“Faksi yang menentang pemerintah selama ini terpecah-pecah. Punya orientasi juga berbeda-beda. Memang yang kita kenal Beny Wenda cs karena manuvernya yang kencang di Inggris, Eropa, Afrika, dan Pasifik.”
Sebanyak 14 kursi anggota DPRD Papua di masa yang akan datang sebaiknya diisi oleh sebagian tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Seperti GAM yang duduk di DPR Aceh lewat partai lokal saat Pemilu.
“Di Aceh aturannya diatur di dalam Undang-undang Otsus Aceh. Sementara UU Otsus Papua sudah memberikan kuota 14 kursi untuk non parpol tapi sekarang diisi oleh orang yang dekat dengan pejabat Papua. Maka untuk kedepannya saya usul agar sebaiknya diisi oleh OPM.”
Ini dikatakan Yan Mandenas anggota DPR dari Fraksi Gerindra di Gedung DPR Jakarta, Selasa (21/7) lalu.
“Seperti contoh Beny Wenda yang bergerak bersama pengikutnya di luar negeri. Harus bisa diyakinkan agar duduk jadi anggota DPRD. Walau untuk menyakinkan mereka diperlukan waktu panjang juga untuk berdialog,” tegasnya.
Padahal, gerakan OPM bersenjata jumlahnya tak terlalu banyak. Kalau kita berniat mau menyelesaikannya sebenarnya OPM bisa dirangkul semua. Dan sebetulnya orang Papua juga tidak ingin ada kekerasan, mereka semua sebenarnya ingin membantu pemerintah. Yang tidak banyak tahu bahwa OPM yang bergerak bersenjata semua masih ber-KTP Papua atau Indonesia.
“Saya berprinsip di Komisi I yang membidangi militer dan pertahahan di DPR akan mengutamakan pendekatan kemanusian dari pada konflik bersenjata. Untuk itu, saya yang ada di Komisi I akan siap menjembatani OPM dengan pemerintah,” jelasnya.
Yan mengungkapkan juga bahwa faksi yang menentang pemerintah selama ini terpecah-pecah. Punya orientasi juga berbeda-beda. Memang yang kita kenal Beny Wenda cs karena manuvernya yang kencang di Inggris, Eropa, Afrika, dan Pasifik.
“Padahal, gerakan OPM bersenjata jumlahnya tak terlalu banyak. Kalau kita berniat mau menyelesaikannya sebenarnya OPM bisa dirangkul semua. Dan sebetulnya orang Papua juga tidak ingin ada kekerasan, mereka semua sebenarnya ingin membantu pemerintah. Yang tidak banyak tahu bahwa OPM yang bergerak bersenjata semua masih ber-KTP Papua atau Indonesia,” paparnya.
Dijelaskan, apabila OPM sudah duduk di DPRD Provinsi Papua, positifnya akan lebih mudah untuk mereka untuk sampaikan aspirasi Papua. “Beda dengan kami yang dari Parpol harus ikut perintah DPP Partai,” imbuhnya.
Wakil rakyat asal Papua ini meminta agar pemerintah tak cuma diam. “Sebab jikalau kita diam, OPM akan makin leluasa bergerak. Dan kita akan menjadi sulit membendungnya akibat dari tiadanya ruang komunikasi sehingga masalah mereka tidak tersalurkan antar pemerintah pusat dan daerah,” katanya.
Pertahanan Udara FIR
Di tempat terpisah, Muhammad Johansyah pengamat ruang pertahanan udara menyatakan, saatnya wilayah udara Batam, Natuna dan Pekanbaru di Kepri dan Riau, yang masih belum dikembalikan ke Indonesia atau yang dikenal sebagai ruang pengelolaan Flight Information Region (FIR), sektor A-B-C oleh Singapura agar diusahakan untuk dikembalikan kepada Indonesia.
“Adapun dasar otoritas pengambil alihan pengelolaan FIR dari Singapura oleh Indonesia adalah soal masalah kedaulatan kita di udara yang di dalamnya menyangkut pertahanan udara kita,” tandasnya.
FIR Singapura atas sektor A-B-C yakni Batam, Natuna dan Pekanbaru, sudah 74 tahun dikelola dan dikontrol oleh Singapura. “Saya pernah ikut mendiskusikan secara intensif sebelumnya dengan berbagai pihak, dan telah memberikan saran pada Pemerintah untuk segera mengambil alih pengelolaan FIR dari Singapura,” katanya.
Flight Information Region (FIR) adalah suatu ruang udara yang ditetapkan dimensinya yang merupakan suatu pembagian wilayah udara yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan keselamatan penerbangan yang ditetapkan oleh negara-negara yang tergabung dalam ICAO. Yang salah satu perannya untuk memberikan pelayanan informasi lalu lintas/navigasi penerbangan.
Awal masalah ini bermula pada tahun 1946 saat negara-negara anggota ICAO menunjuk Inggris untuk melakukan pengelolaan FIR Natuna dan selanjutnya mendelegasikan pelayanan kepada Singapura setelah Singapura merdeka tahun 1965.
“Mengingat ancaman-ancaman mendatang baik ancaman militer maupun non militer harus diantisipasi dengan cermat dari udara. Saya yakin kita sudah mampu mengelola komunikasi lalu-lintas udara di koridor A-B-C atau Batam, Natuna dan Pekanbaru. Sekali lagi, dasar-dasar pengembil-alihan FIR Singapura adalah masalah kedaulatan NKRI dan ancaman-ancaman masa depan yang akan sangat sulit untuk diantisipasi,” kata Johansyah saat berada di Kantor PB NU Jakarta.
“Dan oleh karena soal FIR Singapura adalah sudah menyangkut masalah pertahanan. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto seharusnya menjadi ujung tombak di dalam menyelesaikan masalah ini. Adagium : Whoever control the air, generally control the surface, masih tetap berlaku. Apabila ini berhasil maka akan menjadi legacy Pemerintahan Jokowi yang akan dikenang sepanjang sejarah oleh bangsa Indonesia,” pungkasnya. (Erwin Kurai)