Narasi cebong dan kampret yang digunakan sebagai simbol pendukung pemerintah dan oposisi telah membuat suasana perpolitikan sekarang nyaris menjadi kacau. Akal logis tak dapat lagi berfungsi menjelaskannya. Sehingga simpulan sementaranya amburadul dan mencekam. Mengingat pemerintah dan oposisi telah bersatu.
Realitas ini dipertegas dengan pelantikan kabinet dengan diangkatnya Menteri yang baru Sandiaga Uno menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang didahului oleh Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan. Mana ada lagi oposisi kalau sudah menjadi satu. Tidak ada perbedaan antah dan beras.
Pertanyaannya bukankah demokrasi sejatinya harus ada perbedaan ibarat antara mana antah dan beras alias yang inti dan kulit, yang baik dan buruk? Kalau bercampur baik dan buruk berarti bukan demokrasi lagi. Tidak ada check and balances, dan kita boleh mengucapkan selamat tinggal demokrasi.
Ada baiknya memang kita belajar dari sejarah untuk mengambil kriteria nilai dijadikan asas menuju masa depan. Kita ambil saja nilai persatuan dari nasional. Persatuan mudah kita ikat dalam simbol-simbol kita bersatu. Tapi tetap saja kebenaran dan nilai harus ditegakkan.
Bung Tomo dalam peristiwa 10 November 1945 meneriakkan takbir Allahu Akbar dalam melawan sekutu memobilisir Arek Surabaya. Hasilnya kita mencapai sukses. Kita bersatu padu.
Simbol lain adalah teriakan merdeka. Menjadi kata sakti perjuangan dalam hidup atau mati mencapai Indonesia merdeka. Luar biasa, simbolik sakti suksesnya persatuan bangsa Indonesia.
Sejarah identik sebatang pohon sosial yang tumbuh dan berkembang. Salah satunya teriakan yel merdeka dan takbir nilainya berubah dari yang dulu. Mengalami reduksi yang harus dibaca dengan teliti. Nilai sakti yang berbeda.
Mungkin berubah sebab variabel yang menyertainya maupun asas dan tujuannya.
Thamry (Arab Hisrory, 1970) mengatakan sejarah selalu rusak di tujuan (destructive destination). Tujuan yang baik tidak selalu mencapai hasil terbaik.
Dari ucapan itu dipahamkan pohon sosial itu tidak selalu berbuah sama dengan pokok bibitnya. Jeruk yang bibitnya manis dari asal pohon induknya, tapi berbuah asam. Berbeda sekali. Terjadi realitas perubahan.
Ini sejalan dengan temuan pemelitian Salim Said sejarah itu fragmented. Memunculkan episode  keadaan berbasis aktualitas masyarakat. Lain dulu, lain sekarang.
Fragmented sejarah tidak selalu lurus, melainkan potongan episode yang terpisah. Makanya pemerintah dan oposisi bersatu harus dimaknai khusus, mana pemerintah, yang mana oposisi. Mana pengaruh lebih dominan, dan itulah yang menentukan.
Apakah pemerintah mendominasi oposisi atau oposisi yang mempengaruhi pemerintah. Mengingat jika pemerintah kuat, akan berjalan sendiri, tanpa perlu mengajak oposisi. Sebaliknya oposisi kuat tidak ada relevannya untuk bergabung.
Fenomena ini yang mesti dilihat kedepannya. Terobosan apa yang akan terjadi. Entahlah. Tiada sesiapa yang tahu. Harus kita tunggu.
Yang jelas semuanya telah bergabung. Tiada lagi pembeda, tiada unsur kontrol check and balanced. Mana hitam dan putih. Mana yang antah, mana yang beras.
Jakarta, 26 Desember 2020