Jakarta, Demokratis
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang dipimpin oleh Dodong SH MH didampingi Hakim anggota Ponto SH MH Riayato dan Sarwono SH MH, menjatuhkan vonis lima bulan penjara terhadap nelayan Kampung Baru Dadap, Tangerang, Muhammad Alwi.
Alwi disebut terbukti melanggar Pasal 335 ayat 1 ke-1 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. Putusan ini lebih rendah dibanding tuntutan jaksa yang menghukum Alwi dengan pidana penjara 10 bulan.
“Putusan hakim PN Utara terbukti, diputus lima bulan (penjara),” kata penasihat hukum Alwi, Pius Situmorang, Selasa (24/11).
PN Jakarta Utara memvonis nelayan Kampung Baru Dadap, Muhammad Alwi, pemrotes pengerukan pasir pembangunan jembatan penghubung pulau reklamasi, yang merusak lingkungan, merusak ternak nelayan budidaya kerang hijau, yang laut adalah merupakan tempat mata pencarian nelayan tradisional.
Atas vonis tersebut, Pius menyatakan pihaknya langsung mengajukan upaya banding. Ia berpendapat putusan hakim tidak mencerminkan rasa keadilan terhadap masyarakat, terutama bagi nelayan.
“Hakim tidak begitu mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang terungkap selama proses persidangan. Dan bahwa tim advokasi SPHP tetap menghormati apa yang menjadi putusan hakim, walaupun putusan tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat nelayan,” jelas Pius.
“Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, harus memberikan perhatian terhadap kasus ini di tingkat banding, bila memang nanti ada kekeliruan hakim dalam memvonis nelayan bersalah, maka kita akan melaporkannya. Presiden juga harus segera mengintervensi kasus ini, tidak lagi berlindung di balik normatif, ketika rakyat kecil dihadapkan dengan persolan hukum dengan korporasi raksasa,” pungkas Pius.
Kasus bermula saat Ade dan Alwi melakukan berbagai aksi menolak reklamasi pantai Jakarta pada 11 Desember 2017. Ade dan Alwi bersama para nelayan mendatangi kapal tongkang Batu Merah yang sedang melakukan reklamasi. Mereka kemudian naik ke kapal tongkang dan memerintahkan kapal itu menyudahi aktivitasnya.
Dari kapal tongkang Batu Merah, mereka berpindah ke kapal tongkang Hay Yin 16. Ade dan Alwi bersama kawan-kawannya kembali meminta nakhoda menyudahi aktivitas reklamasi. Mereka beralasan reklamasi itu mengakibatkan tambak budidaya kerang hijau nelayan rusak. Tidak hanya itu, nelayan belum mendapat ganti rugi atas rusaknya tambak mereka. Aksi ini tidak diterima oleh pemilik kapal. Keduanya dipolisikan.
Ade dan Alwi akhirnya ditahan sejak 13 November 2019. Keduanya didakwa melanggar Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan.
Dua nelayan Jakarta, Ade Sukanda dan Muhammad Alwi, yang menolak reklamasi Jakarta akhirnya dibebaskan Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut). Selidik punya selidik, frase ‘perbuatan tidak menyenangkan’ dalam Pasal 335 ayat (1) KUHP sudah dihapus Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis hakim nilai jaksa menggunakan pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu Pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan. Alhasil, PN Jakut melepaskan Ade dan Alwi.
“Surat Dakwaan JPU dalam perkara Terdakwa Ade Sukanda dan Muhammad Alwi (nelayan) dinyatakan batal demi hukum oleh Majelis Hakim PN Jakut, karena dalam dakwaannya yaitu pasal 335 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) KUHP, JPU masih menggunakan rumusan unsur pasal 335 ayat (1) yang telah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK,” kata Humas PN Jakut, Djuyamto.
Putusan sela itu diketok pada Senin (3/2) siang. Duduk sebagai ketua majelis Djuyamto dengan anggota Taufan Mandala dan Agus Darwanta. Atas putusan sela itu, maka Ade dan Alwi langsung bisa menghirup udara bebas.
Atas putusan sela tersebut, ternyata jaksa penuntut umum masih belum puas, sehingga Alwi dan Ade belum sepenuhnya bebas. Setelah persidangan pertama putusan sela bebas, Jaksa Penuntut Umum kembali meminta untuk diadakan sidang ulang dengan dakwaan yang sama, walaupun sudah diajukan keberatan. (Alber S)