Jakarta, Demokratis
Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan status cekal atau cegah ke luar negeri untuk eks Mendikbudristek Nadiem Makarim. Pendiri aplikasi transportasi daring itu tak bisa berpergian ke luar negeri selama enam bulan ke depan, terhitung per 19 Juni 2025.
“Nadiem masih berstatus saksi, namun status cegah sudah dimintakan sebelum pemeriksaan,” ujar Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar, Jakarta, Jumat (27/6/2025).
Harli menjelaskan, pencegahan dilakukan sebagai bagian dari pengusutan korupsi program digitalisasi pendidikan senilai Rp 9,9 triliun. “Alasannya untuk memperlancar proses penyidikan,” tuturnya menjelaskan.
Diketahui, Nadiem telah diperiksa sebagai saksi selama hampir 12 jam oleh penyidik Jampidsus, Senin (23/6/2025). Ia tiba di Gedung Bundar pukul 09.10 WIB dan keluar sekitar pukul 20.58 WIB, dengan total 31 pertanyaan yang diajukan penyidik.
Usai diperiksa, Nadiem menyatakan akan tetap kooperatif dan menyampaikan pernyataan resmi di hadapan awak media.
“Saya akan terus bersikap kooperatif untuk membantu menjernihkan persoalan ini demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap transformasi pendidikan yang telah kita bangun bersama. Terima kasih dan izinkan saya pulang karena keluarga saya telah menunggu,” kata Nadiem.
Namun, ia enggan menjawab pertanyaan wartawan terkait dugaan keterlibatannya dalam perkara tersebut. Beberapa pertanyaan yang diajukan mencakup dugaan perintah pengkondisian pengadaan Chromebook oleh tiga eks staf khususnya: Jurist Tan, Fiona Handayani, dan Ibrahim Arief; kejanggalan dalam Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021 yang menetapkan spesifikasi laptop pendidikan harus berbasis ChromeOS; serta pernyataan Jurist Tan soal permintaan fee 30 persen kepada Google.
Tanpa memberikan tanggapan, Nadiem langsung masuk ke dalam mobil minibus hitamnya dan meninggalkan lokasi didampingi kuasa hukumnya.
Nadiem diperiksa untuk didalami keterlibatannya dalam rapat pada Mei 2020 yang disebut menjadi titik awal kebijakan pengadaan Chromebook di Kemendikbudristek.
Penyidik menduga adanya permufakatan jahat dalam perubahan kajian teknis pengadaan Chromebook. Padahal, kajian awal pada April 2020 merekomendasikan laptop berbasis sistem operasi Windows. Namun, hasil kajian tersebut berubah pada bulan Juni menjadi ChromeOS.
“Karena kita tahu bahwa sebenarnya kajian teknis itu kan sudah dilakukan sejak bulan April. Lalu pada akhirnya dirubah di bulan, kalau saya nggak salah, di bulan Juni atau Juli,” ujar Harli.
Penyidik juga menyoroti peran dua mantan staf khusus Nadiem, yakni Jurist Tan dan Fiona Handayani, yang diduga mengarahkan tim teknis untuk merekomendasikan Chromebook. Fokus penyidikan turut mengarah pada rapat tertanggal 6 Mei 2020 yang dianggap krusial.
“Nah tetapi sebelum itu ada rapat tanggal 6 Mei 2020 dan oleh penyidik ini yang akan didalami. Nah tentu ada kaitannya juga dengan bagaimana peran dari para stafsus,” katanya.
Selain itu, penyidik turut mempertanyakan sejauh mana pengetahuan dan keterlibatan Nadiem dalam proyek pengadaan laptop senilai Rp9,98 triliun tersebut. Dari total anggaran itu, Rp3,58 triliun berasal dari bantuan TIK tahun 2020–2022 dan Rp6,39 triliun dari Dana Alokasi Khusus (DAK).
“Oleh karenanya, bagaimana pengetahuan yang bersangkutan dalam kapasitasnya sebagai Menteri terkait dengan penggunaan anggaran Rp9,9 triliun ini dalam proyek pengadaan Chromebook ini,” ucap Harli. (Dasuki)