Masa belajar di rumah lantaran pandemi tidak hanya berimplikasi positif mendorong anak belajar mandiri. Di sisi yang berlawanan, kemudahan anak-anak mengakses internet saat pembelajaran jarak jauh membuka ruang beraksi pelaku kejahatan seksual.
Kondisi itu terekam dari riset End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia. Mereka menemukan adanya pengalaman buruk anak-anak dalam berinteraksi di internet pada masa pandemi Covid-19. Di antara 1.203 responden di 13 provinsi, ada 287 responden yang mendapatkan pengalaman buruk. Yang paling banyak adalah, misalnya, dikirimi pesan teks tak senonoh, gambar atau video pornografi, dan ajakan untuk membicarakan hal-hal yang membuat tidak nyaman.
Sebagaimana diketahui, saat ini anak-anak lebih banyak memanfaatkan internet untuk belajar seiring ditiadakannya sekolah secara tatap muka. Selain memudahkan, hal itu membuat anak rentan terpapar hal negatif. Dengan kajian ECPAT, dituntut pengawasan yang lebih dari para orangtua saat anak mengakses internet.
Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Ciput Eka Purwianti menyatakan, proses belajar di rumah melalui internet memiliki dampak positif dan negatif. Belajar jarak jauh, kata dia, menstimulasi anak untuk belajar mandiri. Karena lebih banyak waktu di rumah, interaksi dengan orangtua tentu harus lebih maksimal. ”Namun, pada saat yang bersamaan, ada bahaya yang mengancam anak-anak kita,” tuturnya.
Menurut Eka, tak ada daerah yang nihil kasus kejahatan seksual secara online. Dia mengungkapkan, banyak kejahatan seksual yang mulanya dilakukan secara offline. Lambat laun kekerasan seksual lebih banyak dilakukan di ranah online. Pelaku kejahatan seksual merasa lebih mudah melancarkan aksinya di dunia maya. ”Bahkan bisa berjejaring lintas negara,” imbuh Program Manager ECPAT Indonesia Andy Ardian.
Sejauh ini belum ada aturan perlindungan anak pada ranah daring (online). ”Ada yang masih berupa pengantar dan tidak bisa diterjemahkan,” ucapnya. Sehingga pemangku kepentingan tak punya acuan untuk menyusun program perlindungan anak pada ranah dunia maya.
Selama ini memang ada berbagai upaya meningkatkan literasi digital. Mulai anak hingga dewasa. Diharapkan, itu bisa menjadi proteksi. Nyatanya, gerakan tersebut tidak 100 persen bisa melindungi anak dari pornografi.
Untuk itu, Andy berpandangan perlunya Gugus Tugas Pencegahan dan Penanggulangan Pornografi. Perannya pun perlu ditingkatkan. ”Kasus eksploitasi anak harus dituntaskan hingga mengungkap jaringan yang terlibat,” tegasnya.
CEO Project Karma Glen Hulley menjelaskan, selama ini pelaku kejahatan seksual mendekati korban dengan menggunakan profil palsu. Biasanya dengan berpura-pura sebagai figur publik. Dengan cara itu anak mudah tertarik dan dekat dengan pelaku. Ketika pelaku meminta sesuatu, korban akan menuruti. Misalnya meminta foto pribadi. ”Foto-foto ini dapat menjadi media untuk memeras korban,” ucapnya.
Kasus kekerasan seksual tersebut, lanjut Glen, harus diselesaikan dengan tuntas. Tidak bisa satu pihak saja yang bekerja keras. Glen menilai diperlukan strategi nasional dengan melibatkan berbagai pihak. Seperti yang dilakukan lembaganya selama ini dalam menyelesaikan kasus kejahatan seksual yang bekerja sama dengan Facebook, aparat penegak hukum (APH), dan organisasi perangkat daerah (OPD). ”Kami melakukan pelatihan bagi para APH dalam penanganan eksploitasi seksual anak hingga bekerja sama dengan beberapa mitra untuk melakukan konseling psikologi dan rehabilitasi korban,” ungkapnya.
Di tingkat hilir, berpindahnya kejahatan seksual melalui konten pornografi dari ranah offline ke online ternyata juga dapat mengakibatkan penularan penyakit infeksi menular seksual (IMS). ”Pengalaman kami di lapangan, selama ini penularan IMS terjadi pada penjaja seksual/prostitusi, korban perdagangan manusia, penjara remaja pria, dan anak atau remaja yang coba-coba setelah menonton konten pornografi,” papar relawan Yayasan Peduli Sahabat Dewi Inong Irana. Banyak di antara mereka yang orangtuanya tak tahu atau abai terhadap hal itu.
Penyebab lainnya adalah masih banyaknya informasi yang tidak tepat tentang upaya menjaga kesehatan reproduksi remaja di internet. Untuk itu, penting bagi orangtua tidak tabu dan merasa malu menjelaskan kesehatan reproduksi remaja kepada anak. Menurut Dewi, hal itu bisa mengurangi rasa penasaran anak. Sekaligus memproteksi agar pengetahuan anak didapat dari orang yang tepat.
Founder Yayasan Sejiwa Diena Haryana mengatakan, orangtua juga harus didorong lebih berperan. Menurut dia, orang-orang terdekat anak memiliki tanggung jawab besar agar mereka bisa mendampingi dan melindungi anak dari adiksi konten pornografi. ”Kedua orangtua satu sama lain harus menciptakan komunikasi yang hangat. Sehingga anak akan merasakannya. Lalu, keluarga harus bisa menciptakan momen kebersamaan,” tuturnya.
Lebih lanjut Diena menjelaskan, pornografi mengganggu tumbuh kembang anak. Kecanduan pornografi dapat menjadikan kerusakan otak dan gangguan emosi. ”Dengan kecanggihan teknologi, makin mudah anak dapat mengakses pornografi,” ucapnya. (Jp/Dm)