Subang, Demokratis
Pemkab Subang dan DPRD Subang, Provinsi Jawa Barat, dituding tidak peka terhadap keluhan dan penderitaan petani tambak tradisonal di Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, kendati sudah berlangsung lebih dari empat tahun, akibat lahan tambaknya ditengarai tercemari lingkungan petambak budidaya intensif udang vaname, sehingga penghasilan mereka merosot tajam.
Petambak udang vaname selain diduga mencemari lingkungan juga tidak berijin (ilegal-Red), namun oleh Pemkab Subang dibiarkan terus beroperasi. Ada apa dengan Pemkab Subang Cq Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Subang. Sehingga sejumlah perwakilan warga mendesak pemerintah bertindak tegas menutup kegiatan tambak udang vaname yang bermasalah itu.
“Pasalnya, di samping tidak mengantongi izin usaha alias ilegal, tambak udang vaname juga dinilai warga menyebabkan pencemaran lingkungan yang merugikan petani tambak tradisional sekitar. Kami menuntut penegakan aturan perundang-undangan soal tambak udang vaname ini. Bahwa ada ratusan petani tambak tradisional yang terganggu usahanya dan dirugikan akibat adanya kegiatan usaha tambak udang vaname yang dijalankan tidak sesuai aturan,” tegas tokoh warga Blanakan sekaligus aktivis lingkungan Bambang Marwoto kepada awak media, Kamis (2/7/2020).
Ia juga mengatakan tambak udang vaname ini menyebabkan kerugian bagi pihak lain dan menimbulkan masalah-masalah yang berpotensi terjadinya konflik. “Bahwa kegiatan usaha tambak udang vaname ini sudah berjalan sekitar 4 tahun tanpa memiliki izin apapun,” ucapnya.
Berdasarkan ketentuan, sebutnya, kegiatan tambak udang vaname merupakan usaha berskala besar, sehingga wajib mengurus izin usaha ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) atas rekomendasi Dinas Perikanan dan Perum Perhutani.
Menurut Bambang, UU Perikanan mewajibkan kegiatan budidaya dalam skala besar memiliki Surat Izin Usaha Perikanan, dan menurut Dinas Lingkungan Hidup Subang, kegiatan usaha tambak udang vaname wajib mengurus izin lingkungan berupa UKL/UPL.
“Begitu pula menurut Perum Perhutani, bahwa tambak udang vaname yang beroperasi di kawasan Perhutani wajib memperoleh izin. Bahkan, untuk mengembangkan jaringan listrik ke tambak udang tersebut, PT PLN wajib mendapat izin terlebih dahulu dari Perhutani. Tapi kenyataannya, PLN belum mengajukan izin,” beber Bambang.
Selain beroperasi secara ilegal, kegiatan tambak udang vaname juga dinilai warga menjadi penyebab pencemaran lingkungan yang berdampak merugikan para petani tambak tradisional.
“Berdasarkan hasil uji lab terbukti jika limbah tambak udang vaname melebihi baku mutu, yakni mencemari lingkungan dan berdampak pada usaha/pendapatan petani tambak tradisional dan masyarakat perikanan kecil lainnya,” jelasnya.
Pihaknya mengaku sudah menyampaikan pengaduan dan keluhan ihwal kegiatan usaha tambak vaname ini kepada Pemkab dan DPRD Subang sejak tahun 2018 silam. Bahkan, surat pengaduan tersebut ditandatangani oleh 235 petani tambak tradisional dan masyarakat serta dua Koperasi Mina.
“Tapi hingga saat ini belum ada tindakan nyata dari Pemkab Subang. Yang baru dilakukan hanya peninjauan saja ke lokasi tambak vaname oleh Dinas Perikanan, Dinas Lingkungan Hidup, DPMPTSP, Muspika Blanakan, serta disaksikan para petambak tradisional pada Selasa (11/12/2018) lalu,” katanya.
Ia bersama ratusan petambak tradisional lainnya mendesak ketegasan Pemkab untuk menutup kegiatan tambak udang vaname tersebut. “Tuntutan kami tentunya sama dengan tuntutan rakyat seluruh Indonesia, tegakkan aturan perundangan! Tutup tambak udang vaname!” tegas Bambang.
Akibat tidak ditanggapinya keluhan petambak tradisional ini, akhirya mereka konsultasi ke Lembaga Bantuan Hukum Mahasiswa Pancasila (LBH-Mapancas) Jawa Barat untuk mencari solusi memperbaiki nasib mereka. Mereka merasa sudah tidak mendapat perhatian dari pemerintah bahkan mereka mencurigai adanya anggota dewan lebih memihak pengusaha udang vaname ketimbang memperjuangkan nasib mereka yang jumlahnya ratusan orang.
“Ada dewan daerah dan DPR pusat malah kelihatannya lebih memihak petambak vaname. Pemkab juga tidak memperhatikan nasib kami, buktinya belum ada tindakan tegas untuk mengatasi pencemaran limbah vaname yang merugikan kami. Kami berharap LBH Mapancas ini bisa bantu memperjuangkan nasib kami,” ujar perwakilan petambak tradisional Blanakan, Acep Suryana, bersama rekan-rekannya didampingi tokoh warga Blanakan sekaligus pemerhati lingkungan, Bambang Marwoto, saat bertemu dengan jajaran LBH Mapancas Jabar, Rabu (1/7/2020).
Ia juga menjelaskan, hasil uji laboratorium Dinas Lingkungan Hidup Jabar menyatakan limbah udang vaname mencemari lingkungan. Bahkan Ombudsman Jabar sudah memerintahkan agar tambak udang vaname ditutup sementara.
Mewakili para petambak, Bambang Marwoto, mendesak pemerintah memperhatikan petambak tradisional dengan mengupayakan langkah antisipasi pencemaran limbah vaname dan memperbaiki pendangkalan saluran tambak.
“Plang penutupan pun sudah sempat dipasang sebanyak tiga buah di lokasi, tapi malah ada yang nyabut semua. Jelas ini pelanggaran. Kita berharap putusan Ombudsman ditindaklanjuti Pemkab Subang dengan menutup sementara tambak vaname. Kasian para petambak tradisional ini sudah mengalami kerugian bertahun-tahun sejak 2014 karena produksinya anjlok dampak pencemaran,” imbuh Bambang.
Pimpinan LBH Mapancas Jabar, Sachrial SH, didampingi Aji Saptaji SH, menegaskan siap membantu memperjuangkan nasib para petambak tradisional Blanakan.
“Keluhan maupun persoalan-persoalan yang dialami para petambak ini secepatnya kami pelajari, kami segera siapkan langkah-langkah untuk membela nasib mereka,” tegas Sachrial.
Selain penghasilan mereka anjlok, kehadiran tambak intensif udang vaname yang limbahnya ditengarai mencemari lingkungan mengakibatkan ribuan warga terancam kehilangan mata pencaharian sehari-hari.
Menurut ketua kelompok petambak tradisional Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan, Acep Suryana, tambak-tambak udang lokal ini sudah ada sejak tahun 1965-an dan mereka meneruskan usaha orangtua mereka sampai sekarang. “Seperti budidaya udang impes, lempa, peci dan bago. Termasuk juga budidaya udang windu dan ikan bandeng,” ujar pria yang akrab disapa Udin ini kepada media, didampingi beberapa rekannya sesama petambak tradisional, Jumat (3/7/2020).
Ia mengatakan, hingga kini, jumlah petambak tradisional di Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan sebanyak 373 orang, dengan luas lahan tambak mencapai 800-an hektar.
Dengan rasio kebutuhan pekerja rata-rata sebanyak 10 orang per hektar tambak, usaha tambak tradisional ini mampu menyerap sedikitnya 8.000-an tenaga kerja.
Tak hanya itu, tambak tradisional ini memicu tumbuh menjamurnya profesi-profesi ekonomis lainnya yang ikut merasakan manfaat dari adanya tambak tradisional.
“Seperti pencari kepiting, pencari belut, pencari ikan di saluran-saluran tambak, pengobor, bakul-bakul kecil dan sebagainya. Jumlah mereka banyak sekali,” paparnya.
Namun, kata dia, semenjak adanya tambak intensif budidaya udang vaname dengan limbahnya yang diduga mencemari lingkungan, produksi petambak tradisional menurun drastis, penghasilan anjlok dan ribuan pekerja tambak terancam kehilangan mata pencaharian. Bahkan, akibat ekosistem lingkungan tercemar limbah, banyak profesi warga turut hilang.
“Tambak-tambak jadi tidak terurus, pendapatan kami terus menurun, kami jadi enggak bisa pekerjakan orang lagi. Padahal jumlah pekerja tambak tradisional ini ribuan orang lho. Terus karena saluran-saluran tambaknya rusak, dangkal, tercemar limbah, banyak sekali mata pencaharian warga lainnya seperti pencari kepiting, pencari belut, pencari ikan, juga ikut hilang akibat ekosistem lingkungan rusak tercemar,” paparnya diamini Kadra, Idin, Cardia Jiol, Iman serta sesama petambak lainnya.
Ia mencontohkan, sekitar tahun 2000-an silam jauh sebelum ada tambak udang vaname, satu hektar tambak tradisional bisa menghasilkan 10 kg udang impes per harinya. Udang jenis ini adalah udang alami yang berasal dari laut dan masuk ke areal tambak.
“Bagi kami para petambak tradisional, usaha udang lokal ini merupakan usaha pokok harian, mampu menghidupi kebutuhan keluarga sehari-hari, termasuk biaya sekolah anak-anak dan menghidupi para pekerja tambak,” ucapnya.
Dalam satu hektar, tambaknya rata-rata bisa menghasilkan 10 kg udang impes per hari dengan harga saat itu Rp 9.000/kg. Namun kini setelah ada tambak vaname, produksi udang impes anjlok, bahkan nyaris hilang, menyebabkan penghasilan mereka turun drastis.
“Per hektar cuma dapat tiga ons udang Inpes dengan harga Rp 40.000/kg, artinya hampir 99 persen hilang pendapatan kami, sebab udangnya mati tercemar limbah vaname dan saluran-saluran tambaknya dangkal,” imbuh Kadra, petambak Desa Jayamukti.
Selain usaha pokok harian berupa udang lokal impes, mereka juga punya usaha pokok musiman berupa usaha budidaya ikan bandeng, udang windu dan bago.
Angga kembali mencontohkan, pada tahun 2000-an, per hektar tambak rata-rata ditanami 2.500 ekor benih ikan bandeng. Dalam kurun tiga bulan kemudian sejak ditanam, pihaknya bisa memanen bandeng 10 blong per hektar, atau totalnya sebanyak 400-500 kg bandeng (1 blong setara rata-rata 50 kg) per hektar per tiga bulan. Dengan harga bandeng saat itu kisaran Rp 11.000-Rp 15.000/kg.
Lalu di tahun 2010, pihaknya masih bisa menghasilkan ikan bandeng sebanyak 300-400 kg/hektar per tiga bulan dengan harga Rp 15.000 – Rp 17.000/kg.
Namun, setelah ada tambak intensif udang vaname, pendapatan mereka dari usaha pokok musiman inipun turut anjlok. Tak hanya itu, durasi panen yang lazimnya per tiga bulan, saat ini ada perlambatan pertumbuhan ikan menjadi lima bulan dengan produksi yang menurun drastis.
“Bayangkan saja, begitu ada vaname, kami nanam 10.000 ekor bandengpun enggak pernah hasilnya dapat lima kwintal. Tahun 2018 kemarin, setelah lima bulan tanam, kami cuma dapat dua blong per dua hektar, totalnya cuma 70 kg, sudah gitu size (ukuran) ikannya kecil-kecil, harganya pun cuma Rp 9.500/kg. Jadi setelah ada vaname memang ada perlambatan panen dari biasanya tiga bulan jadi lima bulan. Karena makanan alami ikan seperti plankton atau lekap hilang atau mati akibat limbah pencemaran. Kami benar-benar rugi besar dari tahun ke tahun,” keluh mereka.
Bahkan saat ini, khusus untuk usaha budidaya udang lokal windu dan bago, kian sedikit yang mengerjakannya. Padahal, sepanjang kurun waktu 1965 hingga 1995-an, usaha udang windu/bago ini pernah jadi primadona usaha pokok musiman bagi warga Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan.
“Waktu itu sangat dikenal banyak petambak bisa pergi ibadah haji berkat penghasilan yang bagus dari udang windu/bago. Tapi sekarang, itu cuma kenangan,” keluhnya. (Abdulah)