Jakarta, Demokratis
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah adanya intervensi dari pihak lain yang menyebabkan tak kunjung ditetapkannya tersangka kasus korupsi kuota dan penyelenggaraan haji tahun 2023-2024 pada Kementerian Agama.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo memastikan penyidikan kasus ini terus berjalan. Buktinya, pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap saksi masih berlangsung.
“Dalam penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan kuota haji tidak ada intervensi,” kata Budi kepada wartawan, Jumat (17/10/2025).
“Kami pastikan penyidikan masih berprogres dan penyidik juga masih terus memanggil, meminta keterangan kepada para saksi,” sambung dia.
Budi menyebut sejumlah saksi yang dipanggil adalah agen perjalanan atau travel agent penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK). Pemanggilan ini disebabkan karena penyidik perlu mengetahui mekanisme jual beli 20.000 kuota tambahan dari pemerintah Arab Saudi.
Adapun mekanisme ini terjadi karena adanya diskresi pembagian yang tak sesuai aturan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama era Yaqut Cholil Qoumas.
“Memang pihak PIHK yang menyelenggarakan kuota haji khusus ini, kan, cukup banyak dan praktik di lapangan itu beragam. Bagaimana proses dan mekanisme jual beli kuota khusus itu, kemudian bagaimana penjualannya kepada para calon jamaah, harganya berapa dan segala macamnya itu dihitung juga,” tegas Budi.
Ketua KPK Setyo Budiyanto juga pernah angkat bicara soal tak kunjung ditetapkannya tersangka dalam kasus ini. Kata dia, penyidik hingga kini masih perlu waktu untuk melengkapi berkas maupun keterangan.
“Ah, itu kan relatif soal masalah waktu saja, ya, saya yakin mungkin penyidik masih ada yang diperlukan untuk melengkapi pemberkasannya atau proses penyidikannya. Masalah lain enggak ada kok,” kata Setyo kepada wartawan, Senin (6/10/2025).
Setyo mengatakan penyidik hingga saat ini masih terus melakukan pemeriksaan terahdap saksi yang dipelajari.
“Kemudian, ya, mungkin mempelajari beberapa dokumen yang sudah diterima oleh para penyidik. Masalah waktu saja, kok,” tegas mantan Direktur Penyidikan KPK tersebut.
Diberitakan sebelumnya, KPK sedang mengusut dugaan korupsi terkait kuota dan penyelenggaraan haji tahun 2023-2024 pada Kementerian Agama (Kemenag). Belum ada tersangka yang ditetapkan karena menggunakan surat perintah penyidikan (sprindik) umum.
Adapun sprindik umum tersebut menggunakan Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Artinya, ada kerugian negara yang terjadi akibat praktik korupsi ini.
Kerugian negara dalam kasus korupsi kuota dan penyelenggaraan haji periode 2023-2024 ini disebut mencapai Rp1 triliun lebih. Jumlah tersebut masih bertambah karena baru hitungan awal KPK yang terus berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kasus ini bermula dari pemberian 20.000 kuota haji tambahan dari pemerintah Arab Saudi bagi Indonesia untuk mengurangi antrean jamaah. Hanya saja, pembagiannya ternyata bermasalah karena dibagi sama rata, yakni 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama yang ditandatangani Yaqut Cholil Qoumas.
Padahal, berdasarkan perundangan, pembagian seharusnya 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.
Diberitakan sebelumnya, KPK sedang mengusut dugaan korupsi terkait kuota dan penyelenggaraan haji tahun 2023-2024 pada Kementerian Agama (Kemenag). Belum ada tersangka yang ditetapkan karena menggunakan surat perintah penyidikan (sprindik) umum.
Adapun sprindik umum tersebut menggunakan Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Artinya, ada kerugian negara yang terjadi akibat praktik korupsi ini.
Kerugian negara dalam kasus korupsi kuota dan penyelenggaraan haji periode 2023-2024 ini disebut mencapai Rp1 triliun lebih. Jumlah tersebut masih bertambah karena baru hitungan awal KPK yang terus berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kasus ini bermula dari pemberian 20.000 kuota haji tambahan dari pemerintah Arab Saudi bagi Indonesia untuk mengurangi antrean jamaah. Hanya saja, pembagiannya ternyata bermasalah karena dibagi sama rata, yakni 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama yang ditandatangani Yaqut Cholil Qoumas.
Padahal, berdasarkan perundangan, pembagian seharusnya 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus. (Dasuki)