Oleh S Tarigan
Akibat dugaan perseteruan ambisi pribadi antara Dedi Musasi dengan Iksan mahfud, rusaklah keberadaan Graha Pers Indramayu (GPI). Hal ini seperti pribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”.
Diketahui, bahwa Dedi Musasi alias Demus adalah ketua organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Indramayu, dan Iksan mahfud alias Icang Lebe sebagai anggotanya terjadi konflik kepentingan. Perseteruan keduanya diduga terjadi sejak masa jabatan Bupati Indramayu Nina Agustina.
Karena pada masa pencalonan Nina Agustina, Iksan Mahfud diduga ikut cawe–cawe mendukung kemenangan Nina sebagai Bupati Indramayu. Keberhasilan dukungan Iksan itu, menjadikan posisinya menjadi orang ring satu di lingkungan Bupati, dengan menempatkan kegiatan kerja kelompok PWI-nya di halaman pendopo.
Dari hasil cawe–cawe pragmatis Iksan tersebut menjadikan hubungan kerja organisasi antara dirinya dengan Demus selaku ketua, menjadi tidak harmonis. Sehingga persaingan panas keduanya, mengakibatkan keberadaan diri Iksan, dalam waktu singkat tersingkir dari ring satu Bupati atau pendopo.
Situasi dan konsisi tersebut, secara politis otomatis tampilah kembali Demus pribadi dengan kelompoknya, sebagai orang terdekat Bupati Nina Agustina, yang melahirkan ide berupa penggunaan hak pakai bersama satu bangunan milik pemerintah daerah untuk kegiatan para jurnalis bernama Graha Pers Indramayu.
Sebelum bangunan tersebut direnovasi oleh Pemerintah Daerah menjadi dua lantai, lahan yang konon milik Desa Sindang itu, telah berdiri bangunan lama yang digunakan oleh PWI sebagai balai wartawan. Namun pada waktu renovasi selesai, pemanfaatannya lama tak kunjung jelas.
Maka ketika Demus dengan kelompoknya akrab dengan kekuasaan, terwujudlah ide penggunaan bangunan tersebut menjadi GPI sekaligus dengan anggarannya, dalam bentuk kepengurusan operasional. Demus (PWI) sebagai ketua, Tomy (IWO) sekretaris dan Raskhana Depari (AJII) sebagai bendahara.
Terlepas dari transparan atau tidak, saat pertanggungjawaban penggunaan anggaran atas pengelolaan bangunan milik Pemda yang bernama GPI itu, yang pasti nuansa politisnya sangat mendominasi. Pasalnya, saat kekuasaan beralih dari tangan Bupati Nina ke Bupati Lucky Hakim yang didukung Iksan Mahfud dan kelompoknya, terjadi surat perintah pengosongan penggunaan GPI yang dihuni oleh puluhan organisasi pers itu.
Apa pun soalnya, jika insan pers sebagai profesi masih berpedoman dengan alur berfikirnya wartawan pejuang almarhum Mochtar Lubis, maka dari peristiwa ini bisa menjadi hikmah, bahwa kimia minyak dan air itu selamanya berbeda, namun jika dioplos, maka hak publiklah yang terzolimi. Wassalam. ***
