Sengaja kita kutip pernyataan dua Gubernur sebagai representasi para Gubenur se Indonesia, yaitu Gubernur Sulawesi Selatan Prof HM Nurdin Abdullah dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo agar lebih jelas persoalannya. Kepala Daerah lainnya, pastilah seia-sekata, karena itu koor orchestra Istana yang harus dinyanyikan Kepala Darah dalam Omnibus Law Ciptaker yang membawa gelombang demo nasional.
“…kembali membuka ruang dialog dan meminta masukan dari berbagai pihak(1) terkait Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibuslaw, yang telah disahkan dan menimbulkan ekses di berbagai tempat. Sabtu siang, masukan ataupun saran dari 23 rektor PTN/PTS dihimpun untuk disampaikan ke Presiden. Gubernur memandu dan memimpin langsung jalannya diskusi yang juga dihadiri oleh Ketua DPRD, Kapolda dan Forkopimda lainnya.
Kita tahu persis elemen mahasiswa juga ikut memprotes Undang-undang Cipta Kerja. Makanya, seluruh rektor kita kumpulkan hari ini untuk menyamakan visi kita tentang Undang-undang Omnibuslaw(2). Berdialog adalah hal yang sangat penting. Kalau kita bisa berdialog, kenapa kita turun ke jalan, apalagi merusak fasilitas negara yang notabenenya adalah uang rakyat yang dipakai membangun(3). Sehingga, kita di Sulsel ini lebih pada menyelesaikan masalah melalui dialog(4). Dialog dan diskusi dengan rektor ini menimbulkan harapan untuk menjaga ketenangan, ketentraman dan kedamaian Sulsel. Sangat menghargai aspirasi yang disampaikan oleh mahasiswa, sebagai kaum intelektual dan agen perubahan bangsa(5). Terkait draft undang-undang ini, mengaku telah mendalami isinya, tetapi belum seluruhnya. Ia menilai manfaatnya jauh lebih besar(6).
Banyak hal lain yang memudahkan masyarakat kita. Saya kira patut kita apresiasi terlepas dari kelemahan daripada Undang-undang Omnibus Law ini(7). Tapi saya melihat inilah saatnya Indonesia berubah. Undang-undang ini juga hadir, agar Indonesia menjadi salah satu tujuan relokasi industry(8). Kenapa Indonesia tidak menjadi salah satu tujuan relokasi industri dari luar, bahkan mereka cenderung ke Cina, Vietnam, Laos dan Myanmar. Itu karena mereka sangat memahami kita terlalu banyak aturan, aturannya tumpang tindih, birokrasi yang panjang dan berbelit-belit(9).” (Ideatimes, Id Makassar, October 18, 2020: Gubernur Sulsel Kumpul 23 Rektor PTN/PTS, Ada Apa? INDONESIA SATU, Oktober 19, 2020-09:49: Bahas UU Omnibus Law, 23 Rektor Kumpul Bersama Gubernur dan Kapolda Sulsel. Sulsel Suara.com. Fixmakassar pikiran-rakyat.com. Makassar antaranews.com).
“…mengundang sejumlah rektor, perwakilan buruh dan pengusaha di Jawa Tengah duduk bersama membahas persoalan Undang-Undang Cipta Kerja. Ganjar membuka ruang dialog tersebut untuk menyerap aspirasi dan masukan dari berbagai pihak(10). Hadir dalam pertemuan itu, Ketua Apindo Jateng, Katua Kadin Jateng, Rektor Undip, perwakilan Rektor Unnes, Unisulla dan UNS serta perwakilan buruh. Ganjar juga mengundang para Ketua BEM universitas negeri di Jateng. Namun, tidak ada satupun yang mau hadir dalam pertemuan itu. Saya sengaja mengundang buruh, pengusaha, kampus dan mahasiswa untuk membahas masalah ini (UU Cipta Kerja).
Teater Monolog
Kami dengar pendapat-pendapatnya, termasuk tadi dari Kemenko Perekonomian yang menjelaskan dengan sangat bagus dan detil(11). Memang sampai saat ini, draft final UU Cipta Kerja belum disampaikan kepada masyarakat. Namun setidaknya, sejumlah persoalan yang menjadi sorotan, dapat dibahas secara mendalam. Tadi perwakilan buruh setelah diskusi bersama juga mengatakan, lho ini undang-undang bagus sekali. Tapi kenapa teman-teman buruh tidak tahu cerita-cerita itu. Maka ini adalah problem komunikasi yang harus segera diselesaikan(12). Tidak memaksa masyarakat khususnya buruh untuk setuju dengan Undang-Undang Cipta Kerja ini. Pihaknya memberikan ruang kepada mereka untuk menolak, melakukan judicial review atau memberikan masukan ke pemerintah terkait rencana pembentukan PP dan Perpres (13). (SuaraJawaTengah.id, Senin, 12 Oktober 2020 | 14:26 WIB: Bahas UU Cipta Kerja, Ganjar Undang Rektor, Buruh dan Pengusaha).
Perlu kita ketahui dan perlu dicatat bahwa Kepala Daerah menurut konstitusi, sekalipun ada otonomi daerah adalah tetap merupakan perpanjangan tangan kekuasaan dari Pemerintah Pusat, dan hampir tidak terjadi Kepala Daerah yang tidak patuh dan taat kepada Pemerintah Pusat, apalagi berani melakukan pembangkangan sosial. Fakta sosial ini bisa kita perlihatkan, semula ada 34 Gubernur belum termasuk Bupati dan Walikota beserta DPRD-nya yang ikut-ikutan menandatangani melakukan penolakan Omnibus Law sewaktu digelar aksi demo mahasiswa dan lainnya (buruh). Lantas, selang hari menjadi balik kanan, dan justru kemudian melakukan brainwashing dengan kearifan yang semu dengan kata: membuka dialog, diskusi, menyerap aspirasi dan masukan dari berbagai pihak, meminta masukan dari berbagai pihak, Sangat menghargai aspirasi yang disampaikan oleh mahasiswa, sebagai kaum intelektual dan agen perubahan bangsa dan seterusnya dengan padanan kata tersebut. Seolah-olah demokrasi berjalan dengan mengedepankan dialektika intelektual atau dialektika akademik, sehingga semua bisa diperdebatkan dan ditakar dengan logika dan akal waras.
Apa yang menjadi realitas? Fakta sosial itu menjadi naïf keniscayaannya, karena yang dikatakan dialog oleh para Kepala Daerah dengan mengumpulkan para rektor dan akademisi, mahasiswa dan lainnya itu jatuh pada kesimpulan, yang menolak silakan untuk melakukan judicial review atau ke Mahkamah Konstitusi(13). Intinya, Omnibus Law harus diterima dengan harga mati.
Ada logika yang jungkir balik dan dijungkirbalikan bersama akal waras, sehingga menjadi terjebak atau terperangkap dalam jebakan yang dibuatnya sendiri dan tergelincir. Jika mau menyerap masukan, mendengarkan aspirasi dari berbagai kalangan, terutama masyarakat kritis (civil society), intelektual dan akademisi yang logika dan akal warasnya masih terjaga, tentu seharusnya membuka ruang dialog tersebut bukan setelah disahkan. Apa signifikasi dan kemanfaatnya? Tentu tidak ada sama sekali, karena Presiden tidak akan mungkin mengeluarkan Perppu, oleh sebab sebagai inisiator. Tidak mungkin mau menelanjagi dirinya sendiri.
Bukankah itu hanya upaya bagaimana sebenarnya Istana dengan Kepala Daerah sebagai perpanjangan tangannya untuk bisa melakukan peredaman gejolak nasional, demo, atau sesungguhnya harus dikatakannya jangan berdemo lagi dan jangan kau tolak Omnisbus Law itu. Tetapi, jika itu yang harus disampaikan akan dikatakan antidemokrasi, akan dituding membungkam menyampaikan pendapat di muka umum.
Dalam catatan sejarah dan waktu sebagai fakta sosial, sebelum dan sesudah disahkan, para guru besar, akademisi, intelektual dan civil society kritis telah menyampaikan berkali-kali kritik, saran, catatan dan koreksi terhadap celah yang bisa menjadi bencana jika Omnibus Law itu disahkan. Sebab itu sebagai panggilan dan pertanggungjawaban moralitasnya untuk menjaga negeri ini untuk disampaikan. Itu semua dianggap angin lalu oleh Istana dan Senayan, bahkan arogansi kekuasaan makin dikedepankan dengan segala tudingan dan bantahannya sebagai counter-attack atas suara-suara yang disampaikan ke Istana dan Senayan. Kemudian berkilah, dalam demokrasi, perbedaan pendapat itu hal biasa, dan ciri demokrasi adalah adanya perbedaan pendapat.
Kita dianggap tidak bisa membaca, memahami dan menakar mana yang baik dan mana yang buruk, mana celah yang bakal menjadi bencana dan mana celah yang bisa tertutupi. Lagi-lagi, dikatakannya, ini untuk kepentingan rakyat dan kebaikan rakyat, memberi kemudahan bagi rakyat. Apa ada negara yang mengatakan, wahai rakyatku akan kugadaikan bangsa ini karena terjerat hutang luar negeri. Tentu tidak akan ada yang mengatakan seperti itu. Setelah menjadi Presiden, hutang luar negeri bukan lagi menjadi tanggungjawabnya. Apa ada kekayaan Presiden yang harus disita untuk melunasi hutang luar negeri setelah tidak jadi lagi menjadi Presiden. Tidak ada. Bangsa (rakyat jelata) yang harus menanggung deritanya. Maka, dari Presiden ke Presiden hobinya ya hutang luar negeri.
Semua catatan, saran, kritik, koreksi dan kajian akademis dibantahkannya secara brutal. Apa yang dikatakan para akademisi, intelektual dan civil society tersebut adalah tidak benar dan menyesatkan, hoax, menyebarkan hoax, menyebarkan provokasi kebencian dan seterusnya. Pasal-pasal yang dipersoalkan tersebut berasal dari selebaran atau draf pasa-pasal yang hoax. Tentu, aneh tapi nyata dan menggelikan, karena itu semua tidak mau dibuktikan; ini lho naskah akademiknya dan ini lho Omnisbus Law yang diparipurnakan dan yang disahkan.
Lidah memang tidak bertulang. Kekuasaan di negeri ini seakan ditakdirkan untuk bersilat lidah sepanjang kekuasaannya. Memperpanjang lidah itu menjadi pilihannya sebagai sebuah takdir sosial. Memainkan teater dengan sebuah drama monolog yang didramatisir dengan dialog. Tadi dari Kemenko Perekonomian yang menjelaskan dengan sangat bagus dan detil(11). Terkait draft undang-undang ini, telah mendalami isinya, tetapi belum seluruhnya. Ia menilai manfaatnya jauh lebih besar(6). Tentu saja begitu. Itu namanya monolog.
Bantahan yang tiada hentinya tersebut juga tetap dilakukan oleh Istana, Senayan, dan para buzzer dan para penghamba kekuasaan yang jauh lebih hebat, luar biasa melampaui Istana dan Senayan, padahal, Zainal Arifin Mochtar Guru Besar UGM (Universitas Gajah Mada) telah memperlihatkan dan membacakannya dari Omnibus Law yang setebal 905 halaman, setelah disahkan dan dikirim ke Pemerintah berubah menjadi 812 halaman.
“Ini list cuma sebagian saja, seperti ada 19 pasal yang berubah berkaitan dengan aturan soal BB, awalnya ditulis diatur dengan, diubah menjadi diatur dalam. Ada pasal yang 156, yang kata yang paling banyak dihapus, ini soal pesangon. Ada pasal 88 yang dulu syaratnya 5 ayat itu menjadi 8 ayat. Ada 905 Perda dicabut oleh Presiden lalu kemudian dihilangkan, mengatakan Perda yang tidak mendapatkan register, padahal itu beda-beda banget. Ini praktek legislasi yang ugal-ugalan dan menyebalkan. Tidak bisa seperti ini. Yang namanya pembahasan dan persetujuan itu final dan tidak bisa diubah-ubah lagi, bahkan kalau titik dan komanya saja tidak boleh sebenarnya. Beda dengan Amerika. Kalau Amerika tahapan yang paling menentukan itu di pengesahan karena memang Presiden akan tanda tangan tuh. Kalau kita sistem presidensil itu tahapan yang paling penting adalah dipembahasan dan persetujuan. Setelah persetujuan tidak boleh lagi ada perubahan.” (ILC: Setahun Jokowi-Ma’ruf, 20/10/2020).
Apa yang dilakukan para Kepala Daerah, itu sedang berapologi dalam teater monolog, yang tujuan sesungguhnya melarang demo penolakan, lantas dengan kesopanan semunya harus mengatakan, memberikan masukan ke pemerintah terkait rencana pembentukan PP dan Perpres(13). Bagaimana mungkin untuk masukan pembuatan PP dan Perpres? Bukankah PP dan Perpres itu merupakan turunan dari UU dalam ketatanegaraan kita? Masa iya PP dan Perpres mengatur atau mengenadalikan UU. Bukankah justru jika PP dan Perpres yang menjadi turunan UU tersebut jika berlawanan dengan UU, tidak saja cacat formil tetapi gugur demi hukum? Dalam teater monolog tersebut, sesungguhnya kita tahu bagaimana ending ceritanya.
Mendramatisasi Kepura-puraan
Dalam perubahan tersebut ternyata ada penggelapan pasal, padahal, setelah disahkan, titik dan koma pun tidak dibenarkan dirubah atau dihilangkan, apalagi terjadi tambahan kata atau menghilangan kata, dan itu semua para guru besar dan akademisi yang waras sepakat soal itu. Menindak birokrasi yang brengsek dan memeras (pinjam istilah Rizal Ramli), pasti yang waras sepakat. Memutus kebertele-telean birokrasi, yang masih waras pasti setuju. Sekali lagi, siapapun yang waras pastilah sepakat untuk memangkas birokrasi yang berbelit-belit dan menindak birokrasi yang brengsek. Apologianya bukan diretorikakan, tetapi harus bisa kita baca dalam Omnibus Law itu. Yang kita kritik, koreksi dan kita beri catatan-catatan dan saran-saran tersebut adalah untuk menyempurnakan agar celah dalam Omnibus Law tersebut tidak dimanfaatkan dan tidak menjadi bencana buat bangsa, negara dan segenap tumpah darah di masa datang.
Kalau kita bisa berdialog, kenapa kita turun ke jalan, apalagi merusak fasilitas negara yang notabenenya adalah uang rakyat yang dipakai membangun(3). Sehingga, kita (di Sulsel) ini lebih pada menyelesaikan masalah melalui dialog(4). Pernyataan dan penjelasan tersebut, seolah membuka ruang untuk berdialog, untuk menguji logika dan akal waras. Padahal, yang terjadi kemudian sebagai fakta adalah jika ada yang menolak silakan tempuh ke MK. Jadi keputusannya sudah final. Sesungguhnya ruang sudah dikunci. Logika dan akal waras dicoba untuk dimanipulatif dan dijungkirbalikan, karena ada dua penegasan yang bertentangan.
Apa yang dikatakan itu sesungguhnya hanyalah retorika dan jargon yang dikemas dengan kesantunan semu, kamuflase etika. Jika kemudian harus menyamakan visi atas Omnibus Law, maka bukankah apa yang dilakukan tersebut adalah upaya melakukan brainwashing untuk bagaimana upaya keras agar gelombang protes demo tersebut tidak terus berlangsung, yang bisa berpotensi menjadi kemarahan sosial yang mengancam kejatuhan kekuasaan.
Penjelasan Kepala Daerah seperti itu adalah mengingkari fakta sosial. Ketersumbatan tersebutlah yang kemudian melahirkan ekstra parlementer dengan gelombang demo nasional. Kanal-kanal aspirasi, pikiran-pikiran untuk memberi masukan dan turut ambil bagian dalam melakukan koreksi atas celah-celah yang berpotensi menjadi petaka dan bencana bangsa dan negara di negeri ini disumbat, bahkan terkunci rapat dan digemboknya pula. Ekstra parlementer merupakan pendobrakan terhadap pemerintah atas kelumpuhan melakukan otokritik, bahkan terlihat dengan jelas memang otokritik tidak diperlukan dalam kekuasaannya.
Fakta sosial tersebut bisa kita lihat dan kita dengar berbagai masukan dari kalangan akademisi, intelektual dan civil society yang kritis dan masih waras dengan sedemikian detail disampaikan dan bahkan pada setiap acara televisi dan chanel-chanel youtube yang memperbincangkan Omnibus Law Ciptaker bertubi-tubi disampaikan, dan itu hanya didengar lantas dicampakkan ke tong sampah. Ataukah memang kekuasaan punya keyakinan idiologis, biarkan saja nanti kita lempar tulang belulang, mereka akan berebut. Kekuasaan tampaknya paham betul dengan mentalitas mayoritas bangsa ini, sehingga angin kencang yang bertiup tersebut akan menjadi semilir pada akhirnya. Hal tersebut sehingga bisa menjadi pembenaran seperti apa yang dikatakan Gubernur Jateng itu menjadi tak terbantahkan faktanya; “Tadi perwakilan buruh setelah diskusi bersama juga mengatakan, lho ini undang-undang bagus sekali. Tapi kenapa teman-teman buruh tidak tahu cerita-cerita itu(12).” Sejarah dan waktu yang akan bicara di kemudian hari.
Para guru besar dan akademisi telah membuat pernyataan sikap menolak Omnibus Law itu sebelum dan sesudah disahkan, karena secara akademik telah dilakukan kajian dari berbagai disiplin keilmuan untuk membedah 15 Bab dan 174 pasal, di mana di dalamnya mengatur mengenai ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup. Para guru besar dan akademisi telah memberikan kritik, koreksi dan catatan mulai dari prosedur pembahasan di Baleg hingga pengesahan Omnibus Law dengan draf kosong, tetapi semua itu tidak didengar oleh Istana dan Senayan. Bahkan gelombang demo nasional yang menyuarakan penolakan dan catatan-catatan yang disampaikan melalui orasi pun dianggap anjing menggonggong kafila tetap berlari. Dengan sangat enteng Istana dan Senayan mengatakan, silakan yang menolak untuk melakukan judicial review(13) atau ke Mahkamah Konstitusi. Sikap itu merepresentasikan kearogansian kekuasaan yang mencerminkan budaya politik otoriterianisme bersemayam dalam Istana dan Senayan, bahkan telah memfosil pada para buzzer dan penghamba kekuasaan. Kita bisa dengar melalui kanal-kanal youtube yang diproduksi dan bisa kita baca setiap detik komen-komen bringas di dunia maya, medsos.
Kata “dialog” ternyata sudah tercerabut dari akar definisi dan maknanya, dan dari pengertian sistem komunikasi sebagai penanda logika dan akal waras. Bagaimana mungkin, “kalau kita bisa berdialog, kenapa kita turun ke jalan(3),” yang kemudian faktanya adalah “patut kita apresiasi terlepas dari kelemahan daripada Undang-undang Omnibus Law ini(7).” Kalimat tersebut menunjukkan para Kepala Daerah tersebut tengah berteater dengan memainkan drama monolog dalam adegan dialog. Karena, dialog harus mendengarkan kedua pihak apalagi yang diajak berdialog adalah banyak kalangan atau komponen yang berkepentingan dalam hal terwujudnya UU Omnibus Law yang baik yang membawa hari depan negeri ini. Yang diajak dialog adalah para rektor dan akademisi yang dulunya menggodok para Kepala Daerah dalam Kawah Candradimuka dalam logika dan akal waras keakademikan. Kini menjadi Malin Kundang agent of changes. Melahirkan Brutus Brutus, para Sangkuni dan Dorna Dorna melenial.
Oleh sebab, justru karena Omnibus Law ini banyak kelemahannya, maka para guru besar, akademsi, intelektual dan civil society kritis menyuarakan koreksi dan catatan-catatannya untuk menutup celah yang bisa bisa membawa bencana bagi bangsa, negara dan negeri ini. Bagaimana mungkin kita patut harus memberikan apresiasi, jika akan menjadi bencana dan petaka, dan masih banyak hal yang harus kita pertanyakan demi segenap tumpah darah di masa datang dengan UU Omnibus Law. Sekalipun, akan tetap dikatakan, UU ini manfaatnya jauh lebih besar(6). Banyak hal lain yang memudahkan masyarakat kita. Padahal, kita hanya diperlihatkan ikan-ikan cantik rupa tengah berenang di sebuah aquarium. Ini namanya mendramatisasi kepurapuraan dalam teater monolog.
Dalam krisis kepecayaan, apapun yang dikatakan Pemerintah (Istana) dan Senayan akan selalu disangsikan, dipertanyakan dan memang patut untuk tidak dipercaya. Ingatan kolektif itu yang mengajarkan pada kita, karena produksi hoax dan ke-hoax-kan dalam sejarah kekuasaan kita selalu dipelihara dan diproduksi. Untuk itu, kenapa tidak menjadi pilihan, ini lho naskah akademik, draf RUU dan Omnibus Law yang telah disahkan, silakan para guru besar dan akademisi untuk dikaji dan didiskusikan dengan para mahasiswa, karena kampus (sebagai Kawah Candradimuka Intelektual, ilmiah) dan mahasiswa sebagai agent of changes. Pemerintah menyadari akan ketidaksempurnaan itu. Bukan kemudian dibantah dengan sesuatu yang harus menjadi harga mati, yaitu: 75 tahun merdeka apa ada pemerintah yang dianggap benar? Itu bukan argumentasi akademik yang berbasis logika dan akal waras. Itu argumentasi (kepentingan) politis, di mana keduanya bagaikan minyak dengan air.
Jika prosedur dan prosesnya cacat, mengapa Istana bisa mengatakan: Apa ada pemerintah dianggap benar? Ya memang, Pemerintah harus dianggap tidak benar. Salah satu di antaranya adalah pasal 46 UU Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang sebelumnya tercantum dalam UU Ciptaker setebal 812 halam yang dikirim DPR kepada Presiden pada Rabu, 14/10/2020, belakangan ini pasal tersebut dihapus dari naskah UU Ciptaker setebal 1.187 halaman yang dikirim ke Sekretariat Negara ke sejumlah organisasi masyarakat Islam (Tempo.Co, 24/10/2020.07.10 WIB: Ini Penjelasan Istana).
Begitu juga pasal-pasal yang diperlihatkan Najwa Shihab pada Mata Najwa mengenai perbedaan naskah setebel 812 dengan 905 halaman, dan Zainal Arifin Mochtar Pukat UGM dan para guru besar, dekan dan akademisi yang menyuarakan koreksi, kritik dan catatannya, sampai harus mengatakannya, “Ini sudah merupakan kejahatan legislasi dan praktik buruk ketatanegaraan dalam pembentukan perundang-undangan. Merubah satu ayat pun tidak boleh. Itu semua pencurian pasal.” (Hellena Sousa-ABC News Indonesia, 16/10/2020: Pakar Hukum Tata Negara Herlambang dan Bivitri).
Jika pembuatan UU ini dikatakan bahwa Pemerintah berniat baik dan untuk kepentingan rakyat, dalil-dalil yang dikatakan itu menjadi sangat irasional, menjadi kekacaubalauan rasionalitas dan menjadikan logika dan akal waras tidak berfungsi untuk menakarnya untuk bisa membantah, apakah di negara fasis, totalitarianisme, otoritarianisme dan komunisme, Pemerintah akan mengatakan bahwa kebijakan dan atau UU yang dibuatnya akan dikatakan menyengsarakan rakyat atau menistakan rakyat? Tentu tidak! Pastilah akan mengatakan, ini untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyat, apalagi di negara yang mengkalim dirinya demokrasi atau negara yang sangat demokratis yang berkelit dengan dicirikan adanya perbedaan pendapat dan demo diberbagai daerah untuk menyampaikan pendapat di muka umum..
Dialog dalam dialektika intelektual, pastilah akan menyelesaikan masalah dari persoalan yang dimasalahkan, karena perbedaan pendapat dan perdebatan bisa diuji argumentasi keakademikannya. Akan tetapi, jika masalah yang dialogkan kemudian dimonologkan atau dibuat drama monolog, menjadi keniscayaan tidak akan melahirkan penyelesaian akar masalah, karena target yang harus digolkan adalah menyamakan visi atas Omnibus Law, sehingga jika para guru besar, akademisi, mahasiswa, intelektual dan masyarakat kritis yang tidak menyepakatinya, maka harus disamakan visinya mengikuti kehendak kekuasaan.
Fakta dialog yang sesungguhnya adalah monolog keniscayaannya itu, tidak bisa terbantahkan lagi. Banyak jatuh korban akibat represitas kekuasaan dan brutalisme kekuasaan menjadi fakta sosial berikutnya yang tak bisa terbantahkan juga bahwa memang sesungguhnya itu adalah M-O-N-O-L-O-G, karena yang menolak silakan melakukan judicial review atau ke Mahkamah Konstitusi. Yang demikian, itu sebagai bentuk arogansi kekuasaan dan budaya politik otoritarianisme.
Bagaimana kita bisa membayangkannya, para Kepala Daerah kemudian mengajari para guru besar, akademsi dan intelektual seperti mengajari anak-anak di sekolah taman kanak-kanak. Apakah kita dianggap belum melek? Sekali lagi, berikan saja naskah akademiknya beserta RUU Omnibus Law yang dibahas dan yang telah disahkan kepada para guru besar, akademisi, intelektual, mahasiswa dan masyarakat kritis (civil society), kemudian diminta hasil kajiannya, telaahnya, sarannya, koreksinya, kritiknya dan catatan-catatan lainnya agar Omnibus Law tersebut dikemudian hari tidak menjadi bencana bagi bangsa dan negara, bukan kemudian mengajarinya, karena yang diajari sesungguhnya lebih paham dan lebih mengerti daripada guru yang mengajarinya. Dunia menjadi terbalik. Demi kekuasaan dibolakbaliknya.
Jika kita berdalil memilih dialog, dalam berdialog itu, semua itu harus didialogkan, karena argumentasi-argumentasi itu bisa diuji secara metodologis oleh logika dan akal waras. Biarkan para guru besar dan akademisi mendialektikakannya dengan para Mahasiswa, untuk saling berdebat mempertaruhkan argumentasi akademiknya, ketimbang memanipulatif demokrasi, dengan segala kebohongan dan kepura-puraan dengan mengakatan: membuka ruang dialog dan meminta masukan dari berbagai pihak. Menyerap aspirasi dan masukan dari berbagai pihak. Padahal, Omnibus Law yang disahkan tersebut sudah merupakan harga mati. Politik dan kekuasaan menjadi panglima.
Jika Omnibus Law itu dikatakan baik dan disambut gegap gempita oleh para investor, itu patut untuk kita curigai, karena Omnisbus Law yang masih banyak celah, tentu akan dimanfaatkan oleh para insvestor, sehingga para investor yang menyerbu ke negeri ini bukanlah para investor yang baik, pastilah para investor yang akan merusak negeri ini. Investor yang baik akan sangat tertarik untuk menanamkan investasinya jika peraturan perundang-undangannya baik dan sedikit celah dan celah tersebut bisa terkunci dengan transparansi dan akuntabilitas publik untuk menjamin keamanan dan kenyamanannya dalam berinvestasi.
Bank Dunia juga mengingatkan celah Omnibus Law tersebut dengan mengatakan: RUU Omnibus Law bisa merugikan, terutama Indonesia dalam hal sumber daya alam, pasalnya, merelaksasi persyaratan untuk perlindungan lingkungan yang bisa merusak asset alam, yang saat ini sumber daya banyak masyarakat dan tentu ini berdampak negatif pada investasi (CNBC Indonesia, 9/10/2020: Beri Banyak Catatan, Benarkah Omnibus Law Ditolak Bank Dunia).
“Saya semua ingin pakai data karena ekonomi tanpa pakai data ya bukan ekonomi. Salah satu ciri leadership adalah mampu mendiagnosis masalah. Ini salah diagnosis sudah. Pak Jokowi menurut saya gagal paham. Sebelumnya telah hadir revisi UU KPK yang melemahkan pemberantasan korupsi. Di tengah wabah, dalam waktu singkat keluar revisi UU No 3/2020 tentang Minerba→karpet emas bagi pengusaha batu bara dan sumber daya mineral. UU tentang Mahkamah Konstitusi (revisi) telah disahkan. Perppu No 1/2020 yang kemudian disetujui DPR dan disahkan menjadi UU No 2/2020. Yang dimasukan keranjang sampah untuk semua agenda para oligar. Tentu saja tidak semua. Tapi agenda oligar itu sudah masuk di sini, misalnya, pasal 5 ayat 1 yang menurunkan tarip pajak. Kemudian juga Perppu ini tidak berbicara tentang bagaimana memerangi Covid-buukaan! Jadi ini Perppu bukan UU darurat untuk menghadapi keadaan darurat tapi untuk menghadapi dampak ekonomi. Sejak awal sudah gagal paham. Jokowi dividionya mengatakan di tangan sebelah kiri atau sebelah kanan, saya lupa. Jarinya lima jari gini gini (menunjukkan jari tangannya), meroket. Jadi mengganggap remeh, gitu.
Kalau dari nol saya bikin UU kemudahan berusaha. Jadi kan ini isinya kemudahan berusaha. Kalau bicara kemudahan berusaha, keluarkanlah yang namanya klaster tenaga kerja. Karena bukan kita ingin mengobral tenaga kerja kita. Kita ingin meningkatkan martabat pekerja. Pekerja itu bukan sebagai faktor produksi tapi manusia yang harus dinaikkan martabatnya. Kita, saya tidak akan utak atik Pemda diambil-alih kewenangannya tapi justru saya akan memperkuat Pemda. Sesuai dengan semangat reformasi. Saya akan patuh tunduk dan taat pada perlindungan lingkungan supaya terjadilah keseimbangan antara ekonomi, bisnis dan lingkungan.”(Faisal Basri, ILK: Resesi Ekonomi dan Demokrasi-Faisal Basri & Rocky Gerung, 25/10/2020: Jokowi Gagal Paham).
Rizal Ramli menstabilo bahwa Omnibus Law memanjakan investor. Semua ekonom yang waras angkat bicara. Para ahli hukum tata negara juga bicara, dan para akademisi, intelektual dan civil society yang kritis juga terpanggil nuraninya untuk berkata dan bicara. Logika dan akal waras yang waras-waras semua mengatakannya hal yang serupa. Tapi, Istana tetap membantah dengan mengatakannya, 75 tahun merdeka apa ada Pemerintah yang dianggap benar? Sungguh menggelikan, bukan? Kendatipun begitu, kita akan tetap “Waithing for Godot.” Menanti cayaha di kegelapan lorong-lorong. ***
*)Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com