Akhir-akhir ini topik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menjadi isu yang hangat diperbincangkan. Hampir setiap hari, baik media cetak, online dan elektronik memaparkan hal itu. Baik dalam bentuk analisa, maupun diskusi publik. Begitu burukkah wawasan kebangsaan kita saat ini?
Sebutlah contoh debatable Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mulai Maret sampai kini belum ada ujungnya, yang ada baru berdebat caci maki. Ini agaknya indikasi masa kelam sejarah kita.
Atau kegagalan pembelajaran sejarah merupakan satu kesalahan besar mengingat hal itu berimplikasi banyak, tapi kita tidak membahas wawasan kebangsan. Kesempatan ini fokus kita kaitan pemebelajaran ilmu sejarah saja.
Bayangkan saja bila kita tidak tahu sejarah, kita akan terbentur mencari problem solving, kita kesulitan bagaimana memperkokoh kebangsaan kita, bermasalah dalam toleransi dan seterusnya. Tegasnya tanpa sejarah kita punya kendala membangun hari depan. Ilmu sejarah tiada memberi apa-apa lagi. Ilmu sejarah mungkin sudah mati.
Lantas, betulkah ilmu sejarah itu sudah mati tiada lagi memberi solusi? Kenapa? Kemudian bagaimana menutup kegagalan pembelajaran sejarah tersebut.
Esai ini mencoba memberi analisis berdasar pada konsep sejarah, wawasan ilmu (rational thinking of history), penalaran (reasoning of history), iktibar, perbandingan (comparative of history) dan ibrah, nilai moral (value of history).
Jawaban sederhana dari soal pertama tentang sejarah, sudah mati dalam tinjauan umum ada benarnya. Salah satu indikasi banyak anak-anak kita tak tahu tokoh bangsanya. Artinya anak kita tidak mengerti sejarah. Di antaranya banyak yang tidak tahu menjawab ditanya siapa Mohammad Yamin, Agus Salim atau Ki Hajar Dewantara.
Semetara itu, mereka lebih kenal Ronaldo atau Messi. Mereka memang pemain sepakbola yang cemerlang di lapangan hijau. Mereka yang ikut menjadi pemain di Piala Dunia di Moskow, beberapa waktu lalu.
Terhadap pertanyaan kedua, bagaimana sejarah diajarkan yang benar, bisa dijawab dengan memberlakukan satu usaha baru. Hal itu didasarkan pada hal berikut:
Pertama, sejarah sebagai ilmu (rational). Para ahli meletakkan sejarah dalam lingkup ilmu sosial. Alasannya karena keberadaannya dalam hubungan antara individu, masyarakat dan masyarakat dan individu.
Bahkan secara khusus Auguste Comte menjelaskan dalam bukunya History of Biology menguraikan tentang manusia sebagai mahluk berpikir. Comte membentangkan tahap-tahap berpikir manusia dari mitos hingga berpikir ilmu. Intinya sejarah harus diurai secara keilmuan. Kedekatan konsep terletak pada sosiologi dan antropologi.
Kedua, sejarah sebagai penalaran (reasoning). Mengapa sejarah dikategorikan ke dalam aspek reasoning, karena sejarah itu adalah peristiwa fakta dan logika. Bahkan dalam pepatah Arab disebutkan la kalam wa daal. Tiada kalam (kalimat) tanpa dalil.
Diambil faham, sejarah itu adalah peristiwa dengan fakta yang harus difahami dengan penalaran (reasoning). Pembelajaran sejarah dengan mengaitkan unsur penalaran akan sulit dilakukan. Karena peristiwa masa lalu adalah apa adanya sudah begitu (given).
Ketiga, sejarah sebagai iktibar, perbandingan (comparative). Pembelajaran sejarah dengan comparative dilakukan dengan memahami keberagaman secara diffrencial proses intelektual dengan komprehensif (menyeluruh).
Proses ini mengklasifikasi mana yang sama dan mana yang beda. Klasifikasi untuk menarik faham, terhadap peristiwa maupun fakta.
Apa dan mana yang harus diambil adalah berdasar faktor yang membedakan itu. Mengambil iktibar, contoh, pilihan pada yang telah terjadi.
Keempat sejarah sebagai nilai moral. Faktor moral merupakan ada nilai atau tidak yang diperoleh dengan mempelajari sejarah. Pembelajaran ini lebih sebagai faktor kunci dalam memahami sejarah. Nilai moral, menegambil yang baik dari satu peristiwa dan dijadikan teladan benchmarking. Mari kita coba tarik simpulan, empat konsep pembelajaran sejarah inilah harus kita tuntaskan. Maksudnya agar sejarah menarik, berguna alias tidak mati.
Oleh karena itu, perlu reaktualisasi dengan empat pilar pembelajaran sejarah seperti paparan di atas. Berpijak pada (1) ilmu, (2) penalaran, (3) iktibar dan (4) nilai moral secara berkelindan berkesatuan.
Inti maksud bahwa pembelajaran sejarah ada manfaatnya. Dengan kata lain jangan sampai terjadi kita mempelajari tapi tak mengerti untuk apa. Termasuk adakah yang bisa diselesaikan oleh sejarah pada problem yang dihadapi. Pembelajaran sejarah haruslah berguna dalam menghadapi tantangan dan memberi jalan keluar.
Catatan akhir dengan paparan singkat ini agaknya perlu memberi titik tekan bahwa sejarah dapat menyelesaikan persoalan bangsa. Namun harus didahului dengan pemantapan konsep sejarah itu dalam pembelajaran.
Dengan menghidupkan peristiwa sejarah masa lalu tentang kebenaran, tentang moral. Kita harus menarik butir peristiwa masa lalu dengan mengambil yang terbaik, membuang yang buruk. Inilah yang dituntut dari semangat ucapan jangan melupakan sejarah. Semoga!
Jakarta, 9 Juni 2021
*) Penulis adalah Dosen Pacasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta