Oleh Dr M. Harry Mulya Zein
GELOMBANG demonstrasi besar di negara Republik Demokratik Federal Nepal yang meluap Kamis (11/9/2025), bagaikan tsunami yang menggulung segalanya.
Nepal yang kini berpenduduk sekitar 29,65 juta orang menjadi kalang kabut. Pucuk pimpinan negeri itu dipaksa mundur.
Demonstrasi Nepal bermula dari pemblokiran yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi setempat.
Pemerintah Nepal mengintruksikan otoritas telekomunikasi untuk menonaktifkan akses ke-26 platform media sosial yang tidak terdaftar.
Pemblokiran media sosial tersebut telah memicu gelombang protes yang diwarnai kerusuhan yang memaksa mundur Presiden Nepal Ram Chandra Poudel dan Perdana Menteri KP Sharma Oli dari tampuk kekuasaan mereka.
Hal ini menunjukan bahwa media sosial betapa memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Penggunanya lebih banyak dari kalangan Gen Z.
Di era segala serba internet yang ditandai dengan maraknya penggunaan media sosial dan pers sebagai sarana komunikasi, ada secercah harapan berjalannya kontrol sosial. Setidaknya, kontrol sosial yang sekarang banyak dilakukan netizen melalui media sosial diharapkan berfungsi sebagai watchdog atau penjaga keterbukaan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.
Salah satunya yang telah dipantau oleh netizen adalah keterbukaan para penyelenggara negara yang kurang peka terhadap keadaan yang saat ini terjadi di tengah jurang pemisah yang ekstrem dalam kehidupan sosial.
Sebagai contoh, tingkah laku dan ucapan Menteri Keuangan RI Purbaya yang baru dilantik mengeluarkan pernyataan yang kontroversial salah satunya menganggap bahwa gerakan 17+8 sebagai suara sebagian kecil rakyat. Menurut Purbaya, tuntutan itu akan hilang secara otomatis, apabila dia berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi 6 hingga 7 persen.
Menurutnya, masyarakat akan sibuk mencari kerja dan makan enak dibanding memilih berdemontrasi. Pernyataan kontroversial ini menuai kritik dari netizen beramai-ramai.
Pernyataan Menteri Keuangan yang baru itu dipandang netizen sebuah pernyataan yang mengedepankan aroganisme atau kepongahan serta tidak berempati pada keadaan saat ini yang serba sulit. Bagaikan daun kering yang mudah terbakar.
Apabila kita analisis menggunakan teori konformitas sosial dimana teori ini menjelaskan bagaimana individu mengubah sikap, kenyakinan, atau prilaku mereka agar sesuai dengan norma atau harapan kelompok sosial tersebut.
Fenomena ini terjadi karena adanya keinginan untuk diterima, menghindari penolakan, atau karena kelompok memberikan informasi yang bermanfaat. Contohnya demonstrasi yang baru-baru ini dilakukan oleh para mahasiswa menuntut adanya perubahan atau reformasi di semua lembaga negara (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif).
Tuntutan sebagai sebuah aspirasi itu lahir karena adanya akumulasi kekecewaan serta ketidak percayaan kepada para penyelenggara negara.
Ada dua alasan utama mengapa orang cenderung melakukan konformitas; pertama, pengaruh informasional. Pengaruh ini adalah perilaku individu yang menggunakan tindakan orang lain sebagai sumber informasi yang bermanfaat.
Seseorang mungkin mengikuti apa yang dilakukan kelompok karena merasa pendapat kelompok lebih benar.
Kedua, pengaruh normatif dimana seseorang melakukan perilaku konformitas untuk diterima oleh kelompok, serta mendapatkan dukungan, atau menghindari penolakan dan sanksi sosial. Keinginan untuk menjadi bagian dari kelompok sering kali mendorong individu untuk menyesuaikan diri.
Kedua alasan utama ini dari teori konformitas hendaknya dijadikan pijakan oleh para penyelenggara negara dalam menjalankan prinsip demokrasi yang menjamin bahwa pemerintah berpihak pada kepentingan rakyat.
Pemerintah harus menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, seperti kebebasan berpendapat, kebebasan berorganisasi, kebebasan berserikat dan berkumpul. Hal ini dapat diwujudkan melalui penerapan sistem pemerintahan yang demokratis, serta perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia.
Begitu pula prinsip keadilan yang menjamin bahwa pemerintah memberikan pelayanan yang adil kepada semua warga negara, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi atau haluan politiknya.
Hal ini dapat diwujudkan melalui penerapan sistem pelayanan publik yang merata serta perlindungan terhadap kelompok-kelompok rentan. Semoga!!!
Penulis adalah Pemerhati Ilmu Pemerintahan, Dosen Vokasi Universitas Indonesia/Anggota Dewan Pakar Asosiasi Media Konvergensi Indonesia/Aktivis Forum Senja