Indramayu, Demokratis
Memperingati Hari Tani Nasional 2020, sejumlah pemuda, buruh, petani, nelayan dan mahasiswa yang tergabung dari berbagai macam organisasi melakukan aksi. Sebab, pemerintah saat ini dianggap belum menentukan kebijakan yang baik bagi sejumlah petani, kemudian maraknya pengusuran di berbagai sejumlah daerah dalam bentuk represifitas maupun diskriminatif makin tak terelakkan.
Pusat Study Strategis Malaqbi (PUSSMA), Muh Suyuti, Kamis (24/09), menjelaskan, ada jurang yang dalam dan perbedaan di Hari Tani Nasional pada tahun 2020 ini, selain dilanda wabah Covid-19, bayang-bayang suram pun mempengaruhi situasi pergerakan di kalangan pemuda dan masyarakat lainnya. Sehingga kerap kali publik menilai untuk berkumpul dan bergerak melakukan aksi sangat kurang memungkinkan. Walaupun dengan menggunakan metode daring adalah hal yang paling mustahil.
“Tentunya di Hari Tani Nasional pada tahun 2020 ini ada yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di mana kita semua ketahui bahwa Indonesia saat ini sedang dilanda wabah Covid-19 yang mempengaruhi situasi pergerakan di kalangan mahasiswa, pemuda dan masyarakat lainnya dengan bayang-bayang ketakutan sehingga kita kerap kali berfikir untuk berkumpul dan bergerak, untuk melakukan aksi meskipun kita tahu bahwa di masa pandemi ini ada jalan untuk tetap melangsungkan pergerakan yaitu melalui sistem daring namun menurut saya itu kurang efektif,” jelas salah seorang mahasiswa yang biasa disapa Yuti Kalionang kepada Demokratis.
Dikatakan, selain suramnya pergerakan aksi di berbagai macam organisasi, sikap pemerintah tentang Omnibus Law yang menjadi isu paling kencang untuk ditolak masih samar untuk dibatalkan oleh pemerintah pusat. Sehingga Omnibus Law atau Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) bukan menjadi kepentingan rakyat, melainkan kebutuhan para investor yang terkesan diberi karpet merah oleh pemerintah.
“Pemerintah sudah sepatutnya untuk mendengarkan aspirasi masyarakat Indonesia apa yang telah menjadi tuntutan dari kawan-kawan yang tergabung dalam berbagai macam organisasi, untuk kepentingan rakyat yang salah satunya adalah meminta untuk tidak mensahkan RUU Cipta Kerja dan tuntutan-tuntutan lain untuk kepentingan rakyat,” imbuhnya.
Kemudian pihaknya pun akan berupaya untuk selalu membangun serta melakukan perlawanan-perlawanan yang lebih konkrit dalam jaringannya untuk tetap menolak isu Omnibus Law yang hingga saat ini masih dikebut oleh pemerintah pusat agar disahkan.
“Saya akan selalu berupaya membangun perlawanan terhadap pemerintah demi kepentingan rakyat Indonesia dengan cara membangun aliansi-aliansi di seluruh elemen pergerakan untuk menyikapi Omnibus Law ini, memberikan proses penyadaran terhadap kaum tani atau masyarakat pedesaan yang bekerja sebagai petani, nelayan tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika Omnibus Law (Cipta Kerja ini disahkan),” tambah Yuti Kalionang yang juga aktivis Front Perjuangan Pemuda Indonesia Pimpinan Kota Mamuju.
Menyikapi persoalan di atas, dengan maraknya bentuk represifitas oleh sejumlah aparat dan bentuk-bentuk diskriminatif, Pangihutan Blasius Haloho sebagai mantan aktivis dan pengacara mengungkapkan bahwa pemerintah saat ini telah mengabaikan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang mengatur mengenai pemberdayaan petani sebagai suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan petani dalam melaksanakan usaha tani yang lebih baik.
“Dengan adanya tindakan represif atas aksi-aksi protes yang dilakukan petani artinya bahwa tidak ada keinginan pemerintah secara serius meningkatkan kesejahteraan petani, represifitas yang dilakukan adalah bentuk kriminalisasi terhadap petani,” ujarnya.
Selain itu, ia pun menambahkan bahwa selama ini pemerintah diduga telah secara sengaja mengabaikan segala hak masyarakat atau rakyat Indonesia yang telah diatur secara aturan dan perundang-undangan. Oleh karenanya ia berpandangan bahwa saat ini untuk melakukan kebebasan berpendapat telah terbelenggu.
“Mengabaikan hak-hak konstitusi petani, sebagai bagian dari warga negara yang seharusnya dilindungi oleh negara, tidak ada kepastian dan perlindungan hukum yang diberikan, jaminan sosial, kebebasan berpendapat dan berorganisasi yang dibelenggu ini sudah jelas tidak ada keberpihakan negara terhadap petani,” tutup Blasius. (RT)