustus 1945. Perannya sangat besar pada perang kemerdekaan, bahkan membantu dana bagi republik baru ini. Kemudian HB IX mencetuskan perlawanan bersenjata terhadap kedudukan Belanda di Yogyakarta, dikenal dengan peristiwa Serangan Fajar 1 Maret 1949, yang kemudian menjadi kontroversi dalam sejarah.
Dalam masa kemerdekaan HB IX berperan sebagai Gubernur DI Yogyakarta, Menko Pertahanan dan Keamanan, Wakil Presiden, Ketua KONI dan beberapa jabatan lainnya. HB IX juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Mendapatkan medali penghargaan Bronze Wolf dari World Organization of the Scout Movement yang diberikan oleh World Scout Committee. Sampai HB IX wafat tidak pernah mengangkat permaisuri, beliau memiliki empat istri dan 21 anak. ***