Jumat, Desember 5, 2025
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Penembakan di Washington DC, Amerika Serikat Pertimbangkan Perluas Travel Ban

Washington DC, Demokratis

Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah komando Presiden Donald Trump kembali mengambil langkah drastis dalam kebijakan imigrasinya. Menteri Keamanan Dalam Negeri, Kristi Noem, memberikan sinyal kuat bahwa daftar negara yang terkena larangan masuk (travel ban) akan diperluas secara signifikan. Tak tanggung-tanggung, lebih dari 30 negara kini berada dalam radar evaluasi ketat Washington untuk dimasukkan dalam daftar hitam tersebut.

Langkah ini menandai babak baru pengetatan perbatasan AS yang dipicu oleh serangkaian insiden keamanan dalam negeri dan retorika keras pemerintah terhadap negara-negara yang dianggap gagal mengelola warganya.

Alasan Keamanan dan Kegagalan Pemerintah Asal

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Fox News pada Kamis (4/12/2025), Kristi Noem tidak menampik rencana besar tersebut. Meski enggan merinci daftar negaranya, ia memastikan jumlahnya masif.

“Saya tidak bisa menyebutkan jumlah pastinya, tetapi lebih dari 30, dan Presiden Donald Trump terus mengevaluasi negara-negara tersebut,” ujar Noem dengan nada tegas.

Mantan Gubernur South Dakota ini mempertanyakan urgensi AS untuk tetap membuka pintu bagi warga dari negara-negara yang dinilai bermasalah. Menurut Noem, AS tidak seharusnya menerima pendatang dari negara yang tidak memiliki pemerintahan stabil, tidak mampu menopang ekonominya sendiri, atau —yang paling krusial— gagal membantu AS melakukan verifikasi latar belakang (background check) terhadap warganya yang ingin masuk.

Retorika ini merupakan kelanjutan dari sikap kerasnya pada awal pekan lalu (1/12/2025). Kala itu, Noem merekomendasikan ‘larangan perjalanan penuh’ terhadap negara mana pun yang menurutnya telah membuat AS dibanjiri oleh pelaku kekerasan, orang-orang yang hanya memanfaatkan sistem, serta pencari tunjangan sosial.

Dipicu Tragedi Berdarah di Dekat Gedung Putih

Perdebatan mengenai perluasan travel ban ini tidak muncul di ruang hampa. Eskalasi kebijakan ini dipicu oleh insiden penembakan fatal pada 26 November lalu di dekat Gedung Putih, jantung kekuasaan Amerika.

Dalam peristiwa tersebut, seorang anggota Garda Nasional tewas dan satu lainnya terluka parah. Fakta yang mencengangkan publik AS adalah identitas pelakunya: seorang warga negara Afghanistan berusia 29 tahun. Pelaku diketahui masuk ke AS pada 2021 pasca-penarikan pasukan AS dari Kabul dan baru saja mendapatkan status suaka pada April 2024.

Laporan intelijen bahkan menyebutkan ironi yang lebih besar, yakni pelaku pernah bekerja dengan sejumlah lembaga pemerintah AS, termasuk badan intelijen CIA. Kegagalan sistem vetting atau pemeriksaan latar belakang inilah yang memicu kemarahan administrasi Trump.

Dampak Domino: Visa Ditangguhkan, ‘Dunia Ketiga’ Disorot

Insiden tersebut langsung memicu efek domino kebijakan. Penerbitan visa baru dan keputusan suaka bagi warga Afghanistan dihentikan sementara. Presiden Trump, pada 28 November, bahkan melontarkan ancaman untuk menghentikan migrasi secara permanen dari apa yang ia sebut sebagai ‘negara dunia ketiga’.

Kini, sorotan kembali tajam mengarah pada perintah eksekutif bulan Juni yang membatasi akses masuk dari 19 negara. Dengan pernyataan terbaru Noem, tampaknya AS bersiap menutup gerbangnya lebih rapat bagi puluhan negara lain yang dianggap memiliki lemah dalam proses pemeriksaan, marak pelanggaran izin tinggal, serta menolak deportasi warganya. (IB)

Related Articles

Latest Articles