Jakarta, Demokratis
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sejumlah permasalahan dalam empat aspek dalam program Kartu Prakerja. Salah satunya soal materi pelatihan.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, kurasi materi pelatihan tidak dilakukan dengan kompetensi yang memadai. Pelatihan yang memenuhi syarat, baik materi maupun penyampaian, secara daring hanya 13 persen dari 1.895 pelatihan.
Selain itu, KPK pun memilih 327 dari 1.895 pelatihan. Kemudian, dibandingkan ketersediaan pelatihan tersebut di jejaring internet. Hasilnya 89 persen dari pelatihan tersedia di internet dan tidak berbayar termasuk di laman prakerja.org.
Aspek terakhir adalah pelaksanaan program. “KPK menemukan metode pelaksanaan program pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara,” kata Alex dalam konferensi pers pada Kamis, 18 Juni 2020.
Alasannya, metode pelatihan hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme kontrol atas penyelesaian pelatihan yang sesungguhnya oleh peserta.
Ada dua faktor, kata Alex, yang menjadi alasan mengapa KPK menemukan program pelatihan berpotensi fiktif. Pertama, lembaga pelatihan sudah menerbitkan sertifikat meskipun peserta belum menyelesaikan keseluruhan paket pelatihan yang telah dipilih.
“Kedua, peserta sudah mendapatkan insentif meskipun belum menyelesaikan seluruh pelatihan yang sudah dibeli, sehingga negara tetap membayar pelatihan yang tidak diikuti oleh peserta,” ujar Alex.
Selain itu, KPK mendapati kerja sama dengan delapan platform digital tidak melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Alex pun menyebut jika 5 dari 8 plaftorm digital yang tergabung memiliki konflik kepentingan. “Sebanyak 250 pelatihan dari 1.895 pelatihan yang tersedia memiliki konflik kepentingan dengan platform digital,” ucap dia. (Rendy/Albert S)