Pilkada serentak 9 Desember 2020 menunai tekanan dengan tensi yang cukup tinggi dalam berjalannya waktu. Organisasi besar keagamaan NU (Nahdhatul Ulama), Muhammadiyah dan KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia), Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), KOMNAS HAM, Pusako, Rumah Kebangsaan, ICW, Koalisi Perempuan Indonesia, NETFID, NETGRIT dan puluhan komunitas lainnya menyuarakannya, terpanggil secara moralitas untuk memberi saran dan solusi kepada Pemerintah dengan kajian dan argumentasi akademik.
Pemerintah belum juga mau mendengar dan tak mau bergeming untuk bisa mematahkan logika dan akal waras yang meminta Pilkada serentak di tengah pandemi Covid-19 yang merupakan wabah dan bencana kesehatan rakyat. Yang bisa kita dengar dari Istana dengan gayung bersambut dari para parpol dan kalangan komunitas orang-orang yang melingkar dalam sumbu Istana mendukung pemerintah tetap untuk menggelar Pilkada pada 9/12/2020.
Argumentasi pokok yang dikedepankan dengan harga mati adalah membantah mentah-mentah adanya potensi resiko kematian yang akan tak terkendalikan akibat abainya penerapan protokol Covid-19 di masa kampanye dan pencoblosan suara baik oleh para penyelenggara Pilkada di lapangan, terutama sikap masyarakat yang tidak mau berbudaya mawas diri (ketiadaan kesadaran kolektif akan keselamatan dirinya dengan pendemi Covid-19. Alasan utama lainnya adalah agar tidak terjadi kekosongan kepala daerah, karena pada 2024 harus serentak menggelar Pileg dan Polpres (Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden).
Statistik Khofifah
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Paranwansa (KHIP) mendadak menjadi epidemiolog dan pakar teori statistik dan akhirnya melejit menjadi perbincangan. Teori statistik pandemi (Covid-19) barunya ramai menjadi perbincangan banyak kalangan, terutama para intelektual dan akademisi yang menggunakan nalar akademik, metodologi akademik, logika dan akal waras.
Teori statistik barunya diketahui setelah beredar isi suratnya yang ditujukan kepada Menkes, yang intinya bahwa kematian yang diakibatkan Covid-19 yang menjadi data nasional dan atau catatan Internasional mengenai pandemi Covid-19 di kita harus dikoreksi total, karena teori statistik KHIP menjelaskan bahwa faktor komorbid (penyakit bawaan, penyakit penyerta) tidak bisa menjadi satu kesatuan dalam Covid-19 yang harus dikatakan bahwa pasien tersebut meninggal karena positif Covid-19.
Teori statistik KHIP tersebut bisa menyelamatkan nama baik kita di dunia Internasional, angka kematian karena Covid-19 hanya kisaran 0,XX% saja. Yang 99,XX% adalah kematian sebab penyakit lain (komorbid). Teori statistik KHIP itulah nampaknya menjadi keyakinan dan pegangan Istana dan para politisi yang tetap berkepala batu untuk melaksanakan Pilkada serentak (9/12) 2020.
Teori statistik KHIP menafikkan, menyingkirkan teori dan fakta medis (kedokteran) tentang rentanitas, imunitas dan anti bodi yang dimiliki setiap orang berbeda-beda, sehingga ketika kita dalam kondisi imunitas yang rentan dan atau anti bodinya sangat melemah, maka tubuh kita tak berdaya untuk menangkal serangan penyakit dari luar, lebih-lebih makhluk tersebut yang bernama virus yang bisa melayang-layang di udara lantas terhirup nafas, dan makhluk tersebut bisa menempel di berbagai media dalam jangka waktu yang relatif lama, yang vaksinnya belum diketemukan dengan pasti untuk mencegahnya.
UGM (Universitas Gajah Mada – Fak Farmasi) merilis hasil penulusuran dan penelitiannya mengenai Covid-19 dengan kesimpulannya bahwa Covid-19 telah bermutasi. Setiap hari jumlah pasien yang terinfeksi terus bertambah banyak. Tak hanya itu saja, virus SARS-CoV-2 juga mulai bermutasi. Diketahui, mutasi D614G pada virus ini mempunyai daya infeksius 10 kali lebih tinggi telah tersebar hampir di seluruh pelosok dunia. Untuk datanya ialah 77.5 persen dari total 92.090 isolat mengandung mutasi D614G. Sedangkan di Indonesia sendiri sudah dilaporkan sebanyak 9 dari 24 isolat yang dipublikasikan mengandung mutasi D614G.
Untuk sepertiganya terdeteksi di Yogyakarta dan Jawa menurut Ketua Pokja Genetik FK-KMK UGM, dr Gunadi SpBA PhD, dari ribuan sampel isolat tim peneliti dari UGM telah mengambil ribuan sampel isolat dari wilayah DIY dan Jawa Tengah. Ditemukan ada 15 sampel yang diketahui kemungkinan bermutasi. Tetapi setelah diuji lebih lanjut hanya didapatkan empat isolat yang dianggap bermutasi. Dari empat sampel itu, tiga sampel dari DIY dan satu sampel dari Jawa Tengah. Sementara anggota peneliti lainnya dari tim Laboratorium Diagnostik FK-KMK, dr Titik Nuryastuti MSi PhD SpMK(K) juga turut memberikan penjelasan. Yakni empat sampel isolat yang bermutasi ini setelah tim mengumpulkan seluruh sampel yang berasal dari 98 fasilitas kesehatan (Faskes) di DIY dan 30 Faskes di Jawa Tengah.
Menurutnya, sampel dari Faskes ini diambil dari berbagai Rumah Sakit, Puskesmas dan Dinas Kesehatan. Adapun datanya ialah sampel di DIY lebih dominan, yakni: 1. DIY: 11.250 sampel, 2. Jawa Tengah: 4.311 sampel secara keseluruhan, atau dari jumlah itu ada 1.083 yang dinyatakan positif. Untuk itulah tim peneliti dari UGM ini menegaskan dengan fakta terdeteksinya virus SARS-CoV-2 dengan mutasi D614G ini, sudah seharusnya semua pihak lebih disiplin untuk: menerapkan protokol kesehatan seperti cuci tangan, menggunakan masker, hindari kerumunan dan selalu menjaga jarak.
Dekan FK-KMK UGM, Prof dr Ova Emilia MMed Ed PhD SpOG(K) menyatakan, penemuan awal ditemukannya mutasi virus Covid-19 ini diharapkan akan mendukung upaya pemerintah. (kompas.com, 03/09/2020, 11:52 WIB).
Jika kita mau menggunakan logika dan akal waras atas pertanyaan mengapa Covid-19 semua dunia dan semua ahli atau pakar kedokteran mengatakannya sebagai pandemi? Tentu landasan akademik kedokterannya karena Covid-19 tersebut begitu cepat reaksi penyebaran dan penularannya, dan begitu cepat kematiannya, maka dikatakan Covid-19 adalah wabah (bersifat masal, meluas dan menyeluruh) yang oleh negara sendiri dinyatakan sebagai bencana nasional kesehatan masyarakat yang dikuatkan dengan berbagai regulasi yang bersifat hukum; mengikat dan bisa memaksa, termasuk memaksa anggaran harus direfokusing.
Karena dikatakan (sifatnya) pandemi, maka faktor kematiannya disebabkan oleh faktor penyebab utama, yaitu Covid-19, sedangkan penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes, TBC, asma, jantung dan lain-lainnya adalah menjadi faktor kedua dalam kematian tersebut karena daya imunitas dan anti bodinya yang terus melemah. Faktor kedua tersebut menjadi faktor mempercepat kematian dan atau faktor memperlambat kesembuhan, di mana faktor penentu lainnya seperti faktor imunitas atau anti bodi itu sendiri. Teori statistik KHIP memberikan kesimpulan kematian manusia bisa diatur oleh statistik. Apa yang dikatakan Rocky Gerung bahwa statistik KHIP mengatur angka kematian tidaklah salah, karena hasil penelitim tim peneliti UGM secara akademik memetahkan argumentasi pokok KHIP dan para cukong Pilkada.
Angka statistik kematian Covid-19 yang menjadi tesis KHIP dalam suratnya ke Menkes, kita bisa meminjam apa yang dikatakan Ibn Rusyd kepada Al-Ghazali (DR, Aminullah el-Hady dalam Ibn Rusyd Membela Tuhan): “Tidak mengetahui hakikat masalahnya lalu ia menyajikan sesuatu yang di luar pengetahuannya itu, maka yang demikian itu merupakan perbuatan orang bodoh.”
Teori statistik KHIP yang menghasilkan kesimpulan data menjadi terbalik dengan data statistik medis, dikatakan Rocky Gerung sebagai stupid untuk menipu Covid-19. Memanipulasi statistik dan main-main statistik merupakan pengkhianatan moral dan juga pengkhianatan ilmu pengetahuan, dan pengkhianatan terhadap demokrasi. Statistik KHIP angka kematian Covid-19 menjadi Khofifah Gate karena yang diedarkan adalah Khofifah, tapi siapa di belakang Khofifah karena Khofifah setelah bertemu dengan Menteri Luhut Binsar Panjaitan. (Rocky Gerung, FNN: Otak Atik Statistik Bikin Tambah Stupid, Angka Kematian Covid Skandal Khofifah Gate).
Jika kemudian, Istana tetap mempertahankan kepala batunya, Pilkada serentak 2020 akan mencatat sejarah baru, di mana Pilkada tersebut merupakan Pilkada dalam kematian struktural massal umat manusia, sekalipun kematian manusia tersebut adalah atas kuasa Tuhan. Tetapi, kematian tersebut belum tentu atas kehendak Tuhan, karena manusia telah memilih takdir sosialnya sendiri menjemput kematian, yang kata Umar Bin Khottob dikatakan jika kita ingin selamat, maka dari takdir hijrah menuju ke takdir lainnya. Hal itu dilakukan ketika rombongannya hendak ke negeri Syam, kemudian membatalkannya dan kembali ke Madinah, karena negeri itu (di Lembah Tabuk dekat Syam) tengah dilanda bencana wabah (penyakit Tha’un) penyakit yang mematikan.
Potensi kematian massal dalam Pilkada serentak tersebut antara lain dipicu karena dalam pelaksanaannya jika memberi ruang untuk berkerumun atau berkumpulnya orang-orang (masyarakat) baik dalam ruang terbuka maupun dalam ruang tertutup seperti dalam gedung atau ruangan, mulai dari masa kampanye hingga pada saat pencoblosan dan perhitungan suara di masing-masing TPS (Tempat Pemungutan Suara), di mana masyarakat maunya seenaknya sendiri. Penerapan protokol Covid-19 tidak akan dipedulikan lagi oleh mayoritas masyarakat.
Apologi Arif Wibowo (Komisi III DPR RI dari PDIP) yang dikedepankan adalah asalkan bisa menerapkan protokol Covid-19 pada masa kampanye yang mengumpulkan banyak kerumunan orang dan pada saat pemungutan suara, menunjukkan bahwa alasan tersebut karena tidak melek akan karakter mayoritas rakyatnya sendiri.
Begitu juga Boni Hargens (Akademisi dan Pengamat Politik), yang hanya ingin mendukung Istana “dengan harga mati”, kemudian mencontohkan negara-negara lain yang melaksanakan Pemilu di tengah pandemi Covid-19 dengan premisnya Covid-19 tidak signifikan dengan angka kematian. Di samping kebutaan membaca karakter dan budaya masyarakatnya juga memejamkan mata atas bagaimana negara-negara lain mengantisipasi penyebaran pandemi tersebut sehingga tidak merenggut kematian yang meluas (besar), mencontohkannya seperti Polandia, Singapura, Korea Selatan, Mente Negro, Sri Langka, Belarus dan beberapa Negara (ILC: Pilkada, Kenapa Takut, Selasa, 22/9/2020).
Boni Hargens hanya sekedar harga matinya mendukung Istana bahwa Pilkada serentak tetap harus dilaksanakan, maka kemudian membungkam fakta medis dan menguburkan metodologi akademik, karena faktanya positivity rate kita berada pada angka 16,5% (pada 6/9/2020), jauh lebih tinggi dibanding Australia, Korea Selatan dan Uruguay berada di bawah 1%. Bahkan kita masih lebih tinggi dibandingkan Malaysia, Singapura dan Filipina.
Menurut WHO, jika positivity rate di bawah 5%, berarti wabah sudah terkontrol dengan baik. Boni Hargens tidak mengedepankan argumentasi kenapa di negara yang ia contohkan tidak dibarengi dalam fakta penanggulangannya, sehingga logikanya menjadi sumur tanpa dasar. Padahal, dalam upaya untuk mendeteksi saja kita masih kalah jauh dengan keseriusan negara lain seperti di Malaysia dan Filipina mencapai 0,3 per 1.000 orang dan Singapura mencapai 1 per 1.000 orang per hari.
Kita dengan populasi penduduk lebih dari 260 juta jiwa, deteksi Covid-19 hanya dilakukan terhadap 0,07 orang per 1.000 penduduk, maka di negara lain angka kematiannya tidak signifikan, dan fakta tersebut menjadi paradoks dengan yang dicontohkan untuk memperkuat argumentasinya yang sekedar “harga mati” mendukung kepala batu Istana untuk tetap tidak membatalkan Pilkada serentak 2020, kemudian dipoles dengan logika yang ilusif, bahwa masyarakat menanti pemimpin (kepala daerah) baru untuk perubahan dan sebagainya.
Fakta kematian Covid-19 dan angka potensi kematian masal jika Pilkada serentak kemungkinan besarnya akan terjadi jika tetap digelar seperti dalam konisi normal dan atau jika kita tidak menerapkan cara lain untuk menghindari kematian masal dalam Pilkada.
“Kasus kita itu masih meningkat. Bulan Mei 5.000 dalam 10 hari angka itu naiknya. Juni naik 10.000 dalam 10 hari. Juli naik 15.000. Agustus naik 20.000. Bagiamana dengan September, pertengahan itu, saya kira masih 3.000 dalam sehari, berarti 30.000 dalam sebulan, tetapi yang terjadi, naik 4.000 dalam sehari. Jadi hal-hal yang harus diperhatikan kita semua. Saat ini terus menjulang tinggi. Angka kematian diposisi 3,9%. Di Asia Tenggara, kita berkejaran dengan Filipina. Saat ini sudah 4 juta orang terinfeksi covid-19. Angka kematian kita dua kali dari Filipina. Ketika ada kerumunan-kerumunan akan terjadi peningkatan-peningkatan kasus tersebut. Jika kita teruskan Pilkada berlangsung diprediksi angka bisa 500.000 dan dipertengahan Desember bisa mencapai 500.000. Jika aktivitas kita dikurangi di jalan akan turun, tetapi jika kita mendiamkan angka ini ya akan melonjak terus. Sekarang positivity rate kita itu 15%. Artinya apa? Kalau ada 10 orang di antara kita, 1 hingga 2 orang itu positif. Transmisi lokal itu begitu banyak di antara masyarakat kita. Proses penularan itu terus terjadi di antara kita. Kita ini belum bisa melandaikan.” (Prof dr Ari Fahrial Syam, spesialis penyakit dalam, ILC: Pilkada Kenapa Takut).
Dengan argumentasi akademik yang dijelaskan Prof dr Ari Fahrial Syam dan hasil penilitian tim UGM tersebut, makin memperjelas potensi kematian massal dalam Pilkada serentak 2020. Dalam pembacaan lain Pilkada Kematian Struktural tersebut juga memperjelas ada banyak pemeran lain di belakang layar Pilkada, yang jika kita merujuk statemen Menko Polhukam Mahfud MD bahwa hampir 92% di belakangnya cukong. Maka, menjadi tidak terbantahkan jika dikatakan Pilkada Cukong dan Pilkada oportunis dari politisi (Rocky Gerung), dan Demokrasi Cukong dan Demokrasi Kriminal (Refly Harun), yang menyebabkan kematian struktural massal umat manusia.
Akankah Tuhan memelekkan mata (kalbu) kita semua dalam melihat fakta sosial dan melek dalam melakukan pembacaan fenomena yang sesungguhnya sangat kasat mata dengan kematian struktural massal itu. Hanya bagi orang-orang yang mau berfikirlah bisa membacanya, karena Tuhan meninggikan derajatnya. Akankah kita mempertahankan argumentasi cukong, sehingga Pilkada dalam kematian struktural akan tetap dilaksanakan, karena kita mengabaikan kematian yang akan datang menjemputnya? ***
*) Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com