Kamis, Juli 31, 2025

Gubernur Jabar Tak Punya Wewenang Atur Lahan Eks HGU, Penggusuran Pedagang Nanas Jalancagak Tuai Polemik

Subang, Demokratis

Langkah Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dalam menggusur para pedagang nanas di kawasan Jalancagak, Kabupaten Subang, menuai kritik dari sejumlah pihak. Penggusuran yang dilakukan dengan dalih menjadikan lahan sebagai kawasan ruang terbuka hijau (RTH) dinilai melampaui kewenangan pemerintah provinsi.

Pakar hukum agraria, M. Irwan Yustiarsa, menyebut tindakan Gubernur Dedi tidak sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku. Ia menjelaskan bahwa lahan yang digusur merupakan eks Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN, yang status hukumnya telah berakhir sejak tahun 2002.

“Permohonan perpanjangan HGU telah ditolak dua kali. Secara hukum, lahan tersebut kembali menjadi milik negara dan proses redistribusinya merupakan kewenangan penuh pemerintah pusat, bukan pemprov atau pemkab,” ujar Irwan.

“Jika mengacu pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Maka, kewenangan pengelolaan lahan tersebut ada di pemerintah pusat, bukan di tingkat provinsi atau kabupaten,” ujar Irwan kepada Demokratis, (28/7/2025).

Irwan menjelaskan, HGU milik PTPN atas tanah tersebut telah habis masa berlakunya sejak tahun 2002 setelah sebelumnya dua kali diperpanjang. Berdasarkan ketentuan hukum agraria, tanah tersebut seharusnya telah dikembalikan kepada negara dan didistribusikan ulang untuk kepentingan masyarakat.

“Merujuk pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 serta berbagai regulasi lainnya, jika HGU telah berakhir masa berlakunya, maka tanah tersebut wajib dikembalikan kepada negara dan dimanfaatkan untuk reforma agraria,” jelasnya.

Sementara regulasi turunannya kata Irwan  mengacu pada sejumlah peraturan terkait, antara lain:

– Perpres Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria.

– PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

– Permen ATR/BPN Nomor  12 Tahun 2019 tentang Konsolidasi Tanah.

– Permen ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2016 tentang Reforma Agraria.

Selain itu, Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 secara eksplisit menyebut bahwa redistribusi tanah eks HGU dilakukan oleh pemerintah pusat melalui mekanisme yang diatur oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Ia menjelaskan bahwa proses redistribusi tanah eks HGU merupakan wewenang pemerintah pusat, khususnya melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Selain itu, lembaga lain yang berwenang menangani persoalan ini adalah Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian BUMN.

“Perlu digarisbawahi bahwa ini adalah tanah negara, bukan tanah milik PTPN. Ada perbedaan mendasar antara hak guna usaha dan hak milik. Ketika HGU telah habis, maka secara hukum tanah itu harus kembali kepada negara,” tegas Irwan.

Lebih jauh, Irwan menyarankan agar Pemerintah Kabupaten Subang segera membentuk Tim Reforma Agraria dan melibatkan Kementerian ATR/BPN untuk menyusun langkah penyelesaian yang adil dan sesuai hukum.

Sementara itu, para pedagang dan warga sekitar Ciater berharap agar pemerintah pusat turun langsung menangani persoalan ini. Mereka menilai penggusuran dilakukan tanpa ada kejelasan nasib mereka ke depan.

“Ini tempat kami mencari nafkah selama puluhan tahun. Kami ingin kejelasan status lahan dan perlindungan terhadap hak hidup kami,” ungkap seorang pedagang yang ditemui di lokasi.

Polemik pengelolaan tanah eks HGU seperti ini menambah kompleksitas masalah agraria nasional, khususnya di daerah yang memiliki riwayat panjang penguasaan lahan oleh BUMN. (Abdulah)

Related Articles

Latest Articles