Polemik di antara tokoh masyarakat cenderung gaduh, rusuh dan panas, menerpa rektor Universitas Indonesia (UI). Soal kasus jabatan rangkap adalah pemicunya. Pertaanyaan apa solusinya? Jawabannya sedang dicari.
Isu jabatan rangkap belakangan ini menimbulkan polemik dan masih terus berlangsung. Belum ada tanda berhenti. Bahkan isu dalam berebut jabatan tersebut bertendensi kegaduhan dan rusuh merembet pada masalah lain.
Ada alasan kalau satu jabatan bisa dirangkap dengan jabatan lain, mengapa tidak?! Dua, tiga, empat jabatan sekaligus, oke saja! Sang pejabat pemburu jabatan basah itu ibarat meneguk air laut, semakin diteguk semakin haus.
Tetapi alasan di pihak lain sistem sosial kita harus adil dan terbuka. Nepotisme dan kolusi harus kita tinggalkan. Itu masa lalu yang kelam bangsa kita. Jangan terulang lagi.
Di antara kasus kegaduhan tersebut terjadi bertaburnya karangan bunga (24 Juli 2021) untuk rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro karena selain rektor dia merangkap wakil komisaris utama Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Mahasiswa UI protes karena jabatan rangkap melanggar statuta UI, tidak boleh rangkap jabatan. “Memalukan UI sebagai lembaga pendidikan yang bermoto: kebenaran, kejujuran, keadilan (veritas, probitas, iustitia),” kata Fadli Zon alumni yang juga anggota DPR RI.
Memang bukan soal rektor UI saja. Karena ada 200 komisaris dari 541 perusahaan dan lembaga milik negara di situ pejabatnya dirangkap. Misalnya rektor menjabat komisaris bank, dan semacamnya.
Berdasar data Lembaga Administrasi Negara terdapat 93 jabatan dirangkap oleh jabatan kementerian, 12 rektor perguruan tinggi, 5 dari pemerintah daerah, 5 dari TNI, 1 dari polri dan 1 kejaksaan.
Artinya kekuasan menumpuk maka dalam aliran uang negara beredar di kalangan tertentu pula, yaitu pejabat. Sulit diperoleh pihak lain. Dia lagi dia lagi.
Sebelumnya ada peraturan yang melarang rangkap jabatan tersebut. Sekarang tidak lagi ada larangan mulai 1 Juli 2021 setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan PP Nomor 75 Tahun 2021. Artinya, Presiden ikut melestarikan rangkap jabatan.
Jabatan rangkap dalam perspektif manajemen Lord Emerich Edward Dalberg Acton (1834-1902) warga negara Inggris menurunkan teorinya dalam buku History of Freedom dengan pokok pikiran utamanya adalah tends of power (kecenderungan kekuasan). Yaitu power tend to corrupt absolute power corrupt absolutely. Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut niscaya korup.
Adanya kekuasan di satu tangan dalam atau rangkap jabatan menimbulkan terbukanya korupsi. Dalam kata lain semakin banyak power dalam satu tangan, makin suburlah korupsi. Kecuali unsur kekuasaannya adil, dan benar.
John Lewish Gillin (1871–1958), seorang ilmuwan yang banyak meneliti masyarakat Amerika Tengah. Jebolan dari Universitas Columbia Amerika itu salah satu karyanya buku Cultural Sociology tentang pertumbuhan kapitalis dan pertumbuhan ekonomi serta sistem sosial.
Dalam bukunya setebal 884 halaman tersebut, ia mengajukan teori berdasar pikiran utamanya poverty and dependency (kemiskinan dan ketergantungan) juga menyatakan hal yang hampir serupa dengan Lord Acton, bahwa sistem sosial kekuasaan berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi.
Bagi dia sistem sosial begitu penting. Tujuannya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Karena itu sistem sosialnya harus tepat makna, demikian John Gillin.
Agaknya di sinilah persoalan polemik rangkap jabatan perlu mendapat perhatian untuk dimaknai. Yaitu mengapa jabatan itu harus rangkap? Mengapa jangan dirangkap? Apa tidak ada yang lain yang mampu mengisi jabatan tersebut, atau alasannya alasan gaji. Seperti rektor UI gajinya kecil.
Kalau gaji kecil itu relatif. Gaji haruslah dimaknai secara benar. Bagaimana dulu rektor UI Mahar Mardjono, dan Slamet Imam Santoso. Kita mengenang keperibadian baiknya. Ambillah mereka menjadi tokoh ini jadi teladan.
Penulis setuju dengan prinsip kita untuk memasyarakatkan nilai hidup sederhana dan adil. Biarlah nilai uang memperoleh gaji, pendapatan atau apa namanya itu beredar pada semua. Tidak kalangan tertentu saja. Dia lagi dia lagi. Sementara banyak yang lain yang lebih memerlukan. Semoga!
Jakarta, 24 Juli 2021
*) Masud HMN adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta. e-mail: masud.riau@gmail.com