Jakarta, Demokratis
KUHP itu adalah hukum materil kita yang sudah dikodifikasikan atau dibukukan, yang rencana akan diberlakukan pada awal Januari 2026 ini tentu sudah rampung dan sudah diketahui kelayak ramai masyarakat bangsa ini.
Sementara KUHAP itu adalah hukum formilnya atau acaranya yang sedang digodok di Parlemen/DPR RI bersama Pemerintah, juga memberi kesempatan kepada kalangan akademisi dan masyarakat luas serta para lembaga-lembaga hukum dan pengkajian hukum dan perundang-undangan. Belum rampung untuk di sahkan menjadi Undang-Undang semasih RUU KUHAP belum final.
Hal ini dikatakan Pakar Hukum Pidana Asisstan Proffesor, Mohammad Mara Muda Herman Sitompul, S.H., M.H.dari Fakultas Hukum & Sosial Universitas Mathala’ul Anwar Banten, serta petinggi di DPN PERADI Bidang Kajian Hukum dan juga menjabat sebagai Waketum IKADIN Bidang Sosial dan Masyarakat, ketika dikonfirmasi Demokratis melalui WA pada Jumat (3/10/2025) di Jakarta.
Herman berpendapat, “Jika KUHP sudah disahkan sementara KUHAP belum rampung tidak akan bisa terlaksana, karena KUHP dan KUHAP adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan seperti dua mata uang logam yang tidak terpisahkan.”
Ditambahkannya, RUU KUHAP dapat dirampungkan oleh Parlemen/DPR RI bersama-sama dengan Pemerintah, atau ditunda untuk disahkan menjadi UU KUHAP melihat kondisi DPR RI yang tidak baik-baik saja.
“Kita lihat dari sekian banyaknya persoalan yang harus diselesaikan oleh DPR RI sesama internal, dimana kita lihat RUU Perampasan Aset yang sampai saat ini masih menjadi bahan kajian masyarakat,” terangnya.
“Seluruh masyarakat tertuju pada masalah ini, kita lihat saja jika RUU KUHAP tidak diterbitkan atau disahkan, mau tidak mau KUHP harus ditunda. Semoga terlaksana dengan baik dan menjadi harapan kita semua,” lanjutnya.
“Kita semua sebagai warga masyarakat sipil mendorong Parlemen/DPR RI dan Pemerintah sesegera mungkin mengundangkan KUHAP pada tahun ini,” jelas Herman yang juga sebagai Anggota Ahli dan Dosen Republik Indonesia (ADRI) ini.
Herman juga menambahkan, apapun ceritanya, semua para petinggi lembaga negara harus berangkat dari “political will” yang melahirkan hukum dan perundang-undangan bertepat guna untuk mengatur warga negaranya demi menjamin kepastian hukum. (MH)