Setelah dipecat dari militer pada 1998 karena “perannya” dalam penculikan dan penyiksaan anti suharto, Prabowo Subianto mengasingkan diri sekian tahun ke Yordania. Sebelum kembali lagi pada 2001 ke Indonesia, dengan cepat dia mengukuhkan kembali dirinya di kalangan elite Jakarta. Dalam mengejar ambisi politiknya yang baru, yakni menjadi Presiden (Mietzner 2013).
Sewaktu “gagal” memenangkan Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) pada 2008, dia membangun kendaraan politiknya sendiri, yaitu Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Dengan dukungan “keuangan” dari adiknya yang miliader orde baru Hasim Djoyo Hadi Kusumo, dia maju sebagai Wakil Mega Wati Soekarno Putri pada Pilpres 2009 namun “gagal”, kalah mutlak dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakilnya Budi Yono sebagai petahana. Gerindra juga bernasib “buruk” dalam pemilu legislatif (Pileg) di tahun yang sama, dengan meraih cuma 4,5 persen suara.
Prabowo terbukti bukanlah tipikal pecundang, sebab dalam prinsipnya “kalah bukanlah pilihan” dengan pendekatan konsep “habis–habisan” untuk menentukan pilihan pada Pilpres selanjutnya dia menghidupkan kembali jaringan geng, milisi dan kelompok seni bela diri yang sudah pernah dibina selama karir militernya. Prabowo adalah pelaku par exellence strategi–strategi kontra insurgensi dan perang non-konvensional menurut Wendelt (2007), di antara sumbangsih–sumbangsih Prabowo adalah memperluas parameter penggunaan bantuan dari milisi sipil.
Sejak awal 1990, Prabowo mendirikan milisi seperti Gada Paksi dari Timor Timur yakni membangun hubungan dengan kelompok–kelompok strategis khususnya geng–geng dan pemuda terpinggirkan. Dia menyediakan keterampilan seperti program Tiara. Di luar wilayah konflik ia juga bekerja untuk membangun dan melatih jaringan kekuatan loyalis di pusat–pusat kota se Indonesia. Pada akhir 1980, ia mendirikan perguruan pencak silat Satria Muda Indonesia (SMI). Sebagai praktisi seni bela diri sejak lama Prabowo melihat pencak silat sebagai wahana sempurna untuk “menanamkan nilai dan disiplin militer kepada penduduk sipil”, dan sebagai komponen utama pertahanan negara (Subianto 1995).
Pasca kerusuhan seputar kejatuhan rezim Soeharto pada Mei 1998, SMI yang dikirim Prabowo ke Ibu Kota sebelumnya “terlibat dalam kekerasan etnis Cina bersama dengan serombongan preman dan milisi” (Friend 2003). Dampak dari mobilisasi politiknya atas SMI, maka Prabowo terdepak dari Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI), namun kembali direbut pada pilihan langsung tahun 2004 dan juga pada tahun 2012. Mengisi kepemimpinan pusat IPSI dengan para loyalis SMI, dia mencoba membesarkan IPSI sebagai “mimbar” untuk memobilisasi dukungan bagi Gerindra dan pencalonannya. Bagi Prabowo “perang non-konvensional” dan politik, adalah terjalin erat dan kini dia membawa strategi dan logika yang sama ke panggung demokrasi elektoral Indonesia. Dalam hal ini “bisa” diharapkan Herculles akan memainkan peran penting.
Pada Pilpres 2014 Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa kembali “gagal” jadi RI-1 melawan pasangan Joko Widodo dengan Jusuf Kalla. Untuk yang ketiga kalinya Prabowo kembali mencalonkan diri pada Pilpres tahun 2019 dia berpasangan dengan Sandiaga Uno melawan petahana Joko Widodo dengan Maruf Amin dan “masih” juga gagal. Seiring dengan jelasnya jejak ambisi mengejar politik kepresidenan, Prabowo pada pasca Pilpres 2019 “iklas” didapuk ke dalam Kabinet Kerja Indonesia Maju Jokowi–Maruf Amin yang walau hanya diangkat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan).
Kini viral para loyalisnya melalui duet Jokowi–Prabowo (JokPro) dengan amandemen tiga periode melalui MPR, mereka melihat penjelmaan logika politik teritorial, koersif dan berbasis patronase yang mereka reproduksi. Bahwa Prabowo berkampanye dan flatform untuk menggulung balik reformasi demokratis dan mengembalikan otoritarianisme presidensial menyiratkan bahwa demokrasi bagi Ormas–ormas dan milisi loyalitasnya, sebagaimana juga bagi Prabowo, adalah sebuah sarana untuk mencapai tujuan–tujuan yang tidak demokratis (Aspinall dan Mietzner 2014 – Politik Jatah Preman). ***
Penulis adalah Wartawan Demokratis