Jakarta, Demokratis
Mahkamah Konstitusi melarang wakil menteri melakukan praktik rangkap jabatan, sebagaimana layaknya menteri, agar mereka fokus untuk mengurus kementerian yang diamanahkan kepadanya.
Hal itu tertuang dalam pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (28/8/2025).
“Larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri didasarkan pada pertimbangan bahwa sebagai pejabat negara, wakil menteri harus fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus di kementerian,” kata Enny.
Adapun dalam putusan tersebut, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan advokat Viktor Santoso Tandiasa.
MK melarang wakil menteri (wamen) untuk merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris atau direksi pada perusahaan negara maupun swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai APBN maupun APBD.
MK secara eksplisit memasukkan frasa “wakil menteri” dalam norma Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang pada mulanya hanya berisi larangan rangkap jabatan untuk menteri.
Dijelaskan Enny, putusan ini berakar pada pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019. Pada putusan sebelumnya itu, MK sesungguhnya telah secara jelas dan tegas menyatakan larangan rangkap jabatan yang berlaku untuk menteri berlaku pula bagi wamen.
Menurut Mahkamah, sama halnya dengan amar putusan, pertimbangan hukum sejatinya memiliki kedudukan hukum yang mengikat karena merupakan bagian dari putusan yang bersifat final.
“Dalam kaitan ini, pertimbangan hukum dimaksud seharusnya ditindaklanjuti sejak pengucapan Putusan MK Nomor 80/PUU-XVIl/2019,” ucap Enny.
Namun, pada faktanya, setelah Putusan Nomor 80/PUU-XVIl/2019 diucapkan pada Agustus 2020, masih terdapat wamen yang merangkap jabatan, termasuk salah satunya menjadi komisaris pada perusahaan BUMN. Hal inilah yang didalilkan Viktor dalam permohonannya.
Berkenaan dengan dalil tersebut, MK mengatakan larangan rangkap jabatan wamen sebagai komisaris BUMN sejalan dengan norma Pasal 33 huruf b UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang substansinya tetap diakomodasi dalam UU BUMN terbaru yang disahkan pada awal tahun ini.
“Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah menegaskan dalam amar putusan a quo (ini) mengenai larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri termasuk sebagai komisaris, sebagaimana halnya menteri agar fokus pada penanganan urusan kementerian,” ujar Enny.
Di sisi lain, MK juga menyinggung Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-3/MBU/03/2023 Tahun 2023 tentang Organ dan Sumber Daya Manusia BUMN.
Dalam permen tersebut, diatur salah satu syarat seseorang untuk diangkat sebagai dewan komisaris/pengawas BUMN atau anak perusahaannya, yaitu dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya.
“Terlebih, pengaturan larangan rangkap jabatan karena berkaitan pula dengan prinsip penyelenggaraan negara yang bersih, bebas dari konflik kepentingan, serta pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik,” jelas Enny.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah mengabulkan permohonan Viktor untuk sebagian. Perkara itu dimohonkan oleh Viktor bersama pengemudi ojek daring Didi Supandi, tetapi MK menyatakan Didi tidak berkedudukan hukum.
MK menyatakan Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai:
“Menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD.” (Dasuki)