Senin, November 25, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Revolusi Perempuan di Titik Nol

Setelah kering tanpa bacaan yang selesai—dibaca, akhirnya saya menemukan sebuah buku yang dibaca tuntas di tahun ini. Buku berwarna merah dengan gambar sampul perempuan dan bilik penjara ini menjadi buku paling laris di lapak buku saung sastra. Buku yang diberi judul Perempuan di Titik Nol telah membuat saya—sebagai lelaki, ikut menundukan kepala bersama Mochtar Lubis—dalam kalimat pengantarnya, menghadapi tuduhan dan kutukan yang begini dahsyat dari seorang perempuan.

Sejarah sudah banyak menunjukan kepada kita bahwa laki-laki selalu berusaha mempertahankan superioritasnya terhadap kaum perempuan. Bahwa mereka—laki-laki, selalu berpikir untuk mempertahankan agar perempuan selalu menjadi makhluk yang kedua—setelah laki-laki. Kebobrokan sistem itulah yang berusaha dibongkar oleh Nawal melalui novelnya Perempuan di Titik Nol.

Novel ini merupakan kisah gelap yang diceritakan dari dalam sel penjara Qanatir Mesir.  Seorang tahanan perempuan bernama Firdaus dihukum mati karena telah membunuh seorang lelaki. Sebelum hukuman matinya tiba, Firdaus menceritakan semua kisah kepedihannya selama hidup sebagai seorang perempuan kepada kita semua melalui Nawal. Kisah yang berhasil mengoyak-ngoyak perasaan pembaca.

“Jika salah satu anak perempuannya mati, Ayah akan menyantap makan malamnya. Ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul Ibu, kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur.” Saadawi, hal 26.

Kejahatan yang bersifat patrialkal sudah disaksikan Firdaus dari ayahnya sendiri. Apa yang berbeda dari anak-anak yang berjenis kelamin perempuan dengan anak yang berjenis kelamin laki-laki, sehingga perlakuan ayahnya harus berbeda ketika salah satu anaknya meninggal? Apa yang berbeda dari perasaan ayahnya ketika kehilangan seorang anak lelaki lebih berharga sehingga ia bisa memukul ibunya, sedangkan ketika kehilangan seorang anak perempuan seakan biasa saja. Dua spesies kelamin yang dihasilkan dari proses seksual yang sama, namun menjadi perempuanlah yang paling rumit.

Dominasi laki-laki dalam novel ini terus berpindah tangan, dari ayahnya, kemudian pamannya, suaminya; Syekh Mahmoud, teman-teman sebayanya; Muhammadain, Bayoumi, Marzoukh, Di’aa, Ibrahim dan laki-laki lainnya yang hilir mudik menggagahinya di atas ranjang.

Judul Buku : Perempuan di Titik Nol

Penulis : Nawal el-Saadawi

Penerbit : Yayasan Obor Indonesia

Tahun Terbit : 2003

Tebal : 156 Halaman   

Oleh : Suryana Hafidin

Sepanjang alur novel ini ada dua hal yang menarik saya catat dalam perjalanan kisah gelapnya tokoh Firdaus yang dapat dipelajari oleh kita semua terutama kaum perempuan. Pertama, meminjam judul esai Gayatri Spivak “Can’t woman speak?” Sebagian besar perempuan yang menjadi korban kejahatan tidak dapat bicara atau sulit menceritakan kejahatan yang dialaminya. Lingkungan dan budaya patriarki salah satu penyebab utama yang mendorong sulitnya perempuan takut mengungkapkan kejahatan yang dialaminya. Begitu pula yang dialami oleh seorang Firdaus. Pada suatu peristiwa Firdaus menerima kekerasan fisik dari suaminya—syekh Mahmoud, sehingga muka dan badannya memar dan bengkak. Pamannya justru mengatakan bahwa semua suami memukul istrinya.

Kedua, revolusi;  Perempuan harus melawan. Revolusi perempuan yang dilakukan oleh Firdaus memang sangat radikal. Pertama Firdaus menganggap bahwa menjadi seorang pelacur yang sukses merupakan revolusi perlawanan bagi dirinya sebagai perempuan.

“Seorang pelacur yang sukses lebih baik daripada seorang suci yang sesat. Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada penipuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan, atau dengan pukulan.”

Bagi Firdaus semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Tetapi, sebagai pelacur ia dapat merasakan bahwa tubuhnya adalah miliknya sendiri. Ia bebas menolak pergi ke salah satu jenis laki-laki yang tidak disukainya.

Puncak revolusi Firdaus adalah ketika mengangkat pisau dan menancapkannya ke batang leher seorang lelaki bernama Marzouk—seorang germo yang memanfaatkan Firdaus sebagai pelacur yang sukses untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Demikianlah perlawanan Firdaus yang merasa dirinya hanyalah suatu mesin tubuh yang bekerja siang dan malam untuk seorang lelaki. Sebuah perlawanan yang menandai awal keberanian dalam diri Firdaus untuk mengangkat tangan lebih tinggi—bersiap menghajar—kepada lelaki.

“Saya tidak lebih daripada seorang pelacur yang sukses, dan tak jadi soal betapapun suksesnya seorang pelacur, dia tidak dapat mengenal semua lelaki. Akan tetapi, dengan setiap lelaki yang saya pernah kenal, saya selalu dihinggapi hasrat untuk mengangkat tangan saya tinggi-tinggi dan menghantamkannya ke muka mereka.”

Firdaus adalah kisah kelam kita semua, kisah perempuan-perempuan yang dibayang-bayangi rasa takut terhadap kejahatan yang dialaminya. Kisah perempuan-perempuan yang bungkam karena diperkosa dan diancam. Atau mungkin juga kisah saya sebagai lelaki yang masih menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak lebih baik daripada lelaki. Nawal telah menampar saya dan kita semua melalui novelnya. Bahwa kejahatan-kejahatan yang merampas hak perempuan untuk menikmati kebabasan hidupnya adalah tanggung jawab kita semua. Merdeka untuk kaum perempuan.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles