Oleh: Muhammad Sarwani
Tingkat pertumbuhan ekonomi tahun depan jadi ajang tarik menarik antara ekonom dan sejumlah lembaga kajian dengan pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa.
Menkeu menyakini angkanya akan mencapai 6 persen, jauh di atas konsensus para ahli ekonomi yang memperkirakan paling banter di 5,4 persen. Bahkan ada yang memprediksi hanya di level 5,2 persen saja.
Prediksi Purbaya bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi akan mencapai 6 persen pada tahun depan bukan tanpa alasan. Dia menyebutkan sejumlah kebijakan yang diambil pemerintah belakangan ini mulai menunjukkan dampak signifikan terhadap perekonomian nasional.
Purbaya menyebutkan kebijakan itu menyangkut upaya menjaga disiplin fiskal agar tersedia ruang yang cukup bagi pertumbuhan ekonomi.
Jika ini dijalankan terus dengan baik dia percaya akan membawa ekonomi Indonesia ke arah yang benar.
Disiplin fiskal itu termasuk menjaga defisit agar tetap aman di bawah tiga persen sesuai dengan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan anggaran sehingga APBN berjalan efektif.
Dia mencatat kebijakan tersebut menunjukkan hasil. Aktivitas ekonomi meningkat dan mencatat kenaikan 5,04 persen pada kuartal III 2025.
Momentum pertumbuhan 5,04 persen pada kuartal III 2025 tersebut diperkirakan menciptakan 1,9 juta lapangan kerja, menurunkan pengangguran 4.000 orang jadi 7,46 juta jiwa dibanding Agustus 2024.
Geliat ekonomi itu ditopang oleh kenaikan konsumsi rumah tangga sebesar 4,89 persen, mobilitas masyarakat, transaksi digital, dan paket kebijakan pemerintah.
Konsumsi pemerintah juga tercatat naik 5,49 persen dengan pertumbuhan belanja barang dan belanja pegawai masing-masing sebesar 19,3 persen dan 9 persen. Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi tumbuh 5,04 persen.
Pemerintah sebenarnya sudah menebar sejumlah insentif pada awal 2025 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi dibandingkan tahun sebelumnya yang betah bercokol di bawah 5 persen.
Insentif itu antara lain berupa diskon pajak untuk sejumlah komoditas tertentu. Komoditas yang mendapatkan potongan pajak tersebut antara lain tepung terigu, gula industri, kendaraan listrik, hybrid, dan mobil impor utuh. Insentif yang sama diberikan untuk pembelian rumah dengan harga di bawah Rp2 miliar.
Ada juga bantuan 10 kg beras untuk 16 juta orang miskin, diskon tarif listrik, diskon iuran kecelakaan kerja, bantuan tunai bagi pekerja yang terkena PHK, dan pembebasan pajak PPh 21 bagi pekerja di sektor padat karya dengan gaji di bawah Rp10 juta per bulan.
Insentif juga dinikmati pebisnis. Bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pemerintah menetapkan PPh final 0,5 persen, subsidi bunga 5 persen untuk revitalisasi mesin produksi bagi industri padat karya, dan pembebasan bea masuk impor mobil listrik.
Total jenderal insentif itu bernilai Rp38,6 triliun. Insentif ini diharapkan menjadi pelumas bagi mesin ekonomi untuk bergerak lebih cepat, bertenaga, dan mampu menjaga performa perekonomian dari hantaman ketidakpastian global yang muncul dari sejumlah konflik yang belum ada penyelesaiannya seperti perang Rusia-Ukraina, gejolak di Timur Tengah, dan perang dagang.
Obral insentif ini diharapkan turut mendorong pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai 8 persen dalam 5 tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, level yang tidak pernah dicapai setelah masa Orde Baru yang tumbang pada 1998.
Sejumlah insentif tersebut kemudian diracik dengan 17 Program Prioritas seperti ketahanan pangan, energi, pengentasan kemiskinan, hingga perbaikan penerimaan negara. Realisasinya dapat dilihat dari pelaksanaan makan bergizi gratis (MBG), bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS.
Pemerintah juga menggenjot penerimaan negara melalui program hilirisasi untuk membantu menaikkan pertumbuhan ekonomi. Hasilnya bisa dilihat dari kenaikan ekspor nikel dari semula US$4 miliar pada 2017 menjadi US$33,52 miliar pada 2023 atau melonjak 745 persen setelah bahan mentah mineral itu diolah lebih lanjut.
Di sisi lain pemerintah juga menarik investor untuk membenamkan modalnya di Tanah Air. Sejumlah wilayah disiapkan untuk menampung para pengusaha seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik, Kendal, dan Galang Batang.
Hasilnya, hingga tahun lalu investasi yang masuk sudah mencapai Rp82,6 triliun dengan 42.930 orang tenaga kerja di dalamnya.
Pertumbuhan ekonomi yang akan lebih tinggi juga didapat dari perbaikan terhadap gangguan ekonomi yang muncul pada September lalu akibat kebijakan yang dinilai kurang tepat.
Menkeu menyatakan langkah baru pemerintah itu berupa peningkatan iklim investasi serta perlindungan ekosistem pasar domestik melalui pemberantasan impor ilegal, penindakan terhadap barang ilegal yang berpotensi merusak daya saing industri dalam negeri.
Pemerintah juga akan memperkuat sektor riil yang pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mampu mendorong pertumbuhan di atas 6 persen. Penguatan terhadap sektor riil memberikan Indonesia peluang besar dalam mengejar pertumbuhan yang agresif.
Pertumbuhan tak capai 6 persen
Berbeda dengan pemerintah yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa mencapai 6 persen, sejumlah lembaga kajian termasuk Bank Indonesia memprediksi kenaikannya tidak akan sebesar itu, paling banter 5,4 persen.
BI memperkirakan pertumbuhan ekonom pada tahun depan di level 5,33 persen. Jika pemerintah mempercepat belanja fiskal, kenaikannya bisa lebih bagus di angka 5,4 persen.
Lembaga lain justru memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun depan lebih rendah dari perkiraan BI. Bank Permata, misalnya, melalui Permata Institute for Economic Research (PIER) memperkirakan ekonomi nasional hanya tumbuh di kisaran 5,1-5,2 persen.
Bisa jadi perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih rendah ini, karena PIER memasukkan variabel global dalam analisanya. Lembaga ini menilai pemulihan ekonomi akan berjalan, namun lajunya moderat sejalan dengan tantangan internasional dan domestik yang menekan kegiatan ekonomi.
Indonesia akan terdampak perlambatan ekonomi global terutama yang berasal dari Amerika Serikat dan China sebagai penggerak ekonomi dunia terbesar.
Di sisi lain, inflasi diprediksi akan meningkat sebagai reaksi atas kebijakan pro pertumbuhan di kisaran 2-2,5 persen, sama dengan level tahun ini. Inflasi sebesar ini masih memberikan napas kepada BI untuk tetap akomodatif.
Iklim positif justru akan menaungi pasar keuangan Indonesia pada tahun depan menyusul perkiraan pelemahan bertahap dolar AS dan berkurangnya imbal hasil US Treasury yang akan menarik modal global kembali masuk ke Indonesia dan negara berkembang lain.
Sekalipun outlook pasar keuangan akan lebih positif, jika pertumbuhan ekonomi tidak sesuai dengan ekspektasi pemerintah maka hal itu akan menjadi sinyal bahwa tahun depan akan menjadi era yang penuh tantangan.
Beberapa variabel seperti stabilitas politik, reformasi struktural, efektivitas kebijakan fiskal dan moneter akan turut mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi.
Perkiraan mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan ini belum memasukkan dampak bencana yang dialami Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat terhadap ekonomi nasional.
Para ekonom baru menghitung kerugian yang ditimbulkan bencana tersebut sebesar Rp68 triliun, belum sampai kepada dampak dari terhentinya kegiatan ekonomi karena putusnya jembatan, jalan, rusaknya fasilitas umum, pabrik, dan infrastruktur lain.
Purbaya boleh saja optimistis ekonomi akan tumbuh tinggi tahun depan tapi perhitungannya harus tetap berpijak pada realitas di lapangan. ***
*) Penulis adalah Wartawan Senior, Wakil Ketua Bidang Ekuin PWI Pusat, dan Mantan Redaktur Ekonomi Makro Harian Bisnis Indonesia
