Indramayu, Demokratis
Pengaturan pembangunan menara telekomunikasi terdapat dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 02/Per/M.Kominfo/03/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi (Permenkominfo.02/2008).
Selain itu juga diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Pekerjaan Umum (Menteri PU), Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009 dengan Nomor 07/Prt/M/2009; Nomor: 19/Per/M.Kominfo/03/2009; Nomor 3 /P/2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi (Peraturan Bersama Menteri).
Dalam aturan tersebut ditegaskan degan jelas bahwa segala bentuk upaya untuk mendirikan bangunan menara telekomunikasi atau menara Base Transceiver Station (BTS) di suatu lingkungan sangat lah tidak mudah. Terutama mendirikan menara BTS di lingkungan rumah warga yang tidak dapat diterima kehadirannya oleh sebagian penduduk setempat tanpa ada upaya pendekatan persuasif, komunikasi yang baik, tidak melibatkannya pemerintah desa, serta izin mendirikan yang diketahui oleh dinas terkait.
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menurut Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 pasal 1 ayat (2) adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Aep menjelaskan, “aturan lingkungan jelas ada di Undang-undang (UU) PPLH Nomor. 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup”, Ungkapnya kepada Demokratis melalui pesan singkat.
Dalam Undang-undang ini tercantum jelas dalam Bab X bagian 3 pasal 69 mengenai larangan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi larangan melakukan pencemaran, memasukkan benda berbahaya dan beracun (B3), memasukkan limbah ke media lingkungan hidup, melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, dan lain sebagainya.
Terlebih lagi, Larangan-larangan tersebut diikuti dengan sanksi yang tegas dan jelas tercantum pada Bab XV tentang ketentuan pidana pasal 97-123. Salah satunya adalah dalam pasal 103 yang berbunyi: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
“kegiatan, pembuatan (dalam hal ini izin mendirikan menara BTS) wajib dilengkapi dengan dokumen lingkungan”, imbuhnya kepada Demokratis.
Upaya mendirikan, serta untuk mendapatkan izin dari dinas terkait oleh pihak pengusaha yang selama ini diduga kuat, tidak tempuh. Sebaliknya, pihak pengusaha tetap mendirikan bangunan menara tanpa sepengetahuan aparat pemerintah Desa serta dinas setempat.
“sebetulnya dari awal saya sering rapat kordinasi dengan Babinmas, Babinsa dan seluruh pamong desa bahwa harusnya pengusaha TOWER (BTS) datang ke Kuwu. Kami sepakat semua unsur pemerintah baik dari rekan Polri dan TNI akan membantu proses pembuatan Tower, karena ini untuk kepentingan rakyat banyak dan kami pun siap sosialisai dahulu duduk bersama dengan masyatakat agar rakyat paham yang dimaksud radiasi dan sejauh mana dari segi keamanan fisik”, Ujar Suhardjo sebagai Kuwu saat memberikan keterangan kepada demokratis, pada Jumat (05/06) di ruangannya.
Lebih lanjut keterangan Suhardjo kepada awak media, ia telah sampaikan dalam rapat sebelum menara BTS di Blok bedahan berdiri, upaya mendirikan menara ada di lokasi blok Pulo. Namun saat pemberian kompensasi terhadap masyarakat atau warga terdampak, pihak aparat desa tidak dilibatkan atau di hindari.
“saya sampaikan dalam rapat sebelum menara di blok bedahan berdiri karena sebelum dibuat di blok Bedahan Tower tersebut dicoba diblok Pulo, tapi pada saat Kompensasi main sruduk sendirian saja tanpa koordinasi”, Ungkap Suhardjo.
Persoalan diatas muncul dan menjadi sekam ketika warga Suhardjo selaku Kuwu yang berada di RT 18 menolak dengan adanya kompensasi yang diduga tidak transparan oleh beberapa tangan kanan yang menjadi kepercayaan oleh pihak pengusaha.
“ketika ditolak di RT 18 baru manggil kuwu suruh nego dengan rakyat tapi rakyat sudah tidak mau”.
Atas penolakan sebagian warga yang ada di RT 18, kemudian upaya mendirikan menara BTS yang diduga belum memiliki izin dan maladministrasi tersebut pun terdapat pemindahan lokasi yang berada di RT 17.
“Pindah pembuatan Tower ke Rt 17 pun sama. Pada saat kompensasi (melalui orang kepercayaan pengusaha) tidak ada koordinasi dengan pemerintahan desa”.
Suhardjo menjelaskan, pihak pengusaha yang tidak ingin terlibat oleh pihak desa yang terlanjur menjadi Praha, melalui orang kepercayaan pihak pengusaha untuk melakukan pemindahan lokasi. Pihak pengusaha tidak ingin membangun komunikasi yang baik oleh masyarakat dan pihak pemerintah desa. Sebaliknya, melalui tangan kepercayaan pengusaha, hal tersebut dilakukan dengan operandi yang sama.
“Ditolak masyarakat, kuwu suruh berhadapan lagi dengan rakyat. Yang ke 3 pindah ke Blok bedahan modus operandi sama, kuwu Babinsa dan Babinmas tidak diajak Petugas lapangan dari Menara saudara Ojen dan Asnawi memberikan kompensasi ke masyarakat Rp 200 ribu per KK ada yang Rp 300 ribu per kk ini diberikan kepada masyarakat di blok bedahan RT 16. Nah, ini jadi masalah petugas yang dipercaya Perusahaan Menara tidak melirik RT 14 yang menolak keberadaan Menara. Saya sudah panggil saudara Asnawi ke Kantor desa dan disaksikan Babinmas agar pemilik Menara untuk datang ke kantor desa. Karena ada penolakan dari RT 14 tapi ternyata sampai berita di muat di media, pengusaha menara BTS tidak pernah muncul”, Tutup Kuwu kepada demokratis.
Tanggapan terkait persoalan diatas serta pandangan dari Pangihutan Holoho SH di Jakarta selaku praktisi hukum, mengenai aturan mendirikan bangunan menara serta penolakan sebagian warga. Pada Sabtu (06/06) kepada demokratis.
“Jadi apabila ada warga masyarakat disekitar menara tersebut merasa dirugikan dengan adanya bangunan Menara tersebut, maka warga masyarakat dapat menggugat ke PTUN atas penerbitan Izin Mendirikan Bangunan Menara kepada operator seluler tersebut, tapi apabila Izin Mendirikan Bangunan Menara telah habis masa berlakunya, maka dengan ini warga dapat menolak perpanjangan izin tersebut dengan tidak menandatangani permintaan persetujuan perpanjangan Izin Mendirikan Bangunan Menara dari pihak pemilik menara tersebut. Dan harus dipastikan ke Bupati melalui dinas terkait dengan bangunan dan gedung (biasanya dinas tata ruang) apakah perizinan Menara tersebut masih berlaku atau tidak”, Demikian penjelasan panjang Pangihutan tentang hukum kepada Demokratis. (RT)