Oleh Osyad M Sabilurrosyad*)
Apa yang kalian pikirkan jika mendengar kata humanisme? Mungkin kebanyakan dari kita akan berpendapat bahwa humanisme merupakan paham yang “baik” karena merujuk pada kemanusiaan. Akhir-akhir ini sepertinya kemanusaiaan menjadi sesuatu hal yang sensitif, entah mengapa, sepertinya banyak sekali kasus yang berlindung di bawah ketiak paham kemanusiaan. Banyak keluhan seperti “dikit-dikit HAM, dikit-dikit Hak Asasi” yang menandakan rupanya banyak juga yang salah mengartikan tentang kemanusaaan itu sendiri. Lalu sebenarnya apakah humanisme itu sendiri? Apa definisinya? Bagaimana sejarahnya? Mengapa paham ini bisa menjadi mengerikan?
Humanisme adalah topik yang “licin”. Kata ini bukanlah sebuah istilah dengan pengertian tunggal yang mudah disepakati. Kebanyakan kalangan religius menganggap humanisme adalah sesuatu yang berbahaya. Sebaliknya, bagi mereka yang merasa tercekik oleh doktrin-doktrin agama, humanisme merupakan lorong pembebasan yang memberi mereka nafas untuk hidup. Begitu dekat sekaligus jauhnya kita dari paham ini, sehingga kita memuji atau mencercanya tanpa mengerti apa yang kita puji dan cerca serta apa alasannya.
Dalam segala hal di dunia ini kiranya tidak ada sesuatu yang sepenuhnya baik ataupun sepenuhnya buruk, sehingga akal kita masih diberi kesempatan untuk memilih dan mengambil yang baik. Hal itu juga terjadi dengan humanisme. Maka dari itu, tidak berlebihan rasanya bahwa kajian kita di sini mencoba memahami kemanusaan secara lebih baik dengan mengeluarkannya dari jepitan antihumanisme dan humanisme itu sendiri yang dalam arti lain mari kita melakukan dekontruksi terhadap humanisme.
Sejarah Munculnya Humanisme
Humanisme kritis dimulai dengan gerakan umanisti pada zaman Renaisans abad ke-14 sampai ke-16 dan memuncak pada humanisme Pencerahan Eropa abad ke-18. Di Eropa Abad Pertengahan ditemukan dimana-mana terlalu banyak agama, terlalu banyak ketakutan akan perkar-perkara di balik kubur, namun terlalu sedikit perhatian dan penghargaan terhadap kehidupan di dunia nyata ini. Humanisme tumbuh sebagai tunas-tunas muda di tengah-tengah himpitan bangunan usang abad pertengahan yang mulai retak di sana-sini. Humanisme modern itu, yang mengambil sikap kritis terhadap monopoli tafsir kebenaran oleh persekutuan horor antara negara dan agama. Kaum humanis ditandai oleh pendekatan rasional mereka terhadap manusia yang tidak terburu-buru melakukan “hubungan singkat” dengan otoritas wahyu ilahi, melainkan lebih dahulu lewat penelitian yang cermat atas ciri keduniawian dan alamiah manusia. Perhatian ditumpahkan pada antara lain toleransi, vitalitas jiwa, keelokan raga, persahabatan. Semua itu dicakup dalam kata humanus.
Sulit dipastikan mana yang lebih dulu berperan dalam modernisasi Barat, humanisme atau ilmu pengetahuan modern, namun kita tidak perlu meragukan bahwa keduanya saling membantu dalam mengokohkan suatu cara berfikir rasional yang menempatkan manusia dan rasionalitasnya sebagai pusat segala sesuatu. Ditinjau dari sisi tertentu, humanisme seperti berupaya merebut manusia dari alienasi oleh obsesi masyarakat pada “dunia-sana” dan mengakarkannya kembali ke “dunia-sini”.
Humanisme sebagai gerakan sekularisasi manusia pada abad ke-18 pada akhirnya memudarkan segi spiritual yang sedikit banyak masih berbinar dalam humanisme Renaisans. Dalam radikalitasnya itu menyingsinglah suatu tatanan baru yang sama sekali otonom dari simbol-simbol religius, suatu tatanan sekular yang menghargai kebebasan dan nilai-nilai kodrati manusia. Di atas tanah humanisme sekular itu tumbuh berbagai pengetahuan, teknologi, industri, birokrasi, profesi, dan konsumsi yang sampai hari ini memberi kita suatu keyakinan yang makin besar bahwa kehidupan di dunia ini penting dan dalam kendali kita manusia. Kebahagiaan pun tidak lagi perlu ditunggu sampai hari pengadilan terakhir, melainkan diupayakan sekarang lewat sistem pengetahuan dan pengaturan masyarakat yang rasional.
Isme yang Mampu “Membunuh” Tuhan
Jika menilik apa yang berkembang di zaman Renaisans, kita bisa menyimpulkan bahwa humanisme modern pada awalnya masih belum cukup berjarak dari kekristenan abad pertengahan. Memusatkan diri pada kemampuan kodrati manusia, humanisme melihat agama sebagai penghalang. Menurut diskursus humanisme masa zaman pencerahan abad ke-18 yang diwakili oleh filsuf Jerman Immanuel Kant, kesalahan kerumunan “saleh” pada abad pertengahan adalah ketidakberanian mereka untuk berpikir sendiri di luar tuntutan dogmatism agama dan otoritas yang menjaganya. Alasan epistemologis humanisme ateis juga sudah jauh hari diletakan oleh Kant. Filsuf dari Konigsberg itu memang tidak menolak kepercayaan kepada Tuhan, tetapi filsafatnya telah membuka peluang bagi para humanis setelah dia untuk menyingkirkan keyakinan akan Tuhan sebagai realitas obyektif. Menurut Kant, Tuhan bukanlah realitas di luar pikiran kita, melainkan bagian di dalam akal. Yang dimaksud bukan hanya bahwa Dia ada karena kita pikirkan, melainkan bahwa kita berpikir begini atau begitu karena Dia terpasang dalam pikiran kita.
Jika Kitab Suci berkata Tuhan menciptakan manusia menurut citra-Nya, Freuerbach berkata bahwa manusia menciptakan Tuhan menurut citranya. Sudah dapat diduga bahwa bagi humanis ateis bayang-bayang Tuhan dalam benak kita telah menghalang-halangi realisasi diri sejati manusia. Jika kemanusiaan ingin mekar dengan segenap kemuliaan dan keluhurannya, manusia harus menghilangkan Tuhan dari kesadarannya. Reorganisasi sosial lewat sains menjadi strategi kunci bagi para ilmuwan-ilmuwan kaum humanis untuk menyingkirkan Tuhan dari masyarakat. Lagi, di sini kita temukan bahwa humanisme memahami Tuhan sebagai hasil konstruksi pikiran, maka membunuh-Nya tidak lain daripada mengubah pola pikir dan mentalitas masyarakat.
Seandainya saja Tuhan yang ingin disingkirkan demi mekarnya peradaban kemanusiaan sejati itu hanya bagian dalam akal kita, perkembangan sains dan ekonomi sudah cukup untuk menyingkirkan-Nya. Kenyataan tidaklah demikian. Agama bukan hanya sekadar pola pikir, melainkan juga pola hidup. Terhadap kenyataan seperti itulah humanisme juga memiliki barisan “pembunuh Tuhan” yang membidikkan serangan pada penghayatan ekstensial manusia agar manusia sungguh-sungguh dapat muncul dengan segala otentisitas eksistensinya tanpa menghamba lagi pada agama.
Humanisme kerap disejajarkan dengan ateisme, sekularisme, atau bahkan filsafat Barat itu sendiri. Anggapan seperti itu tidak seluruhnya tepat, karena humanisme memiliki cakupan yang lebih luas dan dalam dari pada sekadar humanisme ateistis. Di sini dapat didaftar, misalnya, humanisme Kristiani, humanisme Islam, humanisme kultural, humanisme eksistensial-teistis, yang memaknai pentingnya kemanusiaan dan kehidupannya di dunia-sini tanpa mengesampingkan kepercayaan akan Tuhan. Kiranya justru kalangan-kalangan agama monoteislah yang paling getol memberi pengertian sempit itu, karena mereka berangkat dari suatu kecurigaan terhadap pendekatan-pendekatan rasionalistis sebagai ancaman bagi iman akan wahyu Ilahi.
Kecurigaan ini tentu saja sama sesatnya dengan sikap-sikap ateistis yang mencurigai iman sebagai retardasi mental. Jika kita mengikuti ulasan di atas, akan jelas bahwa humanism yang mereproduksi kecurigaan terhadap agama berbalas kecurigaan terhadapnya yang pada gilirannya menyempitkan pengertian humanism pada ateisme dan sekuarisme. Sikap saling kecurigaan tersebut tentunya tidak dapat menolong dan bahkan merugikan kemanusiaan itu sendiri. Fakta menunjukkan bahwa agama tetap ada, dan warga sekular harus hidup berdampingan dengan warga religius dalam masyarakat plural.
Dari apa yang kita pelajari, meski sejarah lahirnya humanism yang mengakibatkan tujuan awal humanism itu sendiri terlihat mengerikan bagi masyarakat bertuhan, tapi tidak mengakibatkan ide akan paham ini menjadi mengerikan sepenuhnya. Lalu apakah konstribusi humanism ateistis bagi pemahaman tentang manusia dan kemanusiaannya? Tanpa harus menyempitkan humanis ateistis pada sikap-sikap ateistis, melainkan mengapresiasi aspek ilmiah dan metodologis yang mereka hasilkan, kita dapat menarik buah-buah peradaban mereka, karena orang tidak perlu menjadi ateis untuk menjadi kritis terhadap agama.
Radikalisasi moral rasional adalah sumbangan pertama kaum humanis ateis. Moral rasional adalah moral yang tidak diturunkann dari wahyu dan tradisi religius, melainkan dari akal belaka. Kaum humanis ateistis yakin bahwa tanpa mengharapkan pahala di akhirat manusia dapat berbuat baik kepada sesamanya, dan sikap ini justu menunjukkan kedewasaan dan penerimaan di dunia ini apa adanya.
Sumbangan kedua humanism ateistis adalah kritik agama itu sendiri sebagai suatu pendekatan rasional yang dapat dilihat sebagai sesuatu yang bermanfaat untuk memurnikan iman religius. Ateisme adalah suatu hal, tetapi kritik agama adalah hal lain. Orang yang percaya kepada Tuhan dapat memanfaatkan kritik agama tanpa harus menjadi ateis. Sebagai pandangan dunia total, agama mengklaim kebenaran absolutnya, sehingga tak seorang pun berani mempersoalkannya. Akalpun dikebiri demi iman yang buta yang pada gilirannya menginduk pada otoritas yang disakralkan.
Keadaan itu tidak bisa disebut manusiawi, karena bakat-bakat rasional manusia ditindas. Semakin agama dan praktik-praktiknya mencekik kebebasan manusia dan membengkok menjadi ideologis, hipokrit dan fanatis, semakin besar kebutuhan akan kritik agama untuk memberi nafas dan kesadaran akan dimensi kemanusiaan dalam agama. Feuerbach, Marx, Conte, Nietzsche, dan Sartre benar bahwa sesuatu yang dihasilkan oleh pikiran telah mengasingkan manusia dan memasung kebebasannya. Mereka menyebut itu “Tuhan”, tetapi kita menyebutnya dengan lebih tepat, yaitu: gambaran tentang Tuhan.
Suatu agama atau suatu cara penghayatan religius dalam agama yang menutup diri terhadap cahaya akal dan berdalih ke persepsi batiniah belaka, yakni tanpa mediasi akal, akan menampik filsafat dan ilmu-ilmu agama itu sebagai buatan iblis yang menyangsikan iman. Jelas itu sebuah kesalah pahaman yang berbahaya, karena akan sangat memiskinkan bakat-bakat manusia.
Kemanusiaan yang Tidak Manusiawi
Sekarang kita masuk ke dalam persoalan yang jarang dibahas ketika humanisme dibicarakan, yaitu hubungan antara humanisme dan, kolonialisme atas bangsa-bangsa di luar Eropa, seperti Asia, Afrika, India, atau Amerika. Sejarah kolonialisme seolah mendesak orang Barat untuk mengaku bahwa keagungan dan keluhuran ajaran-ajaran humanis mereka tentang kemanusiaan universal itu tidak diraih begitu saja lewat retorika mimbar yang serba intelektual dan bebas dominasi, melainkan lewat pertumpahan darah dan perampasan kebebasan penduduk tanah-tanah terjajah.
Kenyataan empirisnya tentu sangat kompleks, karena kemanusiaan menjadi berwajah ganda. Di satu sisi penjajahan dianggap bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, di sisi lain atas nama kemanusiaan juga kombinasi antara pemberadaban dan penjajahan itu terjadi. Dapat dibayangkan bagaimana oposisi biner “beradab” dan “biadab” dimainkan di sini, sehingga hanya kriteria keberadaban bangsa penjajahlah yang menentukan kemanusiaan.
Penjajahan, sebuah pengkhianatan kemanusiaan dari kaum pencetus humanisme. Humanisme, sebarapa universalnya pun klaimnya, dengan demikian tetap berciri eksklusif, jika “kemanusiaan universal” dimaknai hanya oleh satu rezim tafsir yang menyingkirkan tafsir-tafsir lainnya. Keadaannya serupa dengan “Tuhan” dalam agama-agama yang meski dimaknai sebagai “Tuhan semua manusia”, secara praktis kerap diartikan sebagai “Tuhan agama kita” yang berbeda dengan “Tuhan agama mereka”.
Menurut konsep eksklusivistis itu, “manusia” adalah orang Eropa dengan peradaban humanistisnya yang rasional dan bukan mereka yang percaya takhayul di hutan Amazon, orang-orang negro yang dijual sebagai budak, atau penduduk Jawa yang tidak menghasilkan jenius-jenius sekelas Michelangelo, Newton, atau Hegel.
Nazisme dan komunisme adalah suatu humanisme, karena memandang manusia sebagai pusat sejarah, suatu subyek yang dapat mengubah sejarah melalui kebebasannya dan kemampuan-kemampuan kodratinya. Namun ketika manusia dipersempit pada ras atau kelas tertentu, humanisme mereka berubah menjadi teror yang mengalienasi, mengintimidasi, dan mendestruksi manusia konkret dengan kekhasan individual dan keragamannya.
Humanisme berubah menjadi naturalisme ketika kemampuan-kemampuan kodrati manusia dipersempit menjadi mekanisme naluriah untuk survival belaka. Dalam humanisme Kristiani manusia masih memiliki dimensi supranatural, yaitu kepercayaan pada Tuhan dan wahyu-Nya. Humanisme ateistis menghapus Tuhan demi kebebasan. Kebebasan ini pada akhirnya juga dihapus dalam naturalisme. Itulah sebabnya mengapa modernitas kapitalis berupaya menghabisi ciri-ciri misterius manusia, termasuk iman dan kebebasannya, dengan memperlakukannya sebagai human resource, modal, atau bahkan komoditas yang bisa dipertukarkan dengan uang, sebagaimana terjadi dalam human trafficking.
Di satu pihak “kematian Tuhan” yang oleh Nietzsche dimaklumkan sebagai awal zaman nihilisme membuka peluang bagi manusia untuk bermain sebagai Tuhan. Di lain pihak, karena manusia tidak tahan untuk mengambilalih tempat Tuhan tanpa sesuatu di atasnya, maka ia pun menundukkan diri di bawah hukum-hukum alam yang menyangkal kebebasan manusia, seperti seleksi alam untuk memperoleh ras-ras unggul dan hukum sejarah tentang perjuangan kelas-kelas sosial. Jika kita ikuti logika sejarah humanisme, kita dapat mengatakan bahwa kematian Tuhan yang dicanangkan oleh para ateis disusul dengan kematian manusia sendiri di dalam suatu rezim politis buatan tangan manusia.
Kita sedang menapaki suatu era yang menyangsikan gagasan besar tentang manusia. Kita memang menikmati hasil-hasil positif gerakan humanisme, seperti hak-hak asasi manusia, penghargaan terhadap kebebasan, rasionalitas, dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Pada saat yang sama kita tahu bahwa konsep kemanusiaan universal dan ciri keduniawian yang dibawa mengandung bahaya yang sama besarnya dengan konsep Tuhan dari agama manapun. Dilema dalam humanisme itu mendesak kita untuk menimbang ulang makna manusia dan kemanusiaan dalam humanisme.
Heidegger melontarkan kritik terhadap humanisme. Menurutnya, manusia tidak dapat diringkus ke dalam sebuah hakikat atau substansi seperti zoon logon dan animal rationale karena ia adalah suatu Ek-sistenz. Artinya, manusia bukanlah suatu inti yang oleh humanisme modern disebut subyektivitas atau subyek, karena ia akan selalu berdiri di luar pusat itu.
Para kritikus humanisme melihat gagasan besar tentang kemanusiaan yang pernah dominan dalam peradaban modern tidak lagi sesuai dengan fakta kompleksitas masyarakat dewasa ini. Mengapa? Karena gagasan humanisme teoritis, menindas kemajemukan cara hidup. Seperti sudah disinggung di atas, kemanusiaan sebagai gagasan metafisis–tidak jauh berbeda dengan Tuhan dengan eksistensi-Nya ditolak oleh para humanis ateistis-meringkus kebebasan manusia konkret.
Humanisme, gagasan besar tentang manusia dan bakat-bakat kodratinya sebagai pusat pemaknaan seluruh kenyataan, telah dianggap bangkrut oleh para kritikusnya. Menurut para kritikusnya, humanisme tidak banyak mengubah keadaan karena pergantian teosentrisme ke antroposentrisme tidak beranjak ke luar dari cara berpikir yang sama yang berlangsung dalam wilayah metafisika itu sendiri. Jika Feuerbach menyebut teologi sebuah antropologi, dalam humanisme, kita justru menemukan suatu teologi diam-diam yang menempatkan manusia pada takhta Tuhan. Namun, meski para pengkritik berpendapat humanisme bersifat teoristis karena menindas kemajemukan. Akan tetapi, terlalu berlebihan rasanya jika kita menganggap ada keharusan untuk menghentikan humanisme.
Membela Humanisme Lentur
Kita tidak bisa menghentikan sepenuhnya ide humanisme dan akan membela sebagian. Caranya adalah dengan menyelamatkan aspek kritis-normatif humanisme yang dewasa ini nyata-nyata telah ikut membangun kesadaran akan persaudaraan umat manusia yang melampaui batas-batas penyekat kebudayaan dan agama. Langkah berikutnya kita hanya akan menghentikan sebagian, yaitu metafisika kemanusiaan yang membuat humanisme menjadi ekslusivistis dan menindas kemajemukan. Humanisme ini boleh dibilang sebagai “humanisme lentur”. Humanisme yang kita bela tidak hanya meninggalkan versi eksklusivistis humanisme modern, melainkan juga kritis terhadap versi sekularitasnya yang menyangkal semua kebenaran agama.
Dua hal berikut menandai humanism lentur. Pertama, kelenturannya menyatakan keyakinan bahwa universalitas kemanusiaan itu mungkin. Humanisme lentur menyelamatkan intuisi kita sehari-hari yang menyebut sikap toleran terhadap perbedaan sebagai “manusiwai”, dan sikap kaku yang menyekat sesama manusia dalam pagar-pagar suku, agama, ideologi, atau kelas sebagai “tidak manusiawi”. Keterbukaan terhadap perbedaan itu juga diiringi oleh kemampuan untuk mengabaikan perbedaan suku, agama, kelas, atau ideologi di antara kita, karena merasakan kesamaan dalam kenyataan bahwa kita manusia mudah terluka.
Kedua, kelenturannya juga menyatakan respeknya pada batas-batas antara iman religius dan rasionalitas. Tugas akal baik seorang humanis pasca-metafisika kemanusiaan adalah menunjukkan bahwa manusia terbuka terhadap sesuatu yang melampaui dunia ini, dan ini dilakukan tanpa menyangkal keduniawian manusia. Bagi seorang manusia, kebebasan diraih bukan dengan menyingkirkan Tuhan dari kesadarannya melainkan lewat keinsafan akan kontingensi hidupnya yang dapat ia sadari dalam hubungannya dengan yang absolut. Dengan bersikap moderat terhadap akal, kebebasan, iman, humanisme yang tanpa narsisme dan triumfalisme yang kita bela, di sini menemukan kembali makna “kemanusiaan” di antara puing-puing metafisika kemanusiaan.
Di awal modernitas, ketika rasionalisme sedang mekar, Blaise Pascal mencoba menguak hubungan iman dan nalar dengan cara yang khas. “Jika kita menyerahkan segalanya kepada nalar, agama kita tidak akan memiliki unsur misterius dan supernatural. Jika kita menyerang asas-asas nalar, agama kita akan menjadi absurd dan menggelikan.” Agama mengandung potensi kebenaran yang tidak dimiliki lagi bila semua direduksi ke dalam rasionalitas belaka, sementara rasionalitas membuat agama dan pengalaman otentik di dalamnya terhubung secara komunikatif dengan nalar bersama umat manusia. Agama yang benar menyempurnakan kemanusiaan sejati, sementara kemanusiaan merupakan prasyarat untuk agama sejati. Dalam kontaminasi itulah kita temukan kelenturan humanisme yang kita bela di sini.
Penulis adalah Alumnus Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang. Tinggal di Singaraja.