Subang, Demokratis
Di tengah situasi gonjang-ganjing penanganan dan pencegahan wabah Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) di Kabupaten Subang, LSM Aliansi Barisan Anti Korupsi (EL-BARA) tak kehilangan daya kritisnya terkait pelaksanaan pembangunan dan investasi baik berasal dari modal domestik, maupun penanaman modal asing (PMA) di Kabupaten Subang.
Menurut pentolan LSM EL-BARA Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat Yadi Supriadi S Thi, menghadirkan investasi dalam pembangunan daerah harus terus dibina dan dikembangkan dengan corak berwawasan lingkungan demi terkendalinya sumber daya alam (SDA) dan tata ruang secara bijak, agar hasilnya bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk kemakmuran masyarakat Kabupaten Subang.
Untuk mencapai tujuan itu, katanya, mestinya sejak awal perencanaan kegiatan harus sudah bisa diperkirakan perubahan lingkungan akibat dampak pembentukan suatu kondisi lingkungan baru, baik yang menguntungkan dan merugikan yang ditimbulkan akibat diselenggarakannya kegiatan pembangunan.
“Namun dalam konteks kekinian apa yang terjadi di wilayah hukum Pemkab Subang justru sebaliknya, proses pembangunan dan investasi dituding tidak transparan, tidak berpihak terhadap lingkungan hidup dan peran serta masyarakat, sehingga cenderung arogan, manipulatif dan melawan hukum, lantaran terkesan ‘dipaksakan’,” tegas Ketua LSM Aliansi Barisan Rakyat Anti Korupsi (El-BARA) Kabupaten Subang melalui pers rilisnya yang sampai di meja redaksi Demokratis, belum lama ini.
Sikap kritis yang disampaikan pentolan LSM El-BARA Yadi Supriadi S Thi ini dipicu oleh kinerja Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD) yang dinilainya amburadul. Tim ini memberikan kemudahan terhadap investor berdalih untuk mengejar ketertinggalan dengan kabupaten lain yang ada di Jawa Barat, demi kondusifitas iklim investasi serta untuk meningkatkan PAD Pemkab Subang.
Yadi juga menuding TKPRD banyak melakukan ‘kebohongan publik’ serta ‘rekayasa’ sehigga banyak pelaku usaha yang lolos dari proses pengawasan yang berakibat menimbulkan kerusakan baik kerusakan lingkungan hidup maupun tercabik-cabiknya pola tata ruang akibat proses pembangunan dan investasi yang dipaksakan.
Hal ini menjadi kontraproduktif dan menjadi konflik kepentingan (conflict of interest) di tengah masyarakat, sehingga menjadi persoalan hukum yang hingga kini tidak jelas penyelesaiannya.
Adapun permasalahan itu antara lain seperti :
(a). Pembangunan pabrik/industri yang tidak sesuai dengan RTRW/RDTR dan dipaksakan pembangunannya, sehingga menimbulkan polemik, terkait dengan proses penerbitan perijinan dan diduga ada main mata (baca: gratifikasi) terhadap para oknum pejabat di lingkup Pemkab Subang;
(b). Eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang membabi buta oleh aktifitas penambangan galian C dan/atau kegiatan usaha quary pasir, quary tanah merah, serta kegiatan eksploitasi lainnya yang tidak berwawasan lingkungan dan banyak melakukan penyimpangan peraturan perundang-undangan;
(c). Pendirian dan beroperasinya perusahaan retail dan/atau toko modern yang banyak mengangkangi peraturan perundangan yang berlaku;
(d). Alih fungsi lahan pertanian teknis yang prosesnya tidak transparan dan cenderung melawan hukum, sehingga keberadaan lahan pertanian berkelanjutan terancam, begitu pula keterkaitan implementasi regulasi disinsentif (kompensasi lahan teknis-Red) diduga diabaikan;
(e). Alih kepemilikan lahan milik Pemerintah Daerah/Pemerintah Desa (ruislaght) yang tidak transparan dan cenderung melawan hukum.
Lebih jauh Yadi mengungkapkan, keseluruhan persoalan itu terkesan ada pembiaran yang diakibatkan lemahnya komitmen moral aparatur Pemkab Subang. Hal ini menjadikan konflik kepentingan segelintir orang yang cenderung mengorbankan masyarakat kecil (wong cilik).
Fenomena ini, kata Yadi, tidak terbantahkan, bahwa hari ini benar-benar menjadi pelik, Pemkab Subang sepertinya menutup mata, menutup telinga terkait permasalahan itu. Pemkab Subang saat ini seperti ‘memperkosa peraturan yang dibuatnya sendiri’.
Ketidak berpihakan terhadap masyarakat kecil bisa dikonotasikan telah ‘memiskinkan’ masyarakat Subang secara sistematis dan struktur. Hal ini terlihat dari masih kentalnya budaya kebohongan publik di kalangan aparatur Pemkab Subang.
“Sikap Pemkab Subang hari ini lebih berpihak kepada kaum pemodal kendati harus melakukan pelanggaran peraturan perundangan yang berlaku dengan dalih demi kondusifitas iklim investasi dan peningkatan PAD,” ujarnya.
Melihat adanya fenomena itu, EL-BARA mendesak pihak berwenang agar:
(1). Bersihkan dan tindak tegas mafia perizinandi lingkungan Pemkab Subang yang cenderung merugikan semua pihak;
(2). Bersihkan dan tindak tegas para oknum pegawai negeri sipil (ASN) maupun aparat yang diduga membekingi proyek pembangunan pabrik/industri, tambang galian C dan toko madern; (3). Seret dan tindak tegas pengusaha yang melakukan kejahatan lingkungan hidup;
(4). Optimalkan fungsi pengawasan DPRD Kabupaten Subang yang selama ini dinilai mandul;
(5). Menuntut Pemkab Subang agar melakukan audit sosial, audit teknikal dan audit lingkungan hidup terhadap proses kegiatan dan rencana usaha baik yang sudah berjalan dan sedang berjalan secara transparan, profesional dan tidak berpihak dengan melibatkan stakeholder masyarakat pemerhati lingkungan hidup. (Abh)