Jakarta, Demokratis
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) selaku pembina jasa konstruksi nasional terus mendorong dan melakukan pembinaan terhadap para pelaku jasa konstruksi nasional dalam meningkatkan keamanan dan keselamatan konstruksi sesuai yang telah diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dan peraturan turunannya. Komitmen tinggi atas Keamanan dan Keselamatan Konstruksi ditunjukan salah satunya dengan diterbitkannya Surat Edaran Menteri PUPR Basuki Hadimuljono Nomor 13/SE/M/2019, tanggal 10 September 2019 tentang Penggunaan Baja Tulangan Beton Sesuai Dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) di Kementerian PUPR.
Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin yang juga Ketua Komite Keselamatan Konstruksi (Komite K2) mengatakan, aturan tersebut untuk meningkatkan penggunaan baja tulangan beton berstandar SNI pada pekerjaan konstruksi agar memenuhi standar keamanan dan keselamatan. Terlebih menurutnya Indonesia merupakan negara yang rentan bencana gempa karena berada di kawasan ring of fire.
“Untuk meminimalisir risiko bangunan runtuh akibat gempa yakni dengan meningkatkan kualitas bangunan yang salah satunya ditentukan oleh kualitas baja tulangan beton. Kalau bajanya tidak sesuai dengan SNI, kita melihat di beberapa lokasi terdampak gempa bumi banyak bangunan runtuh akibat struktur bangunannya tidak tahan. Sehingga masyarakat di NTB perlu dibangun Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) tahan gempa dengan menggunakan baja-baja yang berstandar SNI,” kata Syarif dalam acara Sosialisasi SE Menteri PUPR No.13/SE/M/2019 di Kementerian PUPR, Jakarta, Selasa (8/10/2019).
Dikatakan Syarif, kewajiban penggunaan baja tulangan beton berstandar SNI untuk pekerjaan konstruksi harus didukung oleh semua pemangku kepentingan. “Yang pertama semua pengguna jasa harus mengetahui ada aturan seperti ini. Kemudian kedua adalah penyedia jasa seperti konsultan dan kontraktor harus tahu juga mengetahui ketentuan ini. Dan yang ketiga produsen dan penjualnya juga harus tahu, jangan hanya menjual tanpa mengetahui dampak kepada masyarakat pengguna,” ujarnya.
Pengawasan peredaran baja yang harus ber-SNI juga sepatutnya dapat dilakukan dari hulu ke hilir dengan melibatkan Kementerian/Lembaga lainnya seperti Kementerian Perindustrian dan Pemerintah Daerah yang dapat melakukan pengawasan industri baja di tingkat pusat dan daerah.
“Karena hal ini juga sejalan dengan rencana Pemerintah menggunakan skema Omnibus Law untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia dengan sejumlah aturan yang disederhanakan, salah satunya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta meningkatkan pengawasan dalam proses konstruksi agar sesuai standar keamanan bangunan,” tuturnya.
Pemberlakuan ini menurutnya tak hanya bagi penggunaan baja produksi dalam negeri, tetapi juga baja impor yang banyak beredar di pasaran. “Saat ini kegiatan impor-ekspor menjadi hal yang tidak bisa kita hindari. Sejak 2005 Indonesia telah diserbu oleh baja-baja impor, untuk itu harus dilakukan pengawasan standarnya karena dampaknya kepada kualitas bangunan,” ujarnya.
Berdasarkan data yang diterimanya, Syarif mengatakan tidak kurang dari 5,9 juta ton baja impor masuk ke dalam negeri setiap tahunnya. Meskipun begitu, dirinya memastikan pemerintah tak akan membatasi impor baja tulangan dari luar negeri. Hanya saja menurutnya perlu diwajibkan bahwa baja yang diimpor harus ber-SNI untuk menjaga kualitasnya. “Persaingan global, kita perlukan sehingga harga pasaran kompetitif,” katanya.
Diungkapkan Syarif produksi baja dalam negeri berkisar antara 15-16 juta ton per tahun. Dengan demikian, peredaran baja secara nasional mencapai 21,9 juta ton per tahun. Padahal menurutnya konsumsi baja nasional hanya sekitar 13,59 juta ton per tahun. “Artinya, terjadi surplus peredaran baja karena supply masih lebih besar dari demand. Akibatnya pengguna cenderung mencari yang kualitasnya lebih rendah dengan harga lebih murah,” tuturnya.
Sementara untuk pembangunan infrastruktur bidang PUPR yang selama ini dilakukan, Syarif memastikan bahwa selalu ada uji coba baja tulangan yang masuk di proyek sebelum proses konstruksi. “Untuk pembangunan infrastruktur berskala besar yang dibangun Pemerintah sudah ada kewajiban harus ada pengecekan baja tulangan dan sudah ada alokasi biayanya untuk itu. Yang jadi persoalan adalah bagaimana menjamin baja tulangan yang beredar digunakan untuk rumah agar masyarakat tetap aman. Sehingga harus ada pengawasan baja yang beredar di pasar,” ujarnya.
Dalam Surat Edaran tersebut diatur bahwa uji baja tulangan sesuai SNI harus mengacu pada mekanisme yang diatur dalam SNI 2847:2013 tentang Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan Gedung dan SNI 2052:2017 tentang Baja Tulangan Beton. Untuk melakukan validasi proses pengujian komposisi kimia baja tulangan beton di lapangan, maka setiap pengadaan tulang baja beton harus disertai dengan sertifikat uji pabrik dari produsen. (Red/Dem*)