Jakarta, Demokratis
Generasi milenial perempuan ZA yang menyerang Mabes Polri adalah korban atas tiarapnya Pasal 33 UUD NRI 1945 akibat Negara tidak kunjung sejahtera.
Pejabat besarnya adalah para pemburu rente yang ada di mana-mana sehingga yang lahir yaitu kemiskikan dan himpitan ekonomi. Selain ZA juga lupa selama kuliah bahwa kita adalah negara Pancasila.
“Oleh karena kemiskinan itulah yang bikin dia mudah dipengaruhi jadi teroris sampai terjadi penyerangan ke Mabes Polri dan ia sendiri jadi korbannya ditembak mati”.
Agun Gunanjar Sudarsa Penasehat Fraksi Partai Golkar MPR RI mengatakan di Gedung Parlemen Jakarta, Senin (5/4/2021).
Dikatakan, dirinya sendiri tetap lebih yakin pada Negara Pancasila dari pada yang datang dari luar atau asing, karena semua agama dilindungi di Negara Pancasila.
“Bahwa negara kita adalah berke-Tuhanan. Bukan negara yang ikut idiologi asing atau barat atau Marxis yang sudah dilarang,” tegasnya.
Katanya, dalam kesempatan ini kami akan sampaikan, bahwa upaya-upaya penangkalan bahaya radikalisme itu tak akan pernah bisa tuntas dan selesai, karena persoalan-persoalan ini akan tumbuh terus, karenanya sesuatu yang preventif tidak akan maksimal pernah juga dilakukan.
“Apalagi fungsi ide representatif parlemen yang dijalankan oleh partai politik adalah bertujuan untuk kemakmuran sebesar besarnya untuk rakyat,” jelas Agun.
:Saya orang politik dan saya silahkan dikoreksi benar atau tidaknya. Saya ingin mengatakan, aspek lembaga partai politik dalam menjalankan fungsi representatif hari ini. Fungsi representatif itu mewakili siapa, kan mewakili rakyat, publik,” katanya.
Akan tetapi justru di lingkungan partai politik itu sendiri terjadi polarisasi ideologi nasional kebangsaan.
“Boleh jadi ini sudah terjadi polarisasi ideologi nasional kita, Pancasila juga,” ungkapnya.
“Akibatnya kebijakan-kebijakan yang dilahirkannya, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan adalah kebijakan-kebijakan yang juga tidak responsif terhadap aspirasi keinginan publik, sehingga yang ada itu selalu pro dan kontra,” jelasnya.
Pada akhirnya pro dan kontra ini makin menguat, akibatnya kebijakan-kebijakan publik yang dilahirkan pada akhirnya juga lebih banyak diselesaikan dalam bentuk kompromi-kompromi politik, yang lebih pada tataran pragmatisme partai, pemodal.
“Saya terbuka, saya melakukan kritik terhadap partai politik hari ini, bahwa yang terjadi adalah pragmatisme dari pada mendahulukan warga negara,” kata Agun. (Erwin Kurai Bogori)