Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19 akan digelar pada 9 Desember 2020, daerah yang akan melaksanakan Pilkada sebanyak 270 daerah, yaitu 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota. Spanduk, poster, baliho, dan lainnya berhamburan, dan jagat Medsos (media sosial) pun menjadi gegap gempita bahkan menjadi lepas kendali dalam etika, tak luput dengan black campaign mewarnainya.
Akankah hasil Pilkada tersebut akan membawa kemaslahatan umat, atau sebaliknya, membawa petaka, karena Pilkada hanya melahirkan racun bagi daerah itu sendiri dan racun bagi demokrasi, di mana kedaulatan bukan lagi di tangan nurani (rakyat). Statemen Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan hampir 92% calon kepala daerah dibiayai cukong (CNN Indonesia, Jumat, 11/9/2020.17.03) adalah sinyal tumpahan racun yang akan ditanggung kemudian.
Mendeteksi Racun
Tidak terlampau jelimet untuk mendeteksi racun dalam Pilkada. Kita bisa melakukan pendekatan deteksi dini dengan pisau bedah semiotika dan atau hermentika. Kedua pisau bedah tersebut akan jauh lebih efektif dan bahkan akurasinya lebih bisa dijamin secara logika dan akal waras.
Semiotika akan mampu memberikan kesimpulan dalam melakukan pembacaan terhadap simbol-simbol, tanda dan penanda dalam banyak hal yang dilakukan oleh politisi dan atau partai politik (Parpol) dalam membiuas (calon konsituen) masyarakat. Hermetika akan mampu melakukan pembacaan terhadap fenomena sosial, prilaku politik para politisi dan baik yang terselubung maupun yang tanpa malu-malu dalam menganut mekanisme pasar bebas dalam melakukan transaksional. Dengan hermenetik kita bisa manafsirkan hendak dan kehendak politisi tersebut. Jika kita dilengkapi pengetahuan “bahasa tubuh”, psikologis dan motif, maka akan lebih jauh kita bisa melakukan pembacaan maunya apa dan akan bagaimana nantinya.
Praktek money politics dalam Pilkada merupakan gambaran yang gamblang sebagai buah yang beracun yang akan bersemi setelah duduk di kursi panas kekuasaan sebagai kepala daerah. Praktek money politics berjalan seperti gelombang hingga apa yang disebut dengan serangan fajar, serangan TPS dan serangan saksi-saksi. Tanda dan penanda tersebut kita tidak perlu harus memutar otak harus sampai pada penelusuran siapa yang bermain di belakangnya, yang oleh Menko Polhukam Mahfud MD dikatakan sebagai cukong, karena tidak semua kalangan akan tahu dan faham dengan permainan patgulipat itu. Tetapi, itu bisa kita simpulkan sebagai racun dalam Pilkada, karena realitas empiriknya sebagai sebuah fakta di kemudian hari setelah menjadi kepala daerah menjadi tak terbantahkan lagi. Wani piro, siapa beli, saya jual. Sistem dan hukum transaksional politik tersebut melepaskan hubungan emosional dan beban moralitas yang harus ditanggungnya di kemudian hari. Kedaulatan telah terkonversi dengan nilai tukar dan daya beli.
Untuk mendeteksi racun dalam Pilkada kita bisa melakukan pembacaan tanpa harus melakukan penelusuran jejak dari tanda, penanda dan simbol-simbol yang dibangun melalui permainan kata dan atau idiom-idiom yang digunakan dalam slogan, jargon, motto, retorika (yang dibangun), latar (background) dalam potret diri yang terpampang dalam spanduk, baliho, banner atau apapaun bentuk medianya, termasuk dalam ruang publik media sosial (Medsos) yang kini paling padat frekuensinya, karena bisa gayung bersambut dalam tempurung.
Slogan, jargon, retorika, motto dan simbol-simbol lain yang terpampang dan dikedepankan sebagai daya pesona tersebut tentu akan melahirkan racun dalam Pilkada jika hal-hal tersebut berlepasan secara argumentatif, menjadi ruang hampa dalam atmosfir yang menjadi beracun di kemudian hari setelah Pilkada.
Slogan, jargon, retorika, motto dan simbol-simbol lain sebagai tanda dan penanda berlepasan dari logika dan akal waras jika kita tarik benang merahnya dalam tataran idea, konsep dan metodologi akademik yang mengada-ada dalam visi dan misinya bagaikan air dan minyak, karena tidak mampu menjawab pertanyaan sebagai jawaban terhadap problem solving itu sendiri yang dihadapi daerah dan masyarakatnya.
Pada tataran idea dan konsep tidak menjadi rasional, padahal ide (semula) yang irasionalitas pun bisa menjadi hal yang rasionalitas jika logika dan akal warasnya menjadi termetodologik. Yang semula utopian bisa menjadi realitas, tetapi bukan hal yang menjadi utopis konsep problem solving-nya.
Salah satu contoh, misalnya, ada jargon dan slogan dengan #perubahan#. Pertanyaannya perubahan apa, macam apa dan bagaimana untuk mencapai perubahan tersebut. Apakah perubahan itu menjadi baik atau sebaliknya (baca: hanya untuk kepentingan perubahan dirinya dan atau golongannya secara materi dan status sosial).
#Perubahan# misalnya soal pertumbuhan ekonomi, jika kita urai derivatifnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tersebut akan menguraikan dulu indikator-indikator pertumbuhan ekonomi, misalnya kenapa menjadi -5,2% dan harus dibagaimanakan. Angka pertumbuhan ekonomi tidak tidak ansich, tetapi juga tidak bisa melepaskan diri dari kurva IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang keterukurannya merupakan pengukuran perbandingan dari pendidikan, harapan hidup (kesehatan) dan daya beli (dari suatu standar hidup negara dan atau daerah itu sendiri).
Indikator lainnya pun turut menjadi penentu seperti regulasi dan kebijakan yang mau diambil, infrastruktur untuk pertumbuhan ekonomi itu seperti apa. Strategi dan skala prioritasnya apa dan bagimana. Jika kemudian argumentasinya secara metodologi menjadi patah atau berguguran, maka slogan, jargon dan simbol-simbol perubahan tidak nyambung dengan logika dan akal waras, kehilangan struktur rasionalitas, sehingga berdiri sendiri bagaikan air di daun talas.
Contoh lain, misalnya, soal pemberantasan korupsi. Jika argumentasinya akan menggandeng lembaga penegak hukum dan atau APH (aparat penegak hukum), maka menjadi logika bagaikan sumur tanpa dasar, karena APH bukan auditor baik eksternal maupun internal, tidak bisa masuk dalam wilayah praktek pencegahan korupsi dalam tata negara kita, sekalipun telah dilakukan MoU dengan Pemda dalam pencegahan korupsi, hanya pada tataran konsep dan sistem pencegahannya saja.
APH hanya berperan dalam penegakkannya saja jika telah terjadi peristiwa korupsi yang kemudian harus didakwakan pidana jika indikasi korupsi tersebut bisa dibuktikan secara formalistik adanya fakta alat bukti formil. Alat bukti petunjuk sebagai kebenaran material pun dalam prakteknya sebagai alat bukti permulaan tidak dipakai, disingkirkan tanpa harus ditelusuri dan atau diuji kebenarannya sebagai bukti formil.
Pencegahan korupsi yang harus dijadikan argumentasi metodologis adalah bagaimana sistem dan para pelaku sistem dalam birokrasi bisa berjalan, yang keterkaitannya adalah dengan kinerja berbasis data, di mana realitas empirik sebagai fakta menjadi uraian dalam menjawab dan menyelesaikan solusi pencegahan korupsi dalam #perubahan# itu sendiri. Yang tak terbantahkan adalah realitas praktek-praktek birokrasi sangat koruptif.
Sistem yang perfect pun tidak akan bisa mencegah praktek korupsi jika para pelaku sistem dalam birokrasi itu sendiri tidak waras (tidak sehat), karena yang dibutuhkan adalah praktek-praktek yang sehat dan cakap dari para pelaku sistem itu sendiri (Bradford Cadmus & Arthur J.E. Child: Internal Control Against Fraud and Waste, 1953:15). Transparansi publik dan akuntablitas publik seperti apa yang akan dikedepankan, karena dalam birokrasi kita, transparansi dan akuntabilkitas publik merupakan hantu dan menjadi momok untuk informasi publik.
Pembacaan terhadap simbol-simbol, tanda dan penanda lainnya juga bisa untuk mendeteksi dini racun dalam Pilkada jika kita ingin melahirkan pempimpin (kepala daerah) yang waras baik logika maupun akal warasnya di kemudian hari, sekalipun jika semua indikator-indikator waras tersebut sudah bisa terpenuhi, tetapi bukanlah menjadi jaminan ke-waras-annya, karena masih ada faktor “X” lainnya yang menelikung kursi panas kekuasaan dari berbagai kepentingan.
Narasi besarnya menjadi hashtag, misal, #Perubahan# kemudian dalam spanduk, baliho, banner dan medsos (youtube, facebook, instagram, twiter dan seterusnya) sebagai heading dan sub heading-nya seperti, Membangun Generasi Bangsa Tanpa Korupsi, Medan Berkah, Maju & Sejahtera, Remaja (Religius, Maju, Mandiri dan Sejahtera), Bertasbeh (Bersih, Tuntas, Bertasbeh), Sehat-Rakyat Bersamamu, Butuh Pemimpin Bukan Penguasa, Stop Dinasti Korupsi, Permata (Pemerataan Kemajuan dan Kesejateraan), Tungguma 2020 (Ada cinta yang dinanti-nanti oleh masyarakat), dan masih banyak lagi yang lain dengan nafas bombastis, mendayu-dayu (seolah-olah) sangat familiar dengan rakyatnya, dan (sekan-akan) begitu sangat peduli. Padahal, slogan dan jargon tersebut tidak berakar pada visi-misinya, dan visi-misinya berantakan dalam struktur berpikir (rasionalitas) dengan logika dan akal waras yang jungkir balik. Hal itu merupakan tanda dan penanda racun dalam Pilkada.
Politisi Moral
Masyarakat, rakyat (baca: setiap orang) secara konstitusional dalam Pilkada dijamin hak atas menentukan pilihannya sesuai dengan hak itu sendiri yang dimilikinya untuk menjadi suara yang berdaulat atau agar pilihan yang disuarakannya mempunyai kedaulatan setelah Pilkada usai yang akan melahirkan jabatan kepala daerah.
Untuk menjaga kedaulatan atas suaranya tentu tidak gampang, karena setelah hak konsitusinya telah ditunaikan kelak kemudian hak konstitusinya tidak bisa lagi dicabut setelah Pilkada usai oleh konsitusi itu sendiri. Hak konsititusional awal dengan hak konstitusional setelahnya secara konstitusional tidak lagi berelasi seperti busur dengan anak panahnya yang lepas nun jauh. Anak panah itulah yang kemudian menjadi maujud kepala daerah, di mana maujud tidak lagi terikat dengan wujud semulanya. Anak panah bisa meninggalkan busurnya tanpa harus merasa terbebani moralitasnya.
Kita dalam Pilkada dihadapkan menentukan pilihan. Di mana pilihan tersebut di kemudian hari bisa menjadi seribu wajah, di mana wajah semulanya akan sulit dikenali lagi, tetapi wajah barunya akan memberikan potret wajah sesungguhnya yang asli yang tidak bisa lagi dipoles dengan make-up ataupun lipstick setelah tongkat kekuasaan dan kebijakan diberikan kepadanya.
Imanuel Kant mendefinisikan politisi moral adalah orang yang memahami prinsip-prinsip kearifan politik sedemikian rupa sehingga ia bisa hidup dengan moralitasnya. Dia memandang bahwa dirinya bermaksud menegakkan keadilan dan merealisir tujuan moral, dan karenanya memiliki kepentingan dalam kemajuan umat manusia. Politisi moral adalah menyiapkan jalan bagi perubahan ke arah yang lebih baik.
Apa yang dikatakan Kant barangkali bisa menjadi harapan dalam pilihan. Tetapi, jika politisi moral itu yang diberi kepercayaan, bukan tidak mungkin juga akan bisa berdiri tegak, karena sistem kepartaian, sistem jual beli rekom untuk sampai ke KPU (Komisi Pemilihan Umum) bukan barang murah diperjualbelikan bahkan menjadi perdagangan umum seperti dalam bursa saham. Begitu juga dengan watak kekuasaan hendak berkuasa dan cenderung koruptif, maka semua kebijakannya harus tetap dikawal secara ketat agar sampai pada tujuan semula.
Politisi moral yang didefinisikan Kant merupakan barang langka di kita negeri ini. Maka, akan menjadi problema dilematis bagi pemilih cerdas yang sedang “Menunggu Godot.” Alih-alih yang tetap akan terjadi seperti apa yang diceritakan Alber Camus dalam “Sampar”, negeri Aljazair yang cantik menjadi binasa karena wabah penyakit; ambruknya moralitas.
Moralis Politik
Kant dalam melakukan pembacaan prilaku politik kemudian ada yang disebutnya sebagai Moralis Politik. Moralis politik adalah orang yang mereka-reka moralitas supaya cocok dengan kepentingannya. Moralis politik memanfaatkan hasrat alami manusia untuk melihat tujuan pemimpin mereka dari sisi moral guna menciptakan suatu etika yang hanya untuk memenuhi tujuan segelintir orang yang berkuasa. Moralis memanfaatkan kesalahpahaman guna menampilkan tujuan-tujuan tertentu sebagai tujuan yang sifatnya umum dan moral.
Tujuan moralis politik bukanlah untuk kemajuan, kesejahteraan dan keadilan. Semata-mata hanya untuk kepentingan ia berkuasa. Moralis politik tidak akan sampai pada tujuan yang diharapan untuk perbaikan atau perubahan itu sendiri. Moralis politik bisa dilakukan dengan melakukan pembacaan atas tanda dan penada dalam simbol, jargon, slogan dan retorika sebagai silogisme (pernyataan dan konkulsi).
Moralis politik akan menjadi keniscayaan pada “Tiap orang yang mempunyai jabatan politik, atau, lebih khusus lagi, jabatan publik sebagai penyelenggara negara, merasa perlu menegaskan statusnya yang baru. Meski begitu, penegasan status itu tak dilakukan melalui kinerja dan pretasi, tetapi melalui perubahan gaya hidup.” (Ignas Kleden: Ekshibisionisme Sosial Politikus, Kompas.com, Selasa, 25/6/2013). Maka, bagi pemilih cerdas akan dengan mudah mengenalinya, dan pada keputusan sebagai pilihannya tidak menjatuhkan pada moralis politik. Karena, pilihan itu akan menanggung konsekuensi logisnya sebagai bencana bagi perubahan itu sendiri. Bukan lagi hijrah ke takdir sosial lainnya melainkan mengukuhkan takdir sosial yang ada. Jika hanya iseng, mencoba-coba menghindari racun ternyata tenggelam ke dalam racun yang lebih dalam.
Jika dikatakan, “Pilkada Oportunis Dari Politik” (Rocky Gerung, FNN), maka Pilkada menjadi sebuah keniscayaan berbuah racun. Kita tidak akan menemukan politis moral, tetapi yang akan kita dapatkan setelah penetapakan hasil Pilkada adalah kepala daerah yang moralis politik (dalam istilah Kant) yang ditandai oleh keberadaan cukong di belakangnya sebagai investasi oligarki kepentingan bisnisnya.
Hanya kabar dari langit yang memberitakan catatan sejarah mengenai Shiddiq (jujur), Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan) dan Fathonah (cerdas). Catatan dari langit tersebut senantiasa luput dari tangkapan kita dalam menentukan pilihan untuk mengemban kerdaulatan dan kekhalifahan. Pada catatan langit pula sejarah membukakan catatannya sebagai realitas empirik yang menjadi fakta bahwa setiap Pemilu (Pilkada, Pilpres dan Pileg) selalu disuntikan dan atau dituangkan racun dalam gelas piala Pemilu dalam setiap Pemilu. Hal tersebut menjadi keniscayaan yang tak terbantahkan, memang (sebagian besar) masyarakatnya gemar dan bahkan amat suka menenggak racun Pemilu.***
*)Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com