Indramayu, Demokratis
Gencarnya pemberitaan Korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh para oknum pejabat desa dengan berbagai judul, diantaranya, “Skandal Dugaan Kasus Korupsi Desa Pekandangan”, “Inspektorat Bermain Mata Terhadap Semua Kasus Korupsi Didesa”, “Tugas Inspektorat Diduga Hanya Membuat Apologi”, “Pelapor Prihatin Kepada APH Di Indramayu, Karena Lamban Memproses Kasus Korupsi”, dan kemudian berita tersebut dicetak pada koran dwi mingguan Surat Kabar Umum (SKU) Demokratis, serta ditayangkan pada portal berita resmi media demokratis.co.id yang sebelumnya telah di uraikan dengan benderang.
Bahwa telah memiliki cukup dua alat bukti hukum perihal adanya pelaporan oleh sejumlah masyarakat desa setempat dengan dugaan kasus tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh oknum Kuwu (Kepala Desa) yang ada di ruang lingkup Pemerintahan Desa (Pemdes) Pekandangan, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, hingga pada saat ini Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang berada di lembaga Inspektorat sama sekali belum melakukan untuk melaksanakan pemeriksaan terhadap oknum Kuwu lebih lanjut.
Diketahui bahwa Kepala Desa atau Kuwu MM selama ini diduga kuat telah melakukan operandi berupa tindak pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dengan menyalahgunakan wewenang semenjak menjabat sebagai Kuwu hingga pada tahun 2021. Laporan resmi dengan bukti foto maupun data-data kegiatan yang terlampir dari warga desa pada saat itu telah diserahkan dan diterima langsung kepada Aparat Penegak Hukum (APH) Kejaksaan Negeri (Kejari) diruang lingkup Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Indramayu, adapun yang menjadi temuan atau dilaporkan diantaranya yaitu, penggelapan anggaran dengan total nilai Rp 538.853.000 (lima ratus tiga puluh delapan delapan ratus lima puluh tiga ribu rupiah).
Kemudian ada kekurangan hak-hak beberapa pamong desa yang dahulu pernah menjabat, berupa tanah garapan dengan luas ± 8.770 meter persegi, lalu sebidang tanah “titisara” atau pun tanah “bengkok” ada pada data dan yang tidak diberikan hingga saat ini, selanjutnya pelaksanaan kegiatan berupa pemberdayaan, pembangunan fisik pekerjaan, serta pengadaan barang dan jasa dengan total jumlah 18 jenis item kegiatan yang diduga telah di manipulatif oleh MM selaku Kuwu dan beserta jajaran pamong desa yang sekarang ini turut serta dalam melakukan KKN.
Sesungguhnya, jika pihak-pihak atau lembaga instansi terkait yang ada diruang lingkup Pemkab Indramayu begitu teliti, serta serius, kemudian bertanggung jawab penuh untuk berupaya dalam penanganan pencegahan, pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan memberikan sanksi yang tegas berupa hukumanan sebagaimana yang tertulis di Undang-undang (UU) serta bunyi pasal yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dengan metode pendalaman tahap penyidikan pada saat melakukan tugas dan ketika ada temuan sejumlah kasus-kasus atas laporan dari masyarakat dengan dugaan tindak pidana korupsi yang telah ditemukan, tentunya Negara tak akan mengalami kerugian dalam memberikan anggaran ke seluruh desa di tanah air dengan nilai puluhan juta, ratusan juta bahkan bisa mencapai miliaran rupiah.
Angka yang terbilang cukup fantastis tersebut dapat diselamatkan, jika benar demikian bahwa kinerja sejumlah lembaga atau unsur APH yang terkait dengan sungguh-sungguh pada saat melaksanakan maupun menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara bersih, akuntabel, transparan, dan profesionalitas.
Modus Kuwu dalam melaksanakan fungsinya sebagai pejabat nomor satu di desa terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi Anggaran Dana Desa (ADD) dan Dana Desa dengan anggaran (DD) pada Tahun Anggaran (TA) 2018 hingga dilakukan pada TA 2020 di bidang pemberdayaan masyarakat desa. Diantaranya, [1]. Kegiatan pemberdayaan fiktif, yaitu membuat DLPA kegiatan pemberdayaan fiktif yang sesungguhnya tidak ada kegiatan pemberdayaan apa pun yang dilakukan.
[2]. Membuat Rencana Anggaran Belanja (RAB), dengan nominal besar dengan Standar Harga Barang dan Jasa tertinggi atau mencapai maksimal, [3]. Belanja Barang dengan harga rendah, Namun, nota belanja dibuat sama sebagaimana yang tercantum di dalam RAB, [4]. Mengurangi kualitas, ukuran, jumlah barang, tetapi nota belanja dibuat sama sebagaimana yang tercantum didalam RAB, [5]. Belanja Jasa (honor) rendah, namun dalam Surat Pertanggung Jawaban Belanja (SPTJB), upah dan honor dibuat sama sebagaimana yang telah tercantum didalam RAB, [6]. Lalu adanya rekanan fiktif, abal-abal atau diduga manipulatif, [7]. Kemudian pihak pemdes membuat DLPA yang nilai belanja barang dan jasanya sama persis dengan RAB yang ada didalam DPA. Artinya dibuat kemudian dan langsung habis.
Pada Kamis (10/12/2020), Demokratis telah melakukan konfirmasi kepada Sri Hendriyani selaku ketua tim Bidang Investigasi di lembaga Inspektorat Indramayu, selain menanyakan proses tahapan penyidikan, tingkatan status, dan upaya apa saja yang telah dilakukan dari pihak inspektorat terkait dugaan kasus korupsi di desa Pekandangan yang telah di laporkan oleh sejumlah warganya. Pihaknya mengatakan, bahwa kasus tersebut Inspektorat belum bisa melakukan pemeriksaan, mengingat banyak kasus Tipikor dan laporan masyarakat yang diterima Inspektorat pada tahun 2020 ini.
“Terkait Desa Pekandangan, kami saat ini belum bisa melakukan pelaksanaan pemeriksaan, karena ada beberapa dari kasus-kasus lain yang masih kami proses. Kemudian di akhir tahun seperti ini, dengan banyaknya jumlah desa, kami belum bisa memenuhi, mungkin akan kami programkan di tahun 2021,” ujar Sri sebagai ketua Tim IV Investigasi.
Kemudian terang Sri lagi, “kami sudah bicarakan dengan pimpinan, jika tidak memungkinkan untuk di tahun ini, kami sudah plot aduan-aduan yang masuk pada tahun 2020, yang belum terakomodir akan kami lakukan pemeriksaan di Tahun 2021. Lalu lanjutnya, “kami juga sudah menginventarisir adapun waktu pelaksanaan, menunggu schedule dari kami, atas seizin pimpinan. Walaupun disposisi kasusnya banyak, kami juga harus bisa memilah mana yang skala prioritas. Misalnya, kasus yang sudah lama atau dalam kondisi jabatan Kuwu yang sebentar lagi akan ganti, maka bisa kami jadikan skala prioritas”.
Diakui Sri kemudian bahwa, “kami belum melakukan gerak apa pun, kami melangkah itu berdasarkan surat tugas, kami tak berani bergerak tanpa adanya surat tugas. Kami mencoba komunikasi dengan pimpinan, pimpinan akan berdiskusi atas kesiapan waktu kita untuk melaksanakan pemeriksaan. Hal itu mengingat kepala inspektur baru pensiun kemarin, dan akan melakukan perombakan untuk pelaksana tugas (Plt) Kepala Inspektur yang baru”.
Terakhir Sri menjelaskan, “sejauh ini inspektorat belum ada terima surat dari Kejaksaan Negeri. Jika kaitan menyurati, saya lupa, soalnya saya juga banyak dokumen yang masuk, nanti coba saya cek surat keluarnya, karena banyaknya surat keluar, tidak mungkin hanya satu surat. Pengaduan masyarakat kasus tipikor, kaitan dengan desa oleh inspektorat kepada tim investigasi yang diterima dalam rentang waktu tahun 2020 tidak begitu banyak. Kurang lebih 10 pengaduan masyarakat (Dumas) antara kejaksaan (APH) dan Tipikor”.
“Adapun perihal hasil temuan oleh lembaga inspektorat berupa mal-administrasi, ada pada sektoral atau humas, dan temuan atau laporan yang masuk, langsung di tindaklanjuti oleh tim. Jika sekarang di tindaklanjuti maka selesai. Kasusnya tidak naik lagi, dan tidak diberikan penugasan baru lagi. Hukumnya dianggap sudah clear dan selesai. Duit kerugian negara dikembalikan ke rekening kas desa untuk di pergunakan kembali,” ujar Sri.
Dalam kritiknya, O’ushj Dialambaqa sebagai direktur PKSPD (11/12/2020), menerangkan, bahwa alibi dan apologi yang dijelaskan oleh Sri, mencerminkan bahwa Inspektorat tidak mempunyai schedule dan running time yang terstruktur dan skematis dalam agenda auditnya.
Padahal diakui banyak laporan atau pengaduan kasus tipikor. Jika memang kinerja Inspektorat profesional dan skematis dalam sistem kerja audit atau pengawasan, justru menempatkan skala prioritas tindak lanjut dengan banyaknya laporan kasus tipikor. Karena korupsi adalah extra ordinary crime.
Menurut O’ushj, seharusnya Inspektorat malu jika masih punya kemaluan, karena pada saat melakukan audit di pemerintahan desa, seperti yang ada di desa Pekandangan dan desa-desa lainnya, para auditor atau APIP dan P2UPD tidak pernah menemukan kasus dengan hasil investigasi sendiri atau tidak ada melakukan temuan, selalu laporan hasil auditnya mulus-mulus saja.
Akan tetapi bila muncul kasus tipikornya, setelah Inspektorat menyatakan beres tak ada masalah, kemudian temuan yang dibongkar oleh masyarakatnya sendiri. Ini potret nyata paradoksal perselingkuhan para auditor Inspektorat dengan Kuwu. Atau ini yang disebut jeruk makan jeruk.
Lanjut O’ushj, jika Inspektorat dan terutama para auditornya bersistem kerja dan kinerjanya seperti itu, maka sesungguhnya setiap desa diduga telah terjadi korupsi sangat jor-joran. Namun, ada masyarakat yang peduli dan ada masyarakat yang masa bodo amat. Begitu juga yang terjadi di semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), ada korupsi tetapi, selalu tidak ada temuan dari para auditor Inspektorat maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Namun faktanya, peristiwa itu dianggap mulus-mulus saja. Apalagi soal pemeriksaan korupsi di desa-desa, dimana para auditor atau Inspektoratnya berasumsi bahwa masyarakat desa adalah orang awam yang tidak mengerti akan aturan maupun regulasi. Sehingga terjadi kelakuan jeruk makan jeruk tersebut terus berlangsung dengan aman dan nyaman.
Sementara itu keterangan dari salah satu sumber yang berada di Kejaksaan Negeri (12/12/2020) Indramayu menjelaskan, terkait pelaporan, kejaksaan sudah turun ke lapangan, serta sesuai ketentuan telah meminta dilakukan audit terhadap desa pekandangan. Demikian keterangan singkat yang didapat dari Demokratis. (RT)