Subang, Demokratis
Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan oknum Kades berimplikasi memporak poranda tatanan birokrasi memang tak terbantahkan. Seperti kodratnya bila kekuasaan cenderung korup itu bukan isapan jempol belaka.
Jika ada yang mengatakan bila penyakit Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sudah menjalar hingga ke tingkat Pemerintahan Desa, fenomena itu memang telah lama berlangsung, hanya saja ada yang mencuat dan tidak mencuat ke permukaan.
Akan halnya dugaan perbuatan KKN ini yang dilakukan oknum Kades Mekarjaya, Kecamatan Compreng, Kabupaten Subang, Dstri yang bersekongkol dengan oknum anggota DPRD Kabupaten Subang berinisial Srdn (anggota DPRD periode 2015-2019) terkait penyunatan dana pokok-pokok pikiran (Pokir) dulu populer disebut dana aspirasi, sehingga berpotensi merugilan keuangan negara/desa.
Tak hanya itu, Kades Mekarjaya Dstri dituding warga sebagai “pencuri”, lantaran diduga telah melakukan Pungli terkait biaya pembuatan sertifikat massal yang jelas–jelas memungut biaya tanpa jelas payung hukumnya, meski dengan dalih telah dimusyawarahkan dengan warga.
Bisa dibayangkan bila pembuatan sertifikat massal melalui program redistribusi ratusan bidang dikutip biaya antara Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta/bidang, maka empat saku baju safari yang biasa dikenakan sewaktu berdinas/bekerja, dipastikan tidak akan mampu menampung uang haram itu.
Hasil investigasi dan keterangan berbagai sumber dihimpun awak media menyebutkan, sinyalemen adanya penyelewengan dana pokir/aspirasi bersumber dari APBD Kabupaten Subang TA 2019 yang menggelontor ke Desa Mekarjaya bernilai ratusan juta rupiah tersebar di sejumlah titik, kini semakin terkuak.
Modus operandi penyelewengan dana itu terjadi mulai dari klaim sepihak, pungutan liar (Pungli) dengan prosentase tertentu, praktek nepotisme, hingga yang paling parah dugaan adanya kelompok penerima abal-abal.
Disebut abal-abal, lantaran kelompok dibentuk secara tiba-tiba, sementara kepengurusan dan anggotanya asal comot. Diduga kelompok itu dibentuk hanya sebagai sarana pencucian uang bantuan (money laundry). “Sebelum dana dikucurkan calon penerima dana atau pelaksana kegiatan harus bersepakat dahulu dengan oknum-oknum petinggi partai, anggota dewan yang terhormat atau pejabat tertentu mengenai besaran fee,” ujar sumber.
Masih menurut sumber tadi, besaran fee yang harus disetor kepada oknum tersebut berkisar antara 10 hingga 30 persen dari total pagu bantuan.
Eksesnya bagi Kades akhirnya latah (ikut-ikutan) diduga turut menyunat antara 10-30 persen dari pagu bantuan, sehingga dana yang direalisasikan berkisar 60 persen bahkan hingga 50 persen saja.
Adapun Dana Bandes bersumber APBD Kabupaten Subang TA 2019 yang menggelontor ke Desa Mekarjaya diperuntukan pembangunan lapangan futsal (Dusun Sukaresmi) sebesar Rp 100 juta dan pembangunan pagar desa sebesar Rp 50 juta.
Dari pantauan di lapangan, terlihat sebagian lantai lapangan futsal sudah retak-retak, padahal bangunan baru seumur jagung, bangunan tembok pengaman di sebelah barat terkesan asal jadi. Begitu pula kata sumber, pagar desa bukan bangunan baru tetapi hanya merehab, karena asalnya sudah ada bangunan jadi tinggal dipulas. “Jadi kelebihan dananya hinggap di mana, jika bukan masuk ke kantong pribadi,” ujar sumber.
Kades Mekarjaya Dastari ketika dikonfirmasi melalui surat tertulis Nomor : 72/Biro-Sbg/Konf/VII/2019, perihal wawancara khusus/konfirmasi, tidak berkenan memberikan penjelasan. Begitu pula ketika disinggung dugaan Pungli program sertifikat massal melalui WhatsApp hanya dibaca, tidak berkenan menanggapi.
Di kesempatan terpisah, Aktivis Lembaga Investigasi – Tindak Pidana Korupsi Aparatur Negara-RI (LI-TPKAN RI)) Kabupaten Subang Udin Samsudin SH saat dimintai tanggapan di kantornya (6/7/2020) sangat apresiatif. Pihaknya berjanji akan segera menelusuri kasus itu, setelah diperoleh data dan fakta hukum secara yuridis akan segera melaporkannya kepada aparat penegak hukum.
Udin menilai bahwa oknum-oknum yang terlibat bancakan dana Pokir/aspirasi dan biaya pembuatan sertifikat itu dikatagorikan perbuatan korupsi.
Udin lalu mengutip statemen Ka Kanwil BPN Provinsi Jawa Barat saat itu, Sri Mujitono sudah mewanti-wanti, bila aparat BPN kabupaten/kota dan aparat Pemerintah Desa agar tidak melakukan pungutan yang memberatkan warga/peserta program. Bahkan seyogyanya bisa gratis bagi warga tak mampu, melalui subsidi Pemerintah Daerah ataupun kebijakan Kepala Desa.
“Warga yang ikut program dibebaskan dari biaya pengukuran, biaya panitia, biaya pendaftaran, dan transportasi petugas ukur, kecuali peserta program dibebani biaya materai, patok dan biaya warkah dari desa,” ujar Sri Mujitono ditirukan Udin.
Melihat kondisi seperti ini, pihaknya mendesak aparat penegak hukum segera mengusut dan menyeret oknum yang terlibat hingga ke meja hijau.
“Upaya tersebut merupakan hal yang urgen sebagai upaya menegakkan supremasi hukum sebelum permasalahannya semakin meluas,” pungkas Sutisna. (Abh/Esuh)