Subang, Demokratis
Pemberantasan korupsi di negeri ini sepertinya masih menggantung di langit, bak mengepel lantai di bawah genting bocor, lantainya tak akan pernah kering, persisnya korupsi terus tumbuh subur.
Perilaku korupsi di negeri ini bukan lagi merupakan gejala, melainkan sudah akut dan merupakan bagian dari kehidupan dan kegiatan di hampir semua lini, baik di birokrasi, sosial, ekonomi, budaya dan tak terkecuali di bidang politik.
Hal tersebut tidak saja merugikan keuangan negara, tetapi juga bisa menghancurkan perekonomian dan menyengsarakan rakyat, dan dalam skala lebih luas juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional sebagai akibat dari efek domino.
Fenomena ini seperti yang melanda di tubuh Pemerintahan Desa Sukatani, Kecamatan Compreng, Kabupaten Subang, terkait penggunaan anggaran desa (baca: Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa/APBDes) bersumber dari Dana Desa (DD), BKUD/K (APBD-II Kabupaten Subang) Banprov (APBD-I Provinsi Jawa Barat), tetapi nyaris tak tersentuh oleh Inspektorat Daerah ataupun aparat penegak hukum (APH), sehingga berpotensi merugikan keuangan negara/desa hingga mencapai ratusan juta rupiah.
Hasil investigasi dan keterangan sejumlah sumber menyebutkan kegiatan yang diduga jadi ajang KKN diantaranya penyertaan modal BUMDes bersumber dari Dana Desa (DD) mencapai senilai puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah diperuntukkan produksi air isi ulang (baca: air galon) tidak jelas juntrungannya, pasalnya hingga kini tidak ada progresnya.
Tak hanya itu dana yang diduga dikorupsi bersumber dari Dana Desa (DD) di TA 2024 mendapat kucuran dana Rp916.300.000 diperuntukan diantaranya program Ketahanan Pangan (Pembangunan Jalan Usaha Tani/JITUT) senilai Rp111.760.000 dalam pelaksanaannya diduga kuat terjadi mark–up anggaran, modusnya dengan cara mengurangi volume fisik, pengadaan matrial tidak sesuai standar pekerjaan (spek) teknis dan RAB, mark–up upah tenaga kerja (HOK), sehingga berpotensi merugikan keuangan negara/desa.
Begitu pula program stunting diduga tidak tepat saasaran dan tidak jelas progresnya. “Dalam pelaksanaan seharusnya anak balita dan ibu hamil mendapat bantuan makanan tambahan guna meningkatkan gizi buruk, ternyata realisasinya tidak jelas,” tandas sumber lagi.
Selanjutnya dugaan penyimpangan dana Bantuan Provinsi (Banprov/APBD-I) setiap tahunnya diterima kisaran Rp130 jutaan, jika ditotal selama 5 tahun akan terhimpun Rp650 jutaan, peruntukannya di antaranya rehab bangunan kator desa dan GOR, namun dalam realisasinya diduga banyak diselewengkan, indikasinya terlihat dari kondisi bangunan kantor desa dan GOR temboknya banyak terkelupas, begitu juga warna cat di seluruh ruangan, baik di bagian luar dan dalam terlihat kusam.
Bukan itu saja, dana program yang diduga dikorupsi dana Bantuan Desa (Bandes) yang diusung melalui aspirasi dewan atau dana pokok pikiran (pokir) bersumber APBD Kabupaten Subang.
TA 2024 Desa Sukatani mendapat kucuran dana diperuntukan pembangunan rigid beton jalan desa sebesar Rp100 jutaan dan pembangunan lapang futsal senilai lebih dari Rp130 juta. Dari pantauan di lapangan pelaksanaanya terkesan asal jadi, sehingga bangunan baru seumur jagung sudah rusak, pasalnya kwalitasnya diduga tidak dengan standar pekerjaan (spek) teknis dan RAB.
Adapun modus operandi penjarahan dana selain pada pekerjaan konstruksi itu, terjadi mulai dari klaim sepihak, pungutan liar (pungli) dengan prosentase tertentu, praktek nepotisme.
Sebelum dana dikucurkan calon penerima dana atau pelaksana kegiatan harus bersepakat dahulu dengan oknum-oknum petinggi partai, anggota dewan yang terhormat atau pejabat tertentu mengenai besaran fee.
Masih menurut sumber, besaran fee yang harus disetor kepada oknum tersebut, berkisar antara 10-30% (prosen) dari total pagu anggaran, belum lagi dana yang digasak oknum kepala desa beserta kroninya sedikitnya 10% hingga 20% menguap.
Dengan menyetor kepada oknum dewan, artinya kepala desa melakukan tindakan gratifikasi, sedangkan graftifikasi merupakan bagian dari korupsi.
Selanjutnya, dana yang diduga dikorupsi bersumber dari Alokasi Dana Desa (ADD) peruntukan gaji para kepala dusun (kadus). Jika saja selama kurun waktu sedikitnya 5 tahun sejak menjabat. Kadus menerima gaji secara ilegal mencapai ratusan juta rupiah.
Modusnya oknum para kadus ketika rekrutmen perangkat desa diduga memanipulasi persyaratan ijazah, dimana sesuai ketentuan harus tamatan SLTA sementara dikabarkan mereka menggunakan ijazah orang lain. seperti diterangkan sumber, Kadus Sukanengah-I Dasman (Ijazah an. Rahman); Kadus Sukanengah-II Adih (Ijazah an. Rudi), Kadus Sukatani Syaeful Bahri (Ijazah orang lain), Kadus Bojogngsari-I Kusnadi (Ijazah orang lain) dan Kaadus Bojongsari-II Yahya (Ijazah orang lain).
Dengan demikian pengangkatan kadus dipandang tidak memenuhi syarat dan dinilai cacat hukum. Lantaran ybs pendidikannya bukan tamatan Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat sehingga tidak sesuai UU Desa No. 6 Tahun 2014 Pasal 50 ayat (1) huruf a, Jo pasal 65 ayat (1) huruf a (PP No. 43 Tahun 2014 sebagaimana dirubah kedua kalinya PP No. 11 Tahun 2019) dan Perda No. 4 Tahun 2015 tentang Desa Pasal 130, huruf c sebagaimana telah dirubah No. 2 Tahun 2018.
“Namun lebih ironisnya lagi, mengapa Kades Sukatani menerbitkam SK pengangkatan kadus ybs begitu pula Camat (dijabat Deni Setiawan) juga merekomendasikan. Ada apakah gerangan? Mereka juga harus menanggung konsekwensinya dan kasus ini bisa dibawa ke ranah PTUN,” tandasnya.
Jenis korupsi lainnya ialah keuangan yang bersumber dari hasil Pendapatan Asli Desa Sendiri /PADS (sewa tanah kekayaan desa), seluas belasan bau (7.000 m2) jika disewakan laku Rp15 juta hingga Rp18 juta/tahun, dalam pemanfataannya tidak sesuai ketentuan. Semisal proses sewa tidak dilakukan lelang secara terbuka, selain itu dalam pembagian hasil sewa peruntukannya tidak merujuk PP No. 11 Tahun 2029, Jo Pasal 100 yakni 70% diperuntukan operasional pemerintah desa dan 30% untuk tambahan tunjangan penghasilan kepala desa dan perangkat desa lainnya. Namun menurut sumber hasil sewaan seluruhnya nyaris masuk ke kantong paribadi oknum kades.
Guna menghindari terjadinya penghakiman oleh media (trial by the press) sebagaimana belakangan ini kerap dikeluhkan oleh narasumber berita akibat kurangnya validasi informasi serta informasi serta keterangan yang diterima, maka dipandang perlu untuk melakukan crosscheck/penelusuran langsung terhadap para pihak terkait dengan permasalahan yang ditemukan, namun sayangnya Kades Kiarasari Samsudin saat dikonfirmasi melalui surat terkirim medio Oktober 2024, perihal permintaan konfirmasi dan klarifikasi Samsudin tidak berkenan menanggapi.
Terkait terjadinya dugaan KKN yang melanda Pemerintahan Desa Sukatani, pentolan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) “El-Bara“ Kabupaten Subang Yadi Supriadi, S.Fil menyesalkan atas perilaku KKN oknum Kades Sukatani Abdurohman beserta jajaran, sehingga berpotensi merugikan keuangan negara/daerah/desa.
Yadi saat dihubungi di kantornya (4/7) menyatakan perbuatan dugaan KKN oknum kepala desa dan perangkat desa itu merupakan peristiwa pidana, sehingga aparat penegak hukum (APH) tidak harus menunggu pengaduan, tetapi dapat mencokok langsung terduga pelakunya sepanjang terpenuhinya alat bukti.
“Kami akan membawa kasus ini ke ranah hukum, bila kelak sudah diketemukan fakta-fakta yuridisnya secara legkap,” pungkasnya. (Abh)