Jakarta, Demokratis
Nelayan Kampung Muara Dadap yang menolak reklamasi ditahan penyidik, dibebaskan hakim PN Utara, didakwa kembali dengan pasal yang sama, menanti putusan ternyata sidang ditunda hakim dengan alasan tidak wajar.
Dengan alasannya yang tidak wajar, hakim ketua menunda pembacaan putusan sidang nelayan tolak reklamasi. Dia menjelaskan bahwa dua hakim, sedang ada sidang lingkungan dan hakim ketua mengatakan putusan sudah selesai dibuat hanya tinggal dibacakan, dan mengatakan bahwa hakim tidak akan menzolimin putusan terhadap nelayan, dan putusan akan dibacakan, Selasa (24/11/2020) dan tidak perlu memobilisi massa karena pandemi Covid-19.
Penasehat hukum mengatakan kepada hakim ketua bahwa massa yang hadir hari ini bukanlah dimobilisi oleh penasehat hukum atau siapapun, tetapi massa yang hadir adalah rakyat nelayan Dadap, pemuda, mahasiswa yang sadar akan kondisi hukum hari ini yang dimana tidak adanya keberpihakan pada rakyat, terkhususnya nelayan yang tinggal di pesisir laut, atas proyek reklamasi yang meninggalkan persoalan-persoalan yang sangat menyakitkan, baik mata pencarian nelayan, rusaknya lingkungan, dan dipidananya dua nelayan oleh pengembang.
“Kita akan mengikuti apa yang menjadi keputusan hakim sidang Selasa depan, dan tidak menjamin masyarakat yang hadir untuk menyaksikan putusan akan semangkin besar,” ungkap Pius Situmorang tim SPHP.
Kasus bermula saat Ade dan Alwi melakukan berbagai aksi menolak reklamasi pantai Jakarta pada 11 Desember 2017. Ade dan Alwi bersama para nelayan mendatangi kapal tongkang Batu Merah yang sedang melakukan reklamasi. Mereka kemudian naik ke kapal tongkang dan memerintahkan kapal itu menyudahi aktivitasnya.
Dari kapal tongkang Batu Merah, mereka berpindah ke kapal tongkang Hay Yin 16. Ade dan Alwi bersama kawan-kawannya kembali meminta nakhoda menyudahi aktivitas reklamasi. Mereka beralasan reklamasi itu mengakibatkan tambak budidaya kerang hijau nelayan rusak. Tidak hanya itu, nelayan belum mendapat ganti rugi atas rusaknya rambak mereka. Aksi ini tidak diterima oleh pemilik kapal. Keduanya dipolisikan.
Ade dan Alwi akhirnya ditahan sejak 13 November 2019. Keduanya didakwa melanggar Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan.
“Bahwa akibat perbuatan terdakwa Ade Sukanda dan Muhammad Alwi, saksi korban merasa ketakutan karena mendapat ancaman kekerasan maupun perbuatan yang tidak menyenangkan, sehingga kapal tongkang Batu Merah dan kapal Hai Yin-16 mulai dari Bulan Desember 2017 sampai dengan sekarang tidak bisa beroperasi dalam pengerjaan pengerukan pasil di pesisir laut Jakarta Utara,” bunyi dakwaan jaksa.
Dua nelayan Jakarta, Ade Sukanda dan Muhammad Alwi, yang menolak reklamasi Jakarta akhirnya dibebaskan Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut). Selidik punya selidik, frase ‘perbuatan tidak menyenangkan’ dalam Pasal 335 ayat (1) KUHP sudah dihapus Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis hakim nilai jaksa menggunakan pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu Pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan. Alhasil, PN Jakut melepaskan Ade dan Alwi.
“Surat dakwaan JPU dalam perkara terdakwa Ade Sukanda dan Muhammad Alwi (nelayan) dinyatakan batal demi hukum oleh majelis hakim PN Jakut, karena dalam dakwaannya yaitu pasal 335 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) KUHP, JPU masih menggunakan rumusan unsur pasal 335 ayat (1) yang telah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK,” kata Humas PN Jakut, Djuyamto.
Putusan sela itu diketok pada Senin (3/2) siang. Duduk sebagai ketua majelis Djuyamto dengan anggota Taufan Mandala dan Agus Darwanta. Atas putusan sela itu, maka Ade dan Alwi langsung bisa menghirup udara bebas.
Atas putusan sela tersebut, ternyata jaksa penuntut umum masih belum puas, sehingga Alwi dan Ade belum sepenuhnya bebas. Setelah persidangan pertama putusan sela bebas, Jaksa Penuntut Umum kembali meminta untuk diadakan sidang ulang dengan dakwaan yang sama, walaupun sudah diajukan keberatan, namun hakim meminta untuk dapat dilanjutkan saja, sehingga sidang dengan dakwan kedua kali memasuki babak baru pembacaan putusan. (Albert S)