(R)UU (Rancangan Undang-Undang) Omnibus Law Cipta Kerja disahkan oleh DPR RI malam hari, 5/10/2020 menjadi UU Omnibus Law Ciptaker. Disahkannya UU tersebut mendapat reaksi nasional dan gelombang demo di berbagai daerah, mendapat tanggapan dan kritik keras dari berbagai kalangan intelektual dan akademisi yang masih waras dengan logika dan akal warasnya.
Gelombang demo yang terbilang cukup besar tentu bukan tidak mengandung resiko di tengah pandemi Covid-19, dan bahkan di beberapa daerah terjadi kericuhan yang mengakibatkan korban material dan darah yang disebabkan bentrokan dengan aparat, dan disebut-sebut ada penunggang gelap. Mengapa sampai harus terjadi? Mengapa sampai gaduh, dan mengapa kegaduhan tersebut menjadi gelombang besar?
Penunggang Gelap
Istana dan kalangannya serta sayap-sayap Istana menuding ada penunggang gelap atau penumpang gelap. Bahkan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kita tahu siapa yang membiayainya (ada sponsornya). Tentu kita melihat bahwa tokoh-tokoh intelektual ini saya lihat mempunyai, ya cukup dalam tanda petik ego sektoralnya yang cukup besar, mereka adalah di balik layar (CNBC Indonesia TV: Wawancara Menko Perekonomian Airlangga, dikutip Kamis, 8/10/2020, detikfinance). Usai disahkannya UU Ciptaker banyak informasi bohong atau hoax menyangkut beleid tersebut. Salah satu yang banyak terserang hoax adalah klaster pekerjaan. (detik.com-detikfinance, Kamis, 8/10/20202: Airlangga dalam video conference, Jakarta, Rabu, 7/10/2020).
Di manapun, setiap ada gelombang demo (gerakan ekstra parlementer) yang bersifat nasional sebagai bentuk kontrol terhadap kekuasaan selalu berpotensi chaos. Gerakan ektra parlementer tersebut diakibatkan oleh sebab tersumbatnya saluran aspirasi publik hajat hidup segenap tumpah darah dan atau disumbatnya kanal-kanal aspirasi kedaulatan. Setiap gelombang demo secara nasional pastilah ada penunggang gelapnya dan ada juga penumpang gelapnya. Tetapi, jika yang dimaksudkan Istana bukan dari para premanisme atau kalangan prilaku kriminal sehari-harinya, tudingan tersebut harus bisa dibuktikan dan ditindaklanjuti secara hukum, untuk tidak mengumbar konfrontasi tak berujung.
Jika sebagai penumpang gelap saja masih sangat bagus karena hanya melihat atau menonton saja. Tetapi, jika menjadi penunggang gelap, tentu akan turut serta bermain langsung maupun tidak langsung.
Teriakan lantang adanya tudingan atas penunggap gelap tersebut yang dikemukan oleh kalangan Istana patut untuk bisa dibuktikan. Karena, menyebabkan berbagai kalangan pun akhirnya tuding menuding hal yang sama; pendemo dan yang didemo, dan pihak-pihak lainnya ketika tersentuh kepentingannya. Kita menyambut baik tudingan tersebut supaya Istana bisa membuktikannya.
Tudingan Istana atas adanya penunggang gelap yang dikatakan Menko Perekenomian Airlangga Hartarto ada yang membiayai (sponsor) aksi demo nasional tersebut. Tudingan tersebut harus bisa dibuktikan secara konkret dan harus dilakukan proses hukum yang transparan untuk menghindari kecurigaan, sehingga kita mendapatkan kejelasan dan kebenaran atas kebenaran adanya penunggang gelap dan penumpang gelap yang membuat kegaduhan nasional dan bahkan menjadi konfrontasi kegaduhan yang menelan korban material dan luka-luka yang dialami para pendemo maupun aparat keamanan.
Jika pada akhirnya tudingan itu tidak sampai diuji kebenarannya, lantas hilang disapu angin begitu saja atau tertimbun oleh isu lainnya di kemudian hari, maka bukankah itu termasuk bagian integral dari kebohongan, hoax, dan penyebar kebencian yang mengakibatkan resonansi kegaduhan menjadi tinggi dan meluas.
Jika dalam aksi tersebut ada yang membantu, apakah akan dikatakan membiayai aksi demo? Fakta di lapangan, ada TNI (berseragam Tentara Nasional Indonesia), termasuk masyarakat yang membagikan nasi bungkus kepada mahasiswa yang demo sebagai keterketukan moralitas dan kemanusiaan, apakah itu juga akan dikatakan membantu membiayai demo untuk membeli nasi bungkus? Sehingga, Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurrachman menceritakan momen prajurit TNI berbagi makanan kepada massa mahasiswa yang berdemonstrasi menolak UU Cipta Kerja, mengatakan, prajurit TNI itu merasa empati kepada mahasiswa yang tengah membutuhkan makanan.
Pada saat di lingkungan Monas, anggota TNI ada juga yang dapat jatah dari pimpinan yaitu dari Mabes TNI memang kita didukung untuk jatah makan tapi ada juga dari masyarakat yang empati kepada kita juga memberikan makanan juga sehingga makanan itu berlebih. Nah ada mungkin anggota kita itu yang karena berlebih, ada mahasiswa saya lihat terpelajar mereka yang melakukan demo aksi damai, ada yang minta, ya mungkin ada anggota itu secara pribadi merasa iba akhirnya ngasih makanan itu, karena daripada nggak dimakan. Begitu juga ada yang ngasih air minum, dalam konferensi pers, Jumat (9/10/2020) (DetikNews, Jumat, 09 Okt 2020 16:48 WIB: Prajurit TNI Beri Makanan ke Pendemo Omnibus Law, Ini Penjelasan Pangdam Jaya. Dimuat diberbagai media massa dan diunggah dalam youtube)
Kita bisa mengerti dan memahami alasan Pangdam Jaya, sekalipun sangat melukai kemanusiaan dan merobek ruh moralitas. Coba bayangkan, daripada nasi bungkus itu tidak dimakan, artinya, berlebih atau jauh melebihi jatah personil, maka karena ada yang meminta lantas dikasihkan atas empati personil. Kita memahami, bahwa sekedar tidak ingin kena getah tudingan Istana, maka mahasiswa yang aksi demo dianggap tong sampah, karena nasi yang tidak dimakan tentu biasanya dibuang ke tong sampah, lantas para gepeng (gelandangan dan pengemis), kucing, anjing dan tikus-tikus mengais-ngais sisa makanan yang dimasukan tong sampah. Tetapi, kita yakin dalam nuraninya yang bicara saat membagikan nasi bungkus ke mahasiswa tersebut adalah karena kemanusiaan yang memanggil-manggilnya dan empati, moralitas yang mengetuk-ngetuk logika dan akal warasnya, kemanusiaanya dan moralitasnya yang tak bisa dikuburkan. Sungguh kejam tafsir kekuasaan seperti itu. Budaya kekuasaan memang kejam.
Pada fakta lainnya, tindakan represitas kekuasaan juga tidak terkendalikan. Dosen Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Andi Mamonto menjelaskan jika dirinya bukan termasuk massa aksi dan menjelaskan jika ia seorang dosen dengan menunjukkan KTP-nya tapi beberapa oknum polisi dengan membabi buta memukuli saudara AM sehingga ia terjatuh dan diinjak-injak oleh oknum polisi. Setelah itu saudara AM berusaha terbangun kemudian terjatuh lagi karena oknum polisi masih memukuli AM di bagian kepala dan paha menggunakan tameng.
Awalnya, pada saat kericuhan mulai memanas, korban mengaku sedang berada di rumah makan kemudian menuju ketempat print di depan Kantor Gubernur Sulsel. Karena sudah banyak kerumunan massa (korban) mencari tempat untuk mengamankan diri depan minimarket yang ada bale-bale sambil duduk. Polisi menyisir dari dua arah dan korban yang masih ada di depan minimarket terjebak di kerumunan massa. Saudara AM yang pada saat itu ingin menghindari kepulan gas air mata namun dihadang oleh beberapa anggota kepolisian yang langsung mengangkat kerah baju dan memukuli sodara AM di bagian pipi sebelah kanan.
Sekitar pukul 22.00, korban kemudian dibawa ke mobil taktis kepolisian dan kembali dipukuli di dalam mobil secara berulang kali. Dalam mobil (korban) kembali mejelaskan kalau dirinya itu dosen dan bukan pendemo namun direspon oleh oknum polisi dengan kata-kata kasar “Dosen Sund*la atau dalam bahasa Indonesia Dosen Anjin*g sambil kembali memukul (korban). Rambut korban dicukur oleh oknum polisi. Adapun luka-luka yang dialami oleh korban AM ialah bengkak pada kepala bagian kanan, luka pada hidung, memar paha sebelah kanan, tangan kiri luka-luka, punggung sebelah kanan, pinggang dan jidat.” [(Syamsumarlin, Kadiv Advokasi PBHI Sulsel, Minggu, (11/10/2020) saat mengawal konferensi pers Andri Mamonto di Kantor PBHI Sulsel, Jalan Topaz Raya) (Idea Times, October 11, 2020: Dosen UMI Jadi Korban Salah Tangkap Kepolisian Saat Demo UU Ciptaker).
Jika pemberitaan media itu tidak hoax, Pemerintah (Istana) harus menjelaskan dan menjawab atas pertanyaan, apakah brutalisme (sudah tak berdaya, di mobil masih juga dianiaya) tersebut dibenarkan atas nama emosional situasi dan kecapaian tugas? Padahal, mereka terdidik, terlatih dan lulus psikotest. Apakah brutalisme yang mengatasnamakan tugas negara, pelakunya akan dilindungi? Adakah alasan untuk melindunginya, sehingga tidak diproses hukum dan tidak dilakukan pemecatan atau pemberhentian dengan tidak hormat kepada para pelaku brutalisme dalam kekuasaan? Padahal, telah meludahi dan menodai citra institusionalnya, jika setiap orang kedudukannya sama di mata hukum. Yang kita tahu dan kita pahami, brutalisme dalam kekuasaan hanya dibenarkan di negara-negara fasis, diktator, otoriter dan komunis. Di negara-negara demokrasi dan negara hukum, brutalisme dalam kekuasaan merupakan kejahatan (berat) dalam HAM.
Bisakah kemudian dikatakan sebagai penunggang gelap yang membuat kegaduhan tambah makin gaduh, dan akankah dikatakan itu bukan penunggang gelap, itu sudah sesuai dengan protap pengamanan aksi? Yang anarkis harus ditindak dan proses hukum, sekalipun itu aparat karena kewajibannya mengamankan, bukan memukul, menginjak-injak dan lainnya dalam korban yang sudah tak berdaya dan padahal telah menunjukkan seluruh identitas dan penjelasannya. Bukankah yang seperti itu adalah penumpang gelap dalam kekuasaan? Apakah atas nama kekuasaan boleh ada penunggang gelap? Itu semua harus dijelaskan dan dijawab oleh Istana.
Istana juga harus bisa membuktikan siapa dan kalangan mana saja yang memproduksi konten-konten hoax mengenai pasal-pasal RUU Omnibus Law Ciptaker yang dibahas Senayan bersama Pemerintah, dan jika itu dikatakan selebaran pasal-pasal hoax Omnibus Law Cipaker yang disahkannya menjadi undang-undang yang beredar luas, tidak saja di medsos, tetapi pada acara-acara televisi di mana pasal-pasal tersebut dibahas dalam acara dialog dan juga digelar dalam diskusi Karni Ilyas ILC (Indonesia Lawyers Club) TVOne. Yang berarti menurut tafsir Istana adalah memuat dan atau menyebarkan pemberitaan hoax (ke-hoax-kan) yang menimbulkan kegaduhan nasional dan kemaharan sosial dan katanya harus ditindak tegas dan pidana.
Istana juga harus bisa membuktikan, jika tidak ingin dikatakan memproduksi ke-hoax-kan yang mengakibatkan kegaduhan yang tak berujung dari relasi sebab akibat tersebut, karena ada fakta kasus di lapangan di tengah aksi demo penolakan disahkannya UU Omnibus Law Ciptaker terjadi perampasan HP Fauzi Noviandi (kartu jurnalis tergantung di leher) seorang jurnalis media online ketika sedang melakukan liputan aksi di Balai Kota Sukabumi oleh orang (dua orang) tak dikenal. Hasil liputan yang tersimpan dalam HP dirampas dan dihapusnya, di mana ada banyak aparat (Kepolisian) melakukan pengamanan saat aksi demo tolak UU Omnisbus Law Ciptaker tersebut (SukabumiNews, Kamis, 8/10/2020).
Apakah mereka, tidak mengerti atau memang ada hubungannya dengan tanda dan penanda lain dari relasi sebab akibat itu semua? Bukankah setiap orang berhak mendokumentasikan baik dalam bentuk tulisan, gambar, foto maupun video atas peristiwa (momen) sejarah untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan kebenaran peristiwa sejarah lainnya. Hak mendokumentasikan peristiwa sejarah, apapun peristiwa sejarahnya tidak boleh dihalang-halangi atau dirampas haknya oleh siapapun, karena kebenaran sejarah dinilai dari kebenaran atas peristiwa sejarah itu sendiri, sekalipun faktanya bahwa sejarah selalu dimenangkan oleh (kepentingan) kekuasaan. Kebenaran sejarah selalu ditafsirkan tas kepentingan rezimentasi kekuasaan.
Untuk itu, adanya penunggang gelap tersebut harus bisa dilacak dan dibongkar, dari pihak mana saja yang terlibat sebagai penunggap gelap dalam gelombang aksi demo nasional menolak UU Omnibus Law Ciptaker tersebut? Begitu juga, jika ada penunggang gelap di aksi demo di berbagai daerah. Jika penunggang gelap tersebut lenyap begitu saja, tanpa bisa terungkap faktanya, akan mengundang kecurigaan publik menjadi keniscayaan yang tak bisa terbantahkan adanya krisis kepercayaan terhadap Istana.
Jika merujuk pernyataan Menko Perekonomian Ailangga atas berita dan penyebaran hoax atas (selebaran) pasal-pasal Omnibus Law Ciptaker (Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menyebut ada yang berkaitan dengan 12 pasal Omnibus Law Ciptaker, CNBC Indonesia, 9/10/2020) harus ditindak tegas dan diproses hukum, maka seluruh televisi yang membahas pasal-pasal tersebut bersama para narasumber dan seluruh media massa yang memberitakannya menjadi bagian yang harus diproses hukum dan dipidana.
Pada bagian lain, sejumlah Guru Besar, Dekan dan akademisi dari 67 Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia, juga harus ditangkap dan diproses hukum, karena menyatakan: “Kami tidak menginginkan Indonesia bergerak ke arah demoralisasi dan korupsi yang meluas akibat adanya aturan ini. Kami sebagai Guru Besar, Dekan dan akademisi harus ikut bertanggungjawab sebagai kaum akademik dan intelektual (Portal Surabaya, 9/10/2020: Sejumlah Guru Besar Sebut DPR dan Pemerintah Lakukan Penyimpangan Saat Rumusan UU Ciptaker, Prof. Susi Dwi Harjanti, Pernyataan yang disiarkan daring di Jakarta, Rabu, 7/10/2020).
Pernyataan para Guru Besar, Dekan dan akademisi tersebut tentu berdasarkan dokumen RUU Omniubus Law Ciptaker yang dipegang, yang oleh Menko Perekonomian (Istana) itu dikatakan hoax, dan berarti pernyataan para Guru Besar, Dekan dan akademisi tersebut turut menyebarkan informasi hoax, dan atas relasi sebab akibat tersebut turut serta membuat kegaduhan nasional dengan dalil menyebarkan ke-hoax-kan. Yang berarti juga atas penolakan disahkannya UU Omnibus Law Ciptaker tersebut turut serta menyebarkan kebohongan dan kesesatan sehingga berakibat kegaduhan nasional.
Jika kita merujuk tafsirnya Menko Perekonomian atas ke-hoax-kan pasal-pasal tersebut harus dipidanakan, maka Karni Ilyas dengan ILC-nya, Najwa Shihab dengan Mata Najwa-nya, Refly Harun dengan youtube chanel Cadas-nya, Rocky Gerung-Hersubeno Arief dengan FNN-nya, Din Syamsudin dengan PP-Muhammadiyah-nya, Said Aqil Siraj dengan NU-nya, KAMI, Gatot Nurmantyo dengan KAMI-nya, Ichanuddin Noorsy, Syahganda Nenggolan, Rizal Ramli, Faisal Basri, Zainal Arifin Moctar dengan Pukat UGM-nya, Haris Azhar dengan Lokataru-nya, dan masih banyak lagi kalangan akademisi, intelektual dan civil society. Begitu juga, semua teleivisi yang mempermasalahkan (membahas) dalam acara dialog diskusi Omnibus Law Ciptaker dan semua media massa baik nasional, daerah, lokal maupun luar negeri yang memuat pemberitaan dan mempublikasikan pernyataan-pernyataan para ekonom, akademisi, kritikus, pengamat, pendemo dan lainnya harus ditangkap dan dipidanakan, karena menyebarkan berita hoax dan atau pernyataan hoax melalui media massa, medsos, seminar dan diskusi publik dan lainnya, yang membuat kegaduhan nasional dan gelombang demo nasional menolak UU Omnisbus Law Ciptaker atas dasar selebaran atau pasal-pasal hoax yang beredar dan disesatkan (1. Pasal Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 2. Pasal Terkait Kewajiban Memiliki Amdal. 3. Pasal Pendidikan. 4. Pasal soal Pesangon. 5. Pasal PKWT atau pasal: 42-Tenaga Kerja Asing, 61-Perjanjian Kerja Paruh Waktu, 66-Pekerja Alih Daya, 77-Jam Kerja, 78-Lembur, 79-Libur Kerja, 88-Upah Minimum, 90-Kesepakatan Upah Minimum, 154-PHK, 156-Pesangon) dari UU Omnibus Law Citaker tertsebut.
Kita sepakat siapapun yang melakukan anarkisme, merusak fasilitas umum dan lainnya harus diproses hukum dan harus diuji kebenaran relasi sebab akibatnya dalam kebenaran hukum formil dan material. Jika kita hendak (ingin) mengatakan bahwa setiap orang kedudukannya sama di mata hukum. Apakah orang per orang, sekelompok orang, bahkan jika itu orang-orang atau sekelompok orang atau yang ada di kalangan Istana itu sendiri jika itu benar menyebarkan berita dan penjelasan yang sifatnya hoax harus juga ditindaklanjuti secara hukum. Tafsir ke-hoax-kan bukanlah tafsir absolutisme dari kaca mata Istana atas dasar kekuasaan sebagai panglima.
Tri Dharma Perguruang Tinggi tidak mengajarkan dan atau tidak memberikan doktrinasi untuk penghambaan atau menjadi penghamba (kacung, centeng, pecundang) dan atau menghamba kekuasaan, untuk melakukan tindakan kriminal, bahkan pandangan kriminalpun disingkirkan dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Mentalitas penghamba (kacung, centeng, pecundang) kekuasaan pun dibumihanguskan.
Para akademisi (yang waras) juga tidak mengajarkan mahasiswa untuk menghamba (menjadi kacung, centeng, pecundang) kekuasaan dalam sikap, pandangan, tindakan dan prilaku kriminal. Tri Dharma Perguruan Tinggi bersama akademsinya yang waras mengajarkan metodologi pengujian fakta, data, asumsi dan analisis agar bisa melihat atau tahu mana yang benar dan mana yang salah. Karena jika kita tidak tahu itu salah, bagaimana mungkin kita tahu yang benar. Begitu juga sebaliknya, jika kita tidak tahu hal yang benar, bagaimana mungkin kita tahu bahwa itu salah atau tidak benar.
Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan para akademsinya menuntun pengetahuan itu semua untuk menjadi kaum intelektual dan kritis, sehingga para mahsiswa yang melakukan tindakan kriminal dalam aksi demo harus diselesaikan menurut hukum. Sebab, para akademi (yang waras) mengajar apa yang terkandung dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan dasar filosofisnya. Para akademisi (yang waras) mengajarkan metodologi argumentasi yang harus bisa diuji dengan logika dan akal waras, karena (ilmu) pengetahuan bukanlah sesuatu keabsulutan dan keniscayaan yang selalu benar. Untuk menjadi keniscayaan akan kebenaran tersebut, (ilmu) pengetahuan berkewajiban untuk selalau mempertanyakan (kesangsian) dalam semua hal, yang kemudian kebenarannya harus dilakukan uji ulang; teori, hipotesa, tesis, premis-premis dan lainnya untuk kepentingan seterisilasi (akan) kebenaran itu sendiri terhadap para penunggang gelap atau penumpang gelap dari berbagai kepentingan perut, udel dan kekuasaan itu sendiri.
Oleh karena relasi sebab akibat itu, maka jika Pemerintah harus mengambil tindakan tegas atas ke-hoax-kan sesuai hukum yang benar dan adil seperti yang kita dikemukan di atas harus kita junjung tinggi atas ketegasannya jika itu benar. Para pemegang hukum dan atau lembaga-lembaga hukum yang diberikan amanat UUD’45 dan Pancasila harus bisa membuktikan itu semua, karena kita dianugerahi logika dan akal waras oleh Tuhan, agar kewarasan itu bisa bicara dengan benar.
Masih merujuk pada tafsir Istana, lantas, bagaimana proses hukum dengan 34 Gubernur yang turut menandatangai penolakan UU Omnisbus Law yang diajukan para mahasiswa dalam aksi demo penolakan tersebut, dan bahkan para Gubernur itu berjanji untuk mengirimkan surat penolakan yang ditandangani bersama itu kepada Pemerintah (Istana), dan itu berarti mendukung dan meyebarkan ke-hoax-kan yang mengakibatkan kegaduhan nasional makin membara untuk menolak UU Omnisbus Law Ciptaker secara nasional.
Untuk itu juga, Pemerintah harus memberikan argumentasi atas pertanyaan, atas dasar apa dan mengapa sejak draf, RUU hingga disahkannya menjadi UU Omnibus Law Ciptaker tidak bisa diakses publik, tidak dipublikasikan, padahal Sekneg, KSP, Menko Perekonomian, Menko Polhukam, Menko Kemaritiman dan Investasi dan seterusnya punya website, sehingga para Guru Besar, Dekan dan akademisi, intelektual dan sivil society yang kritis sebagai dasar analisis akademik tidak dari draf RUU yang hoax, karena yang ditudingkan hoax tersebut menjadi pegagangan analisis akademiknya.
Jika pasal-pasal yang disebutkan di muka itu adalah selebaran pasa-pasal hoax, sehingga pemberitaan dan penjelasannya menjadi hoax dan menyesatkan dan akhirnya menjadi kegaduhan nasional yang menelan korban di berbagai daerah dalam aksi penolakan UU Omnibus Law Cipateker tersebut, mengapa hingga setelah disahkannya tersebut tetap disembunyikan? Lantas, para mahasiswa dan buruh harus berdarah-darah mempersoalkan itu semua? Di manakah yang namanya melindungi segenap tumpah darah, dan di manakah negara itu hadir?
Guru Besar dan pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Moctar (Pukat UGM) yang tergabung dalam para Guru Besar, Dekan dan akademisi dari 67 Perguruan Tinggi se-Indonesia mengatakan, RUU Omanibus Law Ciptaker dibuat dengan tidak transparan, publik dan lembaga negara tidak mendapatkan naskah RUU Ciptaker dan tiba-tiba sudah disahkan. Kita tidak diberi akses sama sekali . Harusnya, partisipasi dan sosialisasi tidak bisa lepas dari penyusunan aturan. Jika penyusunan UU Ciptaker tak melibatkan publik, padahal Omnibus Law Cipataker memuat 79 UU dan lebih dari 1.200 pasal dan belasan klaster (Portal Subaya, 9/10/2020.05:00 WIB).
Bayangkan saja jika para Guru Besar, Dekan dan akademisi saja tidak bisa mengakses atau mendapatkan naskah akademik, RUU hingga sudah disahkankan menjadi UU, bagaimana dengan kita yang jelata? Represitas kekuasaan mengunci transparansi itu semua, sehingga pertanyaan berikutnya ada apa dengan kekuasaan (Istana) Joko Widodo sebagai Kepala Negara?
Mengapa menjauhkan diri dari logika dan akal waras publik, dan membenturkan algoritma publik?
Sehingga, “Saya menawarkan bahwa kita harus teriakkan bersama UU ini. Pembangkangan sipil barangkali atau apa istilahnya, silakan dipikirkan. RUU Omnibus Law Ciptaker merugikan banyak kalangan masyarakat dan lingkungan, menguntungkan investror, mengabaikan HAM serta terlalu sentralistik. Tidak sedikit kewenangan pemerintah daerah yang hilang dan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Penyusunan RUU Omnibus Law Ciptaker cacat formil. Sudah bermasalah sejak penyusunan, pembahasan hingga disahkan di DPR karena tidak melibatkan partisipasi publik secara maksimal. Jadi paripurna itu seperti paripurna cek kosong. Apalagi, draf akhir dari RUU tersebut juga tidak dibagikan kepada anggota DPR usai disahkan di rapat paripurna.” (Zainal Arifin Mochtar-FH. Pukat UGM).
Proses penyusunan hingga pengesahan itu mengesampingkan berbagai masukan dari akademisi maupun para pemangku kebijakan. Artinya, deliberalisasi (musyawarah) dari pembuatan UU yang sekarang kita hadapi ini menunjukkan ada masalah, dan perlu direspon secara kritis dengan harapan kita bisa memperbaiki kekuarangan yang ada (Sigit Riyanto-Dekan FH. UGM) (CNN Indonesia, Selasa, 6/10/2020.20:42).
Oleh karena itu, gelombang aksi demo secara nasional yang melibatkan mahasiswa di seluruh daerah harus dipahami sebagai respon kritis atas terkuncinya transparansi, dialog dan argumentasi akademik, hingga matinya dialektika intelektual. Itu semua menunjukkan indikator atau variabel fakta sosial kekuasaan yang otoritarianisme dan oligarki (ekonomi) investor. Yang kemudian dipagar-betisi oleh para penghamba (kacung, centeng, pecundang) kekuasaan.
Krisis Kepercayaan
Dalam arena dan relasi kekuasaan yang berada dalam krisis kepercayaan publik dan atau tidak mendapatkan kepercayaan publik yang luas, rendahnya public trust, apapun penjelasan ataupun pernyataan-pernyataan yang dikemukakan oleh kekuasaan akan selalu tidak dipercaya kebenarannya. Kepatutan untuk tidak dipercaya tersebut bukanlah berdiri sendiri. Realitas empirik sebagai fakta sosial menuntun ingatan dan memutar kembali pita ingatan kita, terkecuali kita telah menjadi penghamba (kacung, centeng, pecundang) kekuasaan dan atau menjadi sekelompok kaum yang bersandar pada sentimen politik. Para penghamba kekuasaan tersebut dalam teologi bisa kita katakan sebagai kaum munafikin, atau oleh Ignas Kalpokas dalam Political Theory of Post Truth dikatakan menyamarkan antara kebenaran dan ketidakbenaran, menyamatkan hal-hal yang tidak benar menjadi (seolah-olah) itu kebenaran atas penjelasannya.
Apa yang dikatakan dan dijelaskan Menkopulhukam Mahfud MD yang dipertegas oleh Presiden Joko Widodo di Istana Bogor mengenai Omnibus Law Ciptaker yang lebih fokus penjelasan tersebutt merupakan bantahan atas penolakan disahkannya UU Omnibus Law Ciptaker, bahwa yang ada dalam muatan pasal-pasal yang ditolak tersebut adalah tidak benar, yang pada dasarnya dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi dari UU ini dan hoax di media sosial, contohnya, ada informasi tentang penghapusan UMP, UMK, UMSP, hal itu tidak benar. Faktanya, tetap ada. Ada juga yang menyebutkan upah minimum dihitung perjam. Ini juga tidak benar dan seterusnya, bla bla bla (silakan buka youtube).
Penjelasan Menkophukam bahkan Presiden sekalipun dalam krisis kepercayaan publik justru akan memperpanjang kegaduhan nasional, karena apa yang dijelaskan tetap dipertanyakan dan atau tidak dipercaya, karena memang patut untuk tidak dipercaya jika kita memutar kembali pita ingakatan kolektif terhadap disahkannya RUU KPK, kebijakan penangan pandemi Covid-19 dan kebijakan lainnya.
Pertanyaan berikutnya, atas dasar apa dan mengapa Pemerintah (Istana) lebih memilih memberikan penjelasan itu semua ketimbang memilih jalan, ini lho dari draf, RUU hingga RUU Omnibus Law Ciptaker itu disahkan. Silakan publik dan atau rakyat segenap tumpah darah bisa membuka tanpa batas dan bisa membaca secara seksama dan hidmat mengenai pasal-pasal yang dituding menguntungkan mafia ekonomi dan para investor.
Silakan klik website kami, mulai dari proses pembuatan, proses pembahasan hingga diparipurnakan dan diketuk palu DPR untuk disahkan, sehingga publik kritis tahu, mengerti dan paham, termasuk megapa Ketua DPR Puan Maharani mematikan mikrofon ketika Benny K Harman-Demokrat yang sedang bicara. Padahal, hak untuk mengemukakan pendapat dan argumen-argumen dalam ruang paripurna tersebut seharusnya diberikan dengan leluasa. Karena, publik kritis juga paham, apakah sekedar politik dagelan atau mencari perhatian publik atau supaya dianggap bukan sebagai partai pengkhianat atas kedaulatan rakyat. Kita tahu, semua fraksi dalam Senayan sepakat RUU Omnibus Law Ciptaker menjadi Prolegnas dan dilanjutkan dalam pembahasan dan diparipurnakan. Tetapi, itu tidak menjadi pilihan Istana.
Apakah Istana mengganggap publik, para Guru Besar, Dekan dan akademisi dan rakyat segenap tumpah darah belum melek, masih butu huruf, buta politik, buta hukum, buta kebenaran, buta logika dan akal waras, sehingga tetap mengambil sikap dan tindakan memberikan penjelasan dengan konferensi pers dan atau pidato di Istana Negara yang diunggah ke youtube lantas di share ke semua lini dan ruang frekuensi gelombang udara yang bebas, yang dibumbuhi penyedap oleh para penghamba kekuasaan yang berada di sumbu-sumbu kekuasaan yang bertebaran di mana-mana dalam ruang yang tak bercahaya. Dalam pidato Presiden di istana Bogor pada 9/10/2020 dikatakannya setelah melihat adanya unjuk rasa terhadap penolakan UU Omnibus Law Ciptaker.
Pilihan Istana untuk mengunci tansparansi publik dan kenapa tidak memilih jalan (solusi) untuk mempersilakan publik, rakyat untuk mengakses RUU, UU Omnibus Law yang asli dan benar agar tidak menjadi kesesatan melalui website di muka, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan nasional yang berkepanjangan yang semakin membuka ruang potensi kemarahan sosial yang tak akan bisa terelakkan. Mengapa, justru itu bukan pilihannya. Padahal, sejarah dan waktu telah mengajarkan pada kita semua, bahwa represitas kekuasaan, apalagi jika terjadi banyaknya jatuh korban, luka dan terjadi penangkapan di mana-mana, justru represitas kekuasaan tersebut tidak akan mampu menahan laju gelombang kegaduhan dan kemaharahan nasional, dan sejarah pula yang mencatat dan waktu pulalah yang bicara, bahwa kekuasaan tersebut pastilah runtuh atau tumbang atau lengser jika berhadap-hadapan dengan kemarahan sosial secara nasional, karena darah dan nyawa telah memberikan catatan sejarah untuk bicara kebenaran akan cahaya.
Pernyataan publik yang dilansir berbagai media dan diunggah ke youtube, Menko Kemaritiman dan Insvestasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan dengan UU Omnibus Law Ciptaker telah mendapat pujian (baca: acungan jempol) dari berbagai Negara dan Kepala Negara seperti Donal Trumps (AS-goodluck), Jepang, Abu Dhabi, Bank Dunia (sukses untuk Indonesia telah membuat perubahan yang hebat (Pikiran Rakyat-Cianjur.Com, 7/10/2020.14.40).
Sekali lagi, jika kita merujuk pernyataan Menko Perekonomian Airlangga dan Mabes Polri, apakah pernyataan dan pemberitaan berbagai media yang melansir pernyataan publik Menko Kemaritiman dan Insvestasi tersebut akan dibantah bukan hoax, karena ternyata Bank Dunia tidak memberikan pernyataan (yang dianggap sebagai pujian) yang sepotong, sehingga menyesatakan, bohong atau hoax belaka. Jika itu tidak dikatakan bukan hoax, apa argumentasinya? Karena pernyataan Bank Dunia hanya sepotong saja yang dikatakan, yang seolah-olah tidak ada celah yang beresiko tinggi bagi iklim investasi itu sendiri.
Padahal, Bank Dunia (World Bank) mengatakan, RUU Ciptaker saat ini memiliki potensi untuk mendukung pemulihan pasca Covid-19 dalam waktu dekat. Bank Dunia merinci, Omnibus Law Ciptaker bisa memberikan sinyal kepada pengusaha dunia bahwa Indonesia terbuka untuk bisnis dengan menghapus pembatasan investasi, termasuk praktek diskriminatif terhadap investor asing dalam undang-undang sektoral. Bank Dunia menyebut bahwa RUU Omnibus Law bisa merugikan, terutama Indonesia dalam hal sumber daya alam, pasalnya, merelaksasi persyaratan untuk perlindungan lingkungan yang bisa merusak aset alam, yang saat ini sumber daya banyak masyarakat dan tentu ini berdampak negatif pada investasi (CNBC Indonesia, 9/10/2020: Beri Banyak Catatan, Benarkah Omnibus Law Ditolak Bank Dunia).
Kita yang sekarang ini seperti (mantan) aktivis 1998 Fadjroel Rachman dkk, Denny Siregar dkk, Eko Kuntadi dkk, Silvia Dewi Soebarto dkk, Rudi S (Pengamat; lihat youtube) dkk, Dewi Tanjung dkk, dan sederet panjang nama lainnya yang berjejer dari Sabang hingga Meuroke, apakah tidak tahu dan atau tidak paham bahwa musim datang silih berganti? Ataukah kita sesungguhnya tahu dan paham bahwa setiap musim yang berganti niscaya akan hadir dan meng-ada orang-orang yang menghamba kekuasaan. Sejarah kini telah mencatat semua itu, dan kelak sejarah pula yang membeberkannya, dan waktulah yang akan bicara atas semua catatan sejarah itu, sekalipun sejarah akan selalu dimenangkan oleh kekuasaan, tetapi kebenaran sejarah tidak bisa dikendalikan (ditentukan) oleh kekuasaan, karena sejarah adalah catatan peristiwa itu sendiri. Nilai kebenaran sejarah ditentukan oleh kebenaran peristiwa sejarah itu sendiri.
Mengapa, tidak memilih menjadi Umar bin Khottob yang berani menegur dan mengingatkan Muhammad, padahal, Muhammad adalah utusan Allah, sebagai Rosulullah. Sedangkan para pempim kita hanya sebagai utusan dari kekuasaan atas paganisme keberagamaan, yang mana kemaksumannya tidak terjaga. Tidak seperti Muhammad sebagai Rosulullah. Teguran Umar bin Khottob atas kekeliruan pandangan, pendapat dan tindakan Muhammad sebagai Rosul lantas Tuhan menurunkan beberapa ayat (ada sekitar 20 ayat) untuk membenarkan uacapan, pandangan, pendapat dan tindakan Umar bin Khottob tersebut. Kenapa, tidak dijadikan keteladanan dan pelajaran?
Para penghamba kekuasaan biasanya selalu menggunakan politik post trut, yang kata Ignas Kapolkas dikatakan menyamarkan kebenaran dengan ketidakbenaran atau menyamarkan ketidakbenaran untuk menjadi (seolah-olah) kebenaran. Apa yang katakan Ignas Kapolkas sesungguhnya merupakan problem pemikiran yang tengah kita hadapi sekarang ini.
“Di tengah keterombang-ambingan dan ketidakmenentuan, kepastian adalah hal yang amat kita rindukan. Namun, kepastian bisa juga berisiko menjadi kemapanan dan kemandheg-an. Kalau demikian, kepastian lalu menjadi halangan bagi kita untuk terus berkembang. Paling berbahaya, jika kepastian yang mapan dan madheg itu berkenaan dengan pemikiran. Di sini, kepastian bisa menjadi kebenaran yang tak mau diganggugugat dan dogmatis. Tak sulit mencari bukti sejarah, bahwa kepastian pun ternyata bisa menjadi rezim yang merasa mempunyai kebenaran mutlak, juga dalam hal pemikiran.” (Haryatmoko: 2026:7).
Konfrontasi Omnibus Law Ciptaker memperlihatkan rezim kepastian sebagai realitas sosiologis sejarah akhir-akhir ini. Memperdebatkan, mendialektikakan dan mendialogkan sudah dikatakan yang mengaku “benar sendiri” yang tujuannya hanya sekedar menyumbat dan atau membunuh pemikiran kritis.
Michel Foucault dengan tegas mengemukakan tugas pemikiran kritis, pertama, membongkar hubungan kekuasaan yang disembunyikan. Kedua, mendorong tumbuhnya perlawanan dan memungkinkan suara yang tercekik bisa mengungkap. Ketiga, menghasilkan pengetahuan yang benar agar dapat melawan cara memerintah yang dominan. Keempat, memungkinkan penemuan subjektivitas baru untuk menantang kebebasan dan kemungkinan bertindak kita.
Oleh karenanya, pernyataan para Guru Besar, Dekan dan akademsi, kaum inteletual dan masyarakat kritis sedang menyampaikan dan memperlihatkan kesejarahan sistem pengetahuan, kekuasaan dan subjektivasi dan menunjukkan bahwa tidak fatalitas seperti yang dikatakan Michel Foucault, karena rezim kepastian akan bisa menjadi petaka dan bahkan menjadi bencana, yang lebih besar resikonya ketimbang pandemi Covid-19.
“Inilah kelakuan anggota DPR. Jadi justru saya ingin tahu, ada tidak Penguasa atau DPR berani mengatakan inilah draf terakhir dari RUU Omnibus Law yang kemarin disahkan oleh DPR dan Pemerintah.” (Refly Harun, Youtube Cadas: Najwa Shihab Kaget Anggota Baleg Tak dapat Darf Final RUU!!!).
Istana lebih memilih konfrontasi yang tak berujung, padahal konfrontasi yang tak berujung adalah konfrontasi yang lari dari logika dan akal waras, lari dari dialektika intelektual, melarikan diri dari realitas sosial yang dihadapi. Konfrontasi yang tak berujung adalah konfrontasi yang menyingkirkan realitas empirik sebagai sebuah fakta sosiologis. Aneh dan lucu, kok memilih konfrontasi ketimbang transparansi. Memilih kekuasaan sebagai panglima yang memenjarakan logika dan akal waras. Aneh dan lucu, bukan? ***