Oleh DR Mas ud HMN
Kerusuhan Papua yang dipicu unsur disintegrasi wilayah, seperti tuntutan Papua merdeka berpisah dengan Indonesia. Yang di pihak lain ada demonstrasi di Jakarta serta kota lainnya menentang pengesahan Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain sebagainya adalah masalah yang beruntun.
Terhadap UU KPK Presiden sudah merespon akan membuat Peraturan Presiden (Perpu). Sementara yang lain akan dibahas berkelanjutan secara mendalam dengan parlemen yang baru. Itu lah tanggapan Presiden Jokowi.
Sementara tuntutan Papua diadopsi oleh Jakarta tidak mempertimbangkan Papua merdeka, namun mengganti dengan janji akan memberi kesempatan Papua di bawah pemerintah RI dengan respon positif, tentang pembangunan, keuangan daerah, dan perlindungan hukum yang adil. Tegasnya tuntutan merdeka ditolak.
Dari dua masalah tuntutan, yang pada intinya (1) soal revisi UU dan (2) tentang Papua merdeka, pemerintah Jakarta sudah menjelaskan sikapnya. Yang intinya Papua merdeka yang ditolak. Sementara lainnya diterima.
Namun, gayung tidak bersambut dengan baik. Persoalan demonstrasi tidak ada titik temu dan soal Papua juga harapan hampa alias tidak terkabul.
Bagaimanapun, sekarang ini saat masalah datang silih berganti, beban menjadi berat. Ini membawa risau, galau. Muncul khawatir yang berlarut. Pada tingkat kritis menjurus pada putus asa. Meminjam sebait lagu penyanyi Mansyur S, asal Betawi. Yaitu hampir saja, hampir saja putus asa bunuh diri. Namun penyanyi dangdut bersuara serak ini bangkit dengan, kalau kau tak menemui diriku.
Secara abstrak adanya galau yang menjurus putus asa dan bunuh diri hanya bisa dihentikan oleh munculnya si dia menemui dirinya yang galau. Sang kekasih lah yang bisa meredam galau dan risau, bahkan lebih dari itu menghapus keputusasaan. Alangkah luar biasanya sang kekasih (akan) bunuh diri kalau kau tak menemui diriku. Menyelamatkan, menenangkan kalbu yang dirundung nestafa.
Adakah rusuh pribadi dalam konteks wujud eksposisi yang diajukan Mansyur S, dapat selaras dengan rusuh bangsa, kekhawatiran negara saat ini. Pertanyaan ini memerlukan jawaban, bisa atau tidak bisa. Tapi perlu penjelasan. Saya kira tidak bisa disamakan dengan sekurangnya dengan dua alasan. Yaitu, inividu dapat saja irrasional dengan masalahnya, tetapi negara atau bangsa sebagai institusi mesti rasional. Tidak mungkin irrasional.
Dalam perspektif rasional, negara sudah selayaknya menggunakan saran dan unsur kenegaraan lebih maksimal. Itu berarti juga adil meletakkan wawasan rasional ini. Jangan untuk soal Papua ekstra serius, sementara soal demontrasi kota lainnya dengan setengah hati. Alias abaikan prosedur hukum. Mengingat hal ini berdampak dua hal:
Pertama, Papua lepas dari wilyah RI. Tentu tidak kita inginkan, dan hal yang berbahaya. Hanya harus diingat betul oleh Presiden Jokowi dengan administrasi pemerintahan, di Perserikatan Bangsa-Bangsa persoalan ini bergulir. Bisa saja intervensi internasional mendukung tuntutan pemisahan Papua menjadi Papua merdeka.
Kedua, demonstrasi Jakarta dan kota lainnya dapat membatalkan pelantikan Presiden Jokowi 20 Oktober mendatang. Intinya siapa yang bisa menjamin penguasaan perlemen di Senayan. Tanpa menguasai Perlemen Senayan, Jokowi bisa gagal dilantik.
Dari dua paparan ini kuncinya ada pada Presiden Jokowi. Faktor apa menjadi penyelamat atau siapa dapat memberi garansi atau jaminan dapat membendung Papua merdeka dan menyelesaikan demonstrasi. Berhasil dua masalah itu sukses besar Presiden Jokowi. Tapi bagaimana satu gagal? Kalau gagal pada menyelesaikan Papua, Presiden Jokowi adalah Presiden kehilangan wilayah tanpa Republik Indonesia yang utuh. Kalau gagal di Senayan, ia tidak bisa dilantik menjadi Presiden RI yang resmi. Kita beharap semua berjalan lancar. ***