Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober memberi kesan ganda. Satu pihak pendidikan agama mendapatkan tempat yang khas di Tanah Air kita. Di pihak lain gejala kemunduran moral terjun bebas. Kejahatan terhadap anak, premanisme, narkoba kian merajalela. Artinya—meskipun kesimpulan ini belum tentu sepenuhnya benar—bahwa pendidikan di pesantren belum cukup berpangaruh signifikan untuk mencapai masyarakat Indonesia yang beriman dan bermoral.
Yang jelas, pendidikan adalah tanggung jawab imani yang merupakan beban atau tantangan serius abad ini yang harus dipikul bersama. Begitu pendidikan dibiarkan tak terurus, atau melupakan iman sebagai unsur pentingnya pendidikan masyarakat akan menimbulkan malapetaka.
Dari aspek demikian tanggung jawab imani berarti mengejewantahkan keyakinan ke-Tuhan-an untuk kemanusiaan. Dengan kata lain pendidikan punya tanggung jawab dalam fungsinya. Yang fungsinya itu bisa diuraikan sebagai berikut:
Yaitu aspek pertama bagaimana manusia sadar dengan ketidaktahuannya. Oleh karena itu, ia harus berusaha mencari tahu (how to understand). Yang kemudian berupaya mencari sumber pengetahuan. Entah dari logika berpikir, penalaran atau dari wahyu yang diturunkan kepada para nabi dengan alkitab. Pengetahuan yang lebih tinggi dapat diperoleh dari sumber wahyu. Sebab Allah itu Dialah Yang Maha Tahu.
Seperti firman Allah dalam Al Quran: “Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (surat At Thalaq : 112). Pada intinya fungsi pendidikan untuk mencapai kompetensi berfikir (how to do). Tujuannnya untuk mampu memenuhi tugas kemanusiaannya di muka bumi.
Kedua, pendidikan dengan fungsi tafakkur (mendekat) kepada Sang Pencipta. Ini artinya bagaimana manusia ber-tafakkur sebagai mahluk dalam menjalani kehidupannya. Berusaha dengan menjaga relasi vertikal (hablun minallah) dan relasi horizonal (hablun minnnas). Harapannya dengan berupaya dekat dengan Pencipta, terjadi proses kontrol diri, tidak tamak, tidak sombong. Berupaya dekat dengan lingkungan sosial agar dapat bermafaat bagi orang lain. Tercipta hubungan sosial muamalah yang baik (how to working together).
Tafakkur ini sebagai fungsi pendidikan penting dan strategis. Sesuai dengan petunjuk agama dalam firman Allah ayat 115 surat Al Baqarah. Agar manusia ber-tafakkur kepada Allah. Hal ini tentunya tidak terlepas dari fungsi mawas diri (how to self control).
Ketiga, fungsi teologis. Yaitu bagaimana manusia tahu dengan kuasa Allah Khaliknya. Manusia sebagai mahluk, semata-mata pengabdi kepada-Nya.
Dari tiga fungsi di atas, yakni: al ilm, tafakkur dan teologis itulah pendidikan untuk kemanusiaan. Itulah tantangan utama pendidikan. Dengan kata lain inilah pendidikan pencerahan mengentaskan kesengsaraan.
Karena tanpa pendidikan timbul kebodohan dan kemiskinan. Ketiga variabel ini berkelindan antara satu dan lainnnya. Pada intinya satu lingkaran berkaitan. Kebodohan disebabkan kurangnya pendidikan, gagal atau kurangnya pendidikan menyebabkan kemiskinan.
Ketidakberhasilan pendidikan akibat seperti dikemukan di atas, sungguh suatu tantangan luar biasa bagi kemanusiaan. Pertanyaannya bagaimana pendidikan dapat mencerahkan dan mensejahterakan.
Persoalan ini sudah banyak diseminarkan, didiskusikan. Bahan sudah banyak uji coba diakukan. Belum berhasilnya pendidikan seperti yang diharapkan tentu banyak faktor yang menjadi hambatan dan penghalangnya. Namun demikian kita jangan berhenti mencari solusi yang terbaik, yang mungkin ditawarkan.
Dalam upaya pencarian solusi, saya tertarik dengan upaya Lois Prayer di Amerika Latin tentang keterbelakangan dan kemiskinan. Mereka memang dari penganut Katolik yang tertarik haluan pikiran kaum kiri.
Itulah agaknya mengapa dalam bukunya yang terkenal, ia mengangkat pendidikan yang membebaskan. Artinya membuka tirai kalbu kaum jelata Brazil untuk menyadari pendidikan haruslah dari diri sendiri. Kesejahteran kaum tertindas tak datang dari pemerintah yang borjuis.
Sama halnya di Indonesia tahun 70-an menawarkan pendidikan membangun manusia yang utuh. Yang memiliki keteguhan iman kompetensi intelektual dan skill kerja yang handal. Namun hasil pendidikan seperti diukur dari indeks manusia menjadi kreteria kemajuan satu bangsa Indonesia belum termasuk negara berhasil.
Pada penghujung esai ini, penulis ingin memberi catatan bahwa sesungguhnya upaya mencerdaskan kehidupan bangsa tidak boleh tercerai dari imani. Meskipun matlamatnya tetap yakni mencerdasakan atau mencerahkan dan mensejahterakan.
Pemdidikan harus mengilmukan manusia, kemudian, men-tafakkurkan manusia dan men-tauhid-kan manusia. Dalam perspektif demikianlah kita berbicara pendidikan kemanusiaan. Hari depan dan hal yang menyertainya seperti pecerahan serta kesjehteraan merupakan tanggung jawab bersama. Itulah fungsi pendidikan untuk masa depan.
Jakarta, 27 September 2020
*) Mas ud HMN adalah Doktor Dosen Pascasarjana Univeritas Muhammmadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta