Madina, Demokratis
Sejumlah tokoh masyarakat di Muarasoma ancam akan laporkan pengusaha perusak lingkungan hidup ke Jakarta yang terus berjalan sudah hampir 3 bulan terakhir. Sehingga Tomas wajar mulai curiga kepada petugas kepolisian di Resort Mandailing Natal terkait dengan maraknya tambang emas beroperasi tanpa memiliki dokumen sah dari pemerintah alias ilegal demi untuk mencari untung sebanyak-banyaknya dan merusak sepadan sungai, sehingga alur sungai Sisoma di Tano Bato, Kampung Teleng, dan di belakang rumah Damri Kelurahan Muara Soma, Kecamatan Batang Natal menjadi menyempit.
“Curiganya tokoh masyarakat dan warga kepada kepolisian, karena ada dugaan pihak kepolisian dapat “setoran” atau “stabil” atau apapun namanya dari pengusaha tambang ilegal tersebut, bisa diperkirakan dalam sebulan saja bisa dirata-ratakan mendapat sekitar 2 – 3 Kg emas dalam satu lokasi. Konon lagi di sepanjang sungai Aek Sisoma ada 5 lokasi lebih,” tutur Tohir Nst didampingi M Hasibuan kepada Demokratis (20/09).
Mereka mengatakan, pelaku/pengusaha tambang emas yang diduga ilegal dan pihak yang membeking atau pihak yang terlibat di dalam pengrusakan lingkungan hidup dan AMDAL maupun DAS, sehingga alur sungai Aek Sisoma menjadi rusak dan dan sungai Batang Natal menjadi tercemar, akan dilaporkan ke Menteri Lingkungan Hidup dan instansi terkait. “Dan kami telah didukung sejumlah LSM Lingkungan Hidup,” tegasnya.
Sumber dari warga sekitar pinggiran Aek Sisoma menegaskan lahan atau lokasi yang dibuat lokasi tambang adalah I, R Rkt, Alm HAR, T Nst dan lain–lain. Sehingga dimohon kepada Kapolres menghentikan kegiatan tambang emas ilegal. Dan di bulan Februari 2017 lalu, ada tambang emas ilegal di lapangan bola belakang Masjid Raya Muarasoma yang dikelola T Nst namun saat itu yang bekerja adalah masyarakat sekitar hingga menelan pekerja 150 orang dengan bekerja 2 sip, namun saat ini berbeda yang bekerja adalah dari desa lain dan orang dekat yang punya lahan sebanyak sekitar 15 pekerja.
“Jadi bohong kalau dikatakan tambang emas (galaian A) di sepanjang sungai Sisoma adalah tambang yang mengatasnamakan masyarakat atau rakyat,” kata mereka.
“Miliaran rupiah disedot pengusaha tambang ilegal untuk kepentingan pribadi dan merusak Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Daerah Aliran Sungai (DAS). Kalau pihak pemerintah dan instansi terkait seperti pihak kepolisian tidak tegas menghentikan tambang emas ilegal tersebut tak lama kemudian jika hujan datang dan debit air sungai Sisoma meluap, maka akan terulang kembali seperti banjir bandang di tahun 2018 lalu yang menelan korban di Desa Jambur Baru, Muara Parlampungan dan Rantobi yang menghanyutkan 32 rumah warga. Saat itu Sungai Aek Sisoma meluap,” tegas Mangudut Hutagalung salah satu Aktifis NGO Lippan Sumut.
Lain halnya dengan U Nauli H SH Ketua LSM Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA), mengatakan bahwa Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 14 : Instrumen Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup terdiri atas antara lain: a. KLHS. b. Tata Ruang. c. Baku Mutu Lingkungan Hidup. d. Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup. e. AMDAL/UKL-UPL. f. Izin Lingkungan. Kemudian tentang terhadap pihak pengrusak LH sesuai dengan definisi pencemaran lingkungan, maka jika suatu usaha dan/atau kegiatan melanggar baku mutu air, baku mutu air laut dan baku mutu udara ambien dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun atau dengan denda palingsedikit Rp 3 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.
“Kami meminta kepada aparat Kepolisian Sumatera Utara segera turun tangan dan supaya menyetop pengoperasian beberapa alat berat (beko) dan dompeng di sepanjang sungai Sisoma dan sungai Batang Natal, karena pengusaha tambang telah merusak AMDAL. Sungai Batang Natal sebagai induk sungai Aek Sisoma telah tercemar dan berubah warna, bahkan perkembangan ikan di sungai pun menjadi terhambat,” pungkasannya. (M Lbs)