Banyak orang mengatakan bahwa buku merupakan jendela dunia, mengapa demikian? Karena membaca buku dapat menambah wawasan yang sangat luas bahkan dunia semestapun dapat diketahui dengan cara membaca buku.
Masyarakat Indonesia dalam membaca dan menulis masih terbilang sangat rendah. Tak usah jauh menelisik pada masyarakat Eropa seperti Inggris, Prancis, Jerman, atau bahkan di Amerika, di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) saja, kebiasaan membaca dan menulis juga terbilang rendah. Indonesia menempati urutan ketiga terbawah di kawasan ASEAN, atau berada di atas Kamboja dan Laos.
Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan. Berdasarkan indeks nasional, tingkat minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,01. Sedangkan rata-data indeks tingkat membaca di negara-negara maju berkisar antara 0,45 hingga 0,62.
Merujuk pada hasil survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2011, indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1.000 penduduk yang masih “mau” membaca buku secara serius (tinggi). Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi 124 dari 187 negara dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Kesiapan SDM
Indeks minat baca rendah akibat pengaruh Perpustakaan sistem pengelolaannya belum dimaksimalkan ini disebabkan belum menjadi skala prioritas, Pemeritah sudah melakukan beberapa langkah sebuah gerakan minat baca, apakah itu menaikkan posisi nilai indeks, berdasarkan hasill survei di beberapa Perpustakaan Perguruan Tinggi, Perpustakaan Sekolah, rendahnya minat baca masyarakat Indonesia ini menyebabkan karena pertumbuhan sarana menunjang tempat penyedia layanan informasi (digital library) belum teredia dan sentral dalam taraf akses informasi belum meyediakan aktivitas sesuai harapan dan amanah UU 43 Tahun 2007, sebagaimana disebut dalam UU semuai jenis Perpustakaan harus berstandar nasional dan dianggarkan setiap tahun, salah satu jenis perpustakaan sekolah/madrasah harus mengalokasikan sedikitnya 5% utuk kegiatan operasional kegiatan dari belanja dari hasil survei yang diamati, kegagalan sebagaian perpustakaan karena tidak mengikuti kemajuan teknologi akhirnya pemustaka tidak tertarik melangkah beraktivitas ke perpustakaan. Berdasarkan beberapa penelitian, penyebab rendahnya budaya baca ini karena (internet dan media sosial) potensi sangat mempengaruh, masyarakat pemakaian media elektronik cukup tinggi dibandingkan membaca buku. Masyarakat Indonesia lebih suka mengirim SMS atau BBM-an, Facebook-an atau Twitter-an dibandingkan membaca buku.
Bila kondisi ini terus berlangsung dan tak diantisipasi sejak dini, maka kita tidak bisa berharap banyak pada mutu dan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Lalu apa yang bisa dilakukan pemerintah?
Sudah semestinya pemerintah mendorong dan lebih maksimal lagi dalam menumbuhkan dan meningkatkan budaya membaca masyarakat Indonesia. Mulai dari memperbanyak kegiatan membaca, baik di sekolah maupun di rumah, hingga pengadaan sarana dan prasarana seperti penyediaan buku-buku bacaan fiksi dan non fiksi, baik di perpustakaan sekolah, perpustakaan di kelurahan maupun memperbanyak pertumbuhan taman-taman bacaan di masyarakat.
Keseriusan pemerintah dalam mendorong minat baca masyarakat mutlak dibutuhkan. Sebab, kondisi yang sudah “mengakar” dan membudaya akan rendahnya minat baca ini harus dilakukan perbaikan. Pemerintah harus pro aktif mengajak masyarakat untuk gemar membaca.
Salah satunya, upaya untuk mendorong peningkatan jumlah produksi buku menyesuaikan kondisi status masyarakat. Saat ini, angka produksi buku di Indonesia juga terbilang cukup rendah. Setiap tahun, hanya sekitar 7.000-8.000. Artinya, jumlah ketersediaan buku bacaan yang ada, belum mampu memenuhi kebutuhan dasar secara umum masyarakat Indonesia untuk gemar membaca. Jika diakumulasikan, satu buku dibaca oleh tujuh orang warga negara Indonesia. Budayawan Taufiq Ismail mengeluhkan kondisi masyarakat Indonesia dalam hal membaca. Taufiq menyebutkan, di negara maju siswa SMA diwajibkan menamatkan buku bacaan dengan jumlah tertentu sebelum mereka lulus.
Dicontohkan, di Jerman, Prancis, dan Belanda, para siswa sekolah menengah atas (SMA) diwajibkan untuk menamatkan 22-23 judul buku sebelum mereka lulus sekolah. Sedangkan di Indonesia, kata Taufiq Ismail, sejak tahun 1950 hingga 1997 tak ada kewajiban dari sekolah atau pemerintah kepada para siswanya untuk menamatkan buku bacaan, alias nol buku per tahun.
Kondisi ini jelas bertolak belakang dengan harapan para founding father (pendiri) bangsa yang menginginkan masyarakat Indonesia yang cerdas sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bagaimana kita bisa mencerdaskan masyarakat Indonesia bila budaya baca saja sangat rendah? Bagaimana masyarakat bisa mau membaca bila di perpustakaan tak ada buku. Bagaimana buku bisa tersedia di perpustakaan bila produksi buku masih rendah?
Pertanyaan kemudian, apa sih yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya menumbuhkan minat baca masyarakat ini? Kita pantas mengelus dada menyaksikan fenomena seperti ini. Alih-alih untuk mencerdaskan anak bangsa, merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen saja masih tarik ulur. Selain itu, masih banyak anak-anak Indonesia yang tak bisa bersekolah karena ketiadaan biaya. Bahkan, sebagian siswa di belahan pelosok negeri ini pun harus berjuang dengan maut karena harus bergelantungan pada kawat dari jembatan yang putus. Sementara, para pejabat pemerintah dan terlibat dalam praktek korupsi. Sungguh sebuah ironi yang sangat mengenaskan. Karena itu, penulis berharap pemerintah bisa mengatasi semua ini, dan lebih peduli dalam menumbuhkan minat baca masyarakat demi mencerdaskan anak bangsa. Kita bersyukur karena penerbit buku yang tergabung dalam Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) terus menerus menerbitkan berbagai buku untuk membantu program pemerintah mencerdaskan masyarakat ini. Penerbit juga tak henti-hentinya menyosialisasikan buku-buku yang diterbitkan.
Sayangnya, upaya itu masih bertepuk sebelah tangan. Di saat produksi dan penjualan buku mengalami penurunan, pemerintah tak jua bergerak cepat untuk membantu. Begitu pula dengan sosialisasi ketersediaan buku yang dilakukan penerbit, pemerintah bahkan terkesan tak mau tahu.
Artikel ini diharapkan bisa mendorong pemerintah semakin peduli dan serius dalam upaya menumbuhkan dan meningkatkan budaya membaca masyarakat Indonesia. Sebab, banyak manfaat yang diperoleh dari membaca. Di antaranya; (1) meningkatkan pengembangan diri, (2) meningkatkan intelegensi (intelekual), (3) meningkatkan minat dan pemahaman pada suatu bidang ilmu, (4) wawasan semakin luas, dan (5) menjadikan pembaca mempunyai tutur kata yang sopan.
Banyak upaya yang bisa dilakukan, di antaranya: memotivasi setiap anggota keluarga untuk gemar membaca, mendorong para guru di sekolah untuk menekankan pentingnya membaca buku setiap bulan, minimal satu buku per bulan.
Selanjutnya, meningkatkan ketersediaan buku di perpustakaan dan memperbanyak taman bacaan masyarakat, meningkatkan promosi dan sosialiasi gerakan gemar membaca, memberikan apresiasi pada kelompok atau personal yang gemar membaca, dan menyediakan buku-buku bacaan yang murah dan berkualitas melalui pameran buku.
Dengan upaya ini semua, diharapkan budaya masyarakat untuk membaca semakin tinggi, sehingga harapan pemerintah untuk mencerdaskan anak bangsa bisa terwujud. ***
Jakarta, Juli 2020