Jakarta, Demokratis
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Stella Christie menekankan kecerdasan buatan (AI) tidak akan menggantikan manusia selama pendidikan mampu membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir reflektif, aktif, dan memahami sesama manusia.
Stella melalui keterangan di Jakarta, Kamis (26/6/2025), menekankan penguasaan teknologi saja tidak cukup untuk bersaing di masa depan. Pendidikan harus menumbuhkan karakter, empati, serta kemampuan berpikir tingkat tinggi yang tidak dapat direplikasi oleh mesin.
Ia menilai adanya kecerdasan buatan ini adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri, di mana AI telah hadir dan digunakan oleh 87 persen pelajar di Indonesia (Kemenkominfo 2024) serta 86 persen pelajar global (Statista, Juli 2024).
“Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah kita siap bersaing dengan AI, melainkan apa yang harus kita lakukan sebagai pendidik?” ujar dia.
Stella menekankan bahwa pendidikan di era AI harus menjawab tiga hal pokok. Pertama, peserta didik harus memiliki kemampuan literasi AI.
Menurut dia, hal ini bukan sekadar mengenal atau menggunakan AI, tapi mampu mengartikulasikan secara sistematis dan menilai mana masalah yang dapat diselesaikan AI dan mana yang memerlukan masukan manusia.
“Kedua, pendidikan harus melatih kapasitas pengambilan keputusan manusiawi (human judgment and decision making),” kata Stella.
Ia menjelaskan AI bisa memproses data, tapi tidak bisa menggantikan intuisi, penilaian moral, dan kebijaksanaan kontekstual yang hanya bisa dimiliki manusia.
“Jika pendidikan gagal menanamkan kemampuan ini, maka manusia akan kalah bukan karena AI lebih pintar, tetapi karena manusia menyerahkan seluruh proses berpikirnya kepada mesin,” ungkap profesor bidang psikologi kognitif itu.
Ketiga, sambung Stella, pendidikan harus mendorong agar peserta didik memiliki pengertian atas pemikiran manusia lainnya.
Menurutnya, dalam dunia yang semakin kompleks dan terhubung, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain, membangun dialog, dan menyusun makna bersama adalah keterampilan mendasar yang tidak bisa ditiru oleh mesin.
“AI bisa tumbuh dan berkembang, tetapi hanya manusia yang bisa merasakan, memaknai, dan menyadari. Jika pendidikan terus menjaga akar kemanusiaannya, maka tidak ada alasan untuk takut kalah dari AI,” terang Stella. (Dasuki)