Rabu, November 19, 2025

Advokat Rando: dr Maxi Bisa Menjadi Justice Collaborator dan Whistle Blower Bagi KPK untuk Membongkar Skandal Korupsi

Subang, Demokratis

Gonjang ganjing dimensi konflik buntut pengunduran diri dr. Maxi, mantan Kadinkes Subang yang mengungkap dugaan setoran upeti yang melibatkan orang nomor satu Subang dinilai tepat dijadikan  momentum pintu masuk bagi KPK untuk menguak mesteri dugaan gratifikasi yang masih terbungkus rapi dalam kotak pandora. Dengan pengakuan awal tersebut, dr Maxi bisa menjadi justice collaborator atau whistle blower untuk membongkar kotak Pandora itu.

Hal itu diungkapkan advokat juga sekaligus Ketua Subang Lawyers Club Rando Purba, SH dalam forum dialog publik yang digagas Kaukus Rakyat Subang beberapa waktu lalu menegaskan bahwa adanya pengakuan dr Maxi harus menjadi pintu masuk KPK membongkar skandal korupsi di Pemkab Subang.

Rando, menyatakan bahwa laporan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dilayangkan Bupati Subang tersebut justru dapat menjadi pintu masuk bagi lembaga penegak hukum yang lebih mendalam untuk menguak dugaan korupsi di Subang. Rando menuding langkah Pemkab ini disebut upaya “menakut-nakuti” yang dinilai tidak baik bagi proses demokrasi.

Pemerintahan Daerah Dinilai Reaksional

Rando menyoroti sikap Pemkab Subang yang dinilainya sangat reaksional dan reaktif terhadap kritik yang disampaikan masyarakat. Sikap ini terlihat adanya laporan-laporan yang dilayangkan ke kepolisian dengan menggunakan Undang-undang ITE, yakni soal pencemaran nama baik.

Menurut Rando, laporan ITE tersebut menunjukkan upaya untuk membungkam kritik dan menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat, bahkan membuat beberapa pihak khawatir untuk hadir dalam forum diskusi karena takut dipotret dan dilaporkan.

“Ini kan artinya yang dilakukan oleh pemerintah daerah hanya bicara menakut-nakuti,” ujarnya.

“Membungkam kritik yang dilakukan oleh masyarakat. Ini tidak baik dalam proses demokrasi yang kita jalankan dan juga proses penyelenggaraan  pemerintahan yang baik (good goverment),” tegas Rando.

Kritik Pejabat Publik Dilindungi Hukum

Rando menyebut pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE sebagai “pasal karet” karena mudah dimanfaatkan. Ia mengingatkan bahwa laporan serupa dalam banyak kasus selalu diselesaikan dengan cara-cara restorative justice.

Lebih lanjut Rando menyebut, bila mengacu pada preseden (baca: putusan sebelumnya) hukum yang kuat, seperti kasus yang diadukan oleh Luhut Binsar Panjaitan terhadap Haris Azhar atau Fatia, yang dinyatakan bebas di pengadilan.

“Yang dikritik adalah pejabat publik. Jadi harus dipisahkan. Ada putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa kritik terhadap pejabat publik itu tidak bisa dipidana,” jelas Rando.

Pintu Masuk KPK, Whistle Blower dan Justice Collaborator

Rando memberikan apresiasi tinggi kepada Dr. Maxi (disebut inisial M) sebagai satu-satunya pejabat Eselon II yang berani speak up dan menyampaikan kondisi sebenarnya. Rando menegaskan bahwa ia siap mendampingi dan berbaris bersama Dr. Maxi secara moral dan hukum.

Rando melihat laporan ITE ini justru menjadi “pintu masuk” yang legal bagi lembaga seperti KPK dan Kejaksaan Agung untuk masuk.

“Ini menjadi pintu masuk bagi penegakan hukum lebih besar lagi, seperti KPK dan Kejaksaan Agung, untuk masuk. Karena ada gratifikasi disana, ada perbuatan pidana disana yang lebih masif, tentang bagaimana cita-cita pemberantasan korupsi di republik ini,” tandasnya.

Rando memberikan saran hukum tegas kepada Dr. Maxi dan pihak terlapor lain (inisial H) untuk menolak restorative justice. Sebaliknya, ia menyarankan agar mereka menggunakan cara justice collaborator (saksi pelaku yang bekerja sama) dan menyampaikan semua keterangan kepada penyidik.

Kritik Gaya Hidup Mewah Pejabat

Dalam kesempatan itu, Rando juga mengkritik gaya kepemimpinan di Subang yang dianggapnya lebih fokus pada gimmick dan penampilan mewah daripada peningkatan kesejahteraan rakyat.

“Kita hanya disuguhi atau dipertontonkan. Seseorang, kelompok, naik kendaraan mewah, keliling masuk ke pelosok-pelosok,” katanya.

Ia juga menyinggung isu kendaraan operasional pejabat yang diduga memakai plat palsu—yang sudah dikonfirmasi oleh Polisi Lalu Lintas setempat—dan mempertanyakan apakah kendaraan tersebut hasil gratifikasi atau tidak dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). (Abh)

Related Articles

Latest Articles