Oleh Mas ud HMN*)
Jika obsesi Indonesia dengan pendapatan income per kapita tahun 2030 tiga puluh ribu US Dollar dalam artian adil makmur, gemah ripah loh jinawi seperti disampaikan Presiden Joko Widodo saat pelantikan Presiden periode kedua yang lalu, adalah mimpi dalam keniscayaan. Bukan mustahil. Tinggal bagaimana melaksanakan mimpi dalam perpektif akal waras tersebut. Memang bukan soal mudah.
Tidak bisa dibantah bahwa merancang realisasi impian pada masa sulit tidak menentu, seperti era Covid-19 di Indonesia kini mungkin betul sebagai impian sulit. Sama halnya dengan cerita fiksi klasik Burung Pungguk Rindukan Bulan. Ingin menyentuh saja sayap tak sampai. Tapi manusia waras pun masih saja bermimpi. Ya sudah bagaimana lagi.
Meski begitu ada baiknya kita merenung sejenak tentang tapak intelektual tentang mimpi. Kita coba mengutip pendapat dalam kaitan mimpi yang bermakna atau pumya level berpikir epistomologi. Mimpi yang benar dan filosofis jika bermetode.
Dalam kolom opini harian Amerika New York Times menurunkan artikel dengan judul What Dream We Made. Opini dari Max Strasse bertarikh 14 Juni 2020. Artikel sepanjang kurang lebih 800 kata diurai dalam bahasa Inggris yang simple alias mudah difahami. Juga konten topik yang diangkat relevan dengan Indonesia sebagai bangsa. Sebab jangan sampai mimpi merupakan penyedap tidur, mimpi siang bolong, atau mimpi tetap mimpi. Khayali tanpa makna.
Diawali dengan mengutip seorang eksekutif muda dari sebuah seminar Kuala Lumpur, Malaysia bernama Rendra. Menurut Rendra, Essence of Dream is Funny yaitu sama seperti kejenakaan meski memberi pencerahan namun absurd atau aneh dan mustahil. Agaknya ia terpengaruh bermunculan mimpi banyak orang masa kini yang mirip jalan tak berujung. Karena itu datang dengan ungkapan apa sesungguhnya esensi mimpi tersebut.
Artikel Max Strasses mengembangkan diskursus topik itu dengan melibatkan opini dua orang lain. Mungkin juga ini untuk melengkapi pokok perkara seputar bagaimana mimpi digagaskan Rendra.
Dia adalah Dell Acqua. Dia berpendapat sederhana dengan menamakan impian adalah faham kuno yang menarik untuk dipikirkan.
Berikutnya pandangan Lissa Claisse. Sejalan dengan pendapat Lissa mengutip ajaran kuno China yang menyamakan mimpi itu bentuk yang akan terjadi entah kapan. Ini berbasis pada unsur waktu dan kenicayaan. Pasti tapi tidak dalam koridor prediksi jelas.
Pokok perkara tentang topik how dream made atau bagaimana mimpi digagas seperti pembentangan di atas kita dapat menarik simpulan bahwa mimpi adalah sebuah keperluan manusia yang berakal waras, agar mimpi tidak hanya tinggal mimpi belaka.
Setidaknya ada dua hal, yaitu dream made dan berikutnya adalah dream implications. Dengan mimpi berakal waras dan aksi upaya yang sungguh-sungguhlah mimpi benar dan berguna. Mimpi bangsa Indonesia dengan berkemakmuran dengan pendapatan income per kapita tigapuluh ribu US Dollar seperti yang dicanangkan Presiden Joko Widodo tahun 2030 adalah keniscayaan. Wallahualam bissawab.
Jakarta, 18 Juni 2020
*) Mas ud HMN adalah Doktor Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta