Sabtu, November 23, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Setelah Keluar dari Kekuasaan, JK Kebingungan soal Kritik dan Demokrasi

Jakarta, Demokratis

Perubahan terjadi begitu cepat pada diri mantan Wakil Presiden 2014-2019, Jusuf Kalla alias JK. Seiring perjalanan waktu sikap politiknya berubah dari sebelumnya pro kekuasaan kini cenderung menyerang teman duetnya memimpin negara, Joko Widodo. Hal itu terlihat dari sejumlah statement politiknya yang terkesan ofensif.

Seperti halnya pernyataan yang dilontarkan oleh salah satu orang kuat di bumi nusantara ini pada saat memberikan sambutan dalam kegiatan politik PKS, Jumat, 12 Februari lalu. JK seperti ingin menegaskan haluan politiknya terkini, dia merespon negatif pernyataan Presiden Jokowi yang meminta kritik dari masyarakat terkait kinerja dirinya dan pemerintahan saat ini.

Tanpa basa-basi, konglomerat pemilik grup usaha Kalla ini mengatakan “Bagaimana cara mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi” dan “Jika demokrasi tidak jalan, pemerintah akan jatuh”. Walhasil, pro dan kontra pun terjadi di ranah publik. Namun kebanyakan menganggap hal itu kurang etis lantaran JK sebelumnya menikmati supremasi kekuasaan.

Menanggapi pernyataan JK itu, pakar hukum tata negara yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra, angkat suara terkait pernyataan yang dikonotasikan demokrasi Indonesia sedang terancam. Yusril malah balik bertanya kepada JK, konsep demokrasi bagaimana yang harusnya diterapkan negara di Indonesia ini.

Dalam pandangannya, justru demokrasi yang kebablasan akan membawa Indonesia runtuh. “Persoalan mendasarnya adalah, demokrasi yang bagaimana yang mau dijalankan. Dari dulu kita berdebat tidak habis-habisnya tentang konsep demokrasi kita. Bongkar pasang konsep enggak selesai-selesai,” kata Yusril dalam keterangan persnya, Sabtu (13/2/2021).

Mantan Menkumham era Presiden Megawati itu juga menyatakan, sistem dan perincian pelaksanaan pemilu lima tahun sekali sifatnya bongkar pasang. Begitu juga sistem kepartaian. “Pemerintahan daerah pun sama, bongkar pasang enggak selesai-selesai. Pengelolaan kekayaan negara antara pusat dan daerah juga sama, bongkar pasang terus,” kata Yusril.

Oleh karena itu, Yusril menilai konsep demokrasi akhirnya menjadi permainan kekuasaan. Tujuannya cuma satu, yaitu melanggengkan kekuasaannya sendiri. “Siapa kuat, dia menang dan berkuasa. Siapa lemah akan kalah dan tersingkir. Demokrasi kita sekarang bergantung pada kekuatan baru, kekuatan uang dan modal,” cetus Yusril.

Yusril pun menanyakan kepada JK, apakah demokrasi seperti itu yang mau dijalankan. Karena sebenarnya, tambah Yusril, demokrasi berdasarkan kekuatan uang justru kini mengancam. Apabila tidak dijalankan pemerintah, maka bisa saja akan terjatuh. Tetapi jika demokrasi semacam itu dijalankan, maka negara yang akan runtuh.

Sementara politisi Partai Hanura Inas N Zubir mengaku heran dengan pernyataan JK. Sebab sebagai mantan wakil presiden dua kali, seharusnya JK hafal di luar kepala tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum secara bertanggung jawab. “Jadi statement pak JK cenderung mempertegas sikap politiknya sekarang,” ujarnya.

Inas juga menyayangkan banyak para tokoh dan pengamat yang kemudian mempolitisasi pernyataan Presiden Jokowi tentang keinginan beliau untuk dikritisi secara konstruktif tapi bukan caci maki yang destruktif. Di era media sosial, menurut Inas, kebebasan berbicara serta kritik disampaikan tanpa lagi mengindahkan etika pergaulan yang baik.

Akibatnya, banyak orang berargumen seenaknya di media sosial tanpa mempedulikan aturan hukum yang berlaku. Mereka mengaburkan batasan antara mengkritisi, memfitnah, dan menghujat. “Sayangnya, ada saja tokoh yang tidak paham tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum tanpa melanggar aturan,” imbuhnya. (Red/Demokratis)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles