Saat saya di sekolah dulu diajarkan doa Radhitu billah Rabba Islami dinaa wabi Muhammadin nabiyyaa wa Rasula (Aku ridha Allah adalah Tuhanku, Islam Agamaku dan Muhammad Nabi dan Rasul). Doa berisikan kata ridha, rabba, kemudian Islamidina, dan Rasula. Itu masih teringat sampai kini.
Kata Radhitu billahii Rabba (aku ridha Allah Tuhanku) telah menjadi kata kunci penting sebagai fondasi kehidupan manusia. Terkadang sering keliru dari yang dicari manusia. Yaitu ketika yang diidamkan manusia adalah kebahagiaan lain.
Kebahagiaan yang semu, fanta morgana bukan ridha Allah. Kebahagiaan yang semu semacam itulah kemudian melahirkan sebaliknya, kekecewaan, keputusasaan.
Lantaran itulah kemudian tujuan hidup berubah. Yaitu kebahagaiaan, diupayakan siang berganti malam untuk meraih bahagia dalam harta dan tahta. Sekali lagi, itu kekeliruan besar terjadi. Ternyata ada variable lain yang menentukan kebahagiaan.
Maka jadilah kebahagiaan dependent pada harta dan tahta. Intinya semakin banyak harta dan semakin banyak kekuasaan yang dimiliki, serta semaikin bahagialah seseorang. Sebaliknya jika sesiapa tak punya harta atau miskin dan mereka yang tidak punya kekuasaan (biasa-biasa saja), maka orang tersebut tidak mencapai kebahagiaan.
Akan tetapi logika pikir ini ternyata tidak sepenuhnya benar, melainkan kekeliruan besar. Ada banyak temuan bahwa yang sukses harta dan tahta tidak bahagia.
Sebuah buku berjudul Panduan Kebahagiaan karya M Iqbal (Bandung 2019), mendukung paparan di atas. Penulisnya menbentangkan kekeliruan pikir mencapai kebahagiaan dibagi dua macam, yaitu, kebahagiaan subjektif dan kebahagian objektif. Karena percaya pada kebahagiaan subjektif. Kebahagiaan yang menurutnya yang berdasakan subjektifitas perasaannya, kebahagiaan itu hanya karena harta dan kekuasaan.
Tidak salah kalau banyak terjadi harta dan kekuasaam bukan kebahagiaan yang sejati. Tetapi diperoleh kekecewaan. Bahkan putus asa.