Sabtu, November 23, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Modal Sosial

Adanya soal utang yang terus bertambah, sementara pendapatan semakin rendah dari ekonomi kita memunculkan krisis. Membayar utang dan bunga. Utang pokok tak terbayar. Lalu bunga berbunga. Terus demikian. Apa kabar negara kita, tidakkah ada model pembangunan yang lain?

Prancis Fukuyama seorang ahli sosial futuristik menyatakan bahwa tersedia tiga modal untuk pembangunan satu bangsa. Yaitu, kapital berupa modal uang, modal sumber daya alam berupa mineral, atau minyak bumi dan gas, serta modal sosial atau trust berupa kepercayaan. Pendapat Fukuyama muncul era tahun sembilan puluhan namun pemikiran futuristik Amerika keturunan Jepang itu sampai saat ini masih relevan.

Fakta otentiknya ada negara yang berhasil mengejewantahkan konsep itu di negaranya, dan mampu bersaing dengan negara yang memiliki kapital uang dan sumber daya alam. Itulah kemudian maka pembangunan dengan modal sosial atau trust tersebut releven. Karena itu tak ada alasan untuk berkecil hati bagi rakyat sebuah negara, meski tak punya uang dan sumber daya alam.

Gagasan itu dikembangkan dalam bukunya Last Man On The End of History, 1992 tentang liberasi ekonomi dan bukunya kedua The Trust, 1997 mengangkat gagasan modal sosial.

Singapura mungkin sebuah contoh sukses berbasiskan modal sosial. Negara itu awalnya tidak punya kapital uang, dan tak juga punya sumber daya alam. Tapi Singapura membangun sumber daya manusianya dengan etos kerja yang baik dan mengembangkan modal sosial serta kepercayan pihak luar. Banyak orang dari luar menanamkan modalnya di sana. Negara yang dulunya bernama Tumasik menjadi negara maju di Asia Tenggara.

Bagaimana Indonesia? Adakah konsep itu punya kesesuaian dengan Indonesia. Kalau bisa, bagaimana menerapkannya? Mari kita coba mendiskusikan lebih lanjut sebagai berikut:

Pertama, kita harus mengatakan Indonesia punya potensi cukup. Kita punya sumber daya alam, tambang mineral, lalu gas dan laut serta pertanian. Jadi, pada posisi itu berada pada level lumayan. Tidak miskin amat.

Sehingga untuk membangun negara kedepan, bisa mengandalkan sumber daya alam tersebut. Kekayaan perut bumi, minyak dan gas serta pertanian dan kelautan, cukup untuk dijadikan modal membangun. Hanya modal itu harus diolah lagi.

Kedua, tentang kapital uang memang tidak punya. Artinya, modal dalam bentuk uang Indonesia terus terang harus menyatakan tidak punya.

Ketiga, modal sosial berbasis komunitas, kepercayaan, Indonesia punya. Sumber daya manusia  berupa penduduk Indonesia cukup. Tinggal peningkatan kualitasnya.

Jadi, dari tiga faktor, yakni: sumber daya alam, sumber daya manusia Indonesia punya potensi cukup. Hanya modal atau kapital uang saja Indonesia tidak memilikinya.

Jadi esensi futuristik Fukuyama dengan pembangunan di atas nampaknya bisa relevan digunakan untuk Indonesia. Ada kesesuaian dan mungkin untuk diterapkan di negara kita. Yaitu modal sosial.

Pengembangan modal sosial atau trust dapat dimulai dengan pembangunan senergi komunitas. Untuk kemudiannya membuat jaringan komunitas berbasis pada kejujuran dan transparansi menjadi unsur dominannya. Modal sosial terbentuk sinergi kepaduan kebersamaan.

Di atas semua itu, kita sampai kepada kesimpulan bahwa modal sosiallah bisa menjadi konsep menghadapi krisis ekonomi kita yang tumpang-tindih. Modal sosial kita bertumpu keadilan ekonomi, sistem syariah, koperasi, pada prinsip kebersamaan. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Meminjam istilah penyair Sutardji Calzoum, seorang penyair era tahun delapan puluhan melontarkan prinsip kohesi sosial yang kental dan dalam. Yaitu ungkapan: Luka kakiku lukakah  kaki kau. Luka kakimu luka kakiku.

Jakarta, 10 Februari 2021

*) Penulis adalah Doktor Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles