Subang, Demokratis
Kultur perilaku korupsi birokrasi di negeri ini kian hari semakin komplek dan parah. Korupsi sepertinya sudah menjadi budaya tersendiri dan virusnya telah menjalar nyaris ke seluruh sendi birokrasi dan lembaga pemerintahan di level pusat hingga level daerah.
Ironisnya, pelakunyapun tak hanya kaum elit pejabat birokrat dan politisi di level pemerintahan pusat saja, tapi sudah merambah ke pejabat pemerintahan desa.
Kongkritnya praktek korupsi kini melanda di tubuh pemerintah desa-desa di wilayah Kecamatan Sukasari, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat terkait pengelolaan keuangan desa bersumber dari dana Bantuan Desa (Bandes) TA 2018 dan 2019 yang diusulkan melalui pokok–pokok pikiran (Pokir) anggota dewan.
Dulu populer dikenal dana aspirasi dewan yang bersumber APBD Kabupaten Subang dan digelontorkan ke desa-desa bernilai ratusan juta rupiah bahkan miliaran rupiah, diduga dijadikan ajang bancakan oknum anggota DPRD dan Kepala Desa penerima Bandes, sehingga berpotensi merugikan keuangan negara/desa.
Dugaan persekongkolan (kolusi) korupsi berjamaah yang dilakukan sejumlah oknum dewan yang terhormat dan Kepala Desa penerima dana Pokir, membuat rakyat seperti putus asa dan kehilangan harapan, seakan tak ada cahaya di ujung terowongan sana.
Bantuan dana pokir sendiri dialokasikan bagi organisasi sosial kemasyarakatan dan kelompok masyarakat yang diperuntukan pembangunan fisik dan pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan pendidikan.
Adapun dana Bandes yang menggelontor di desa-desa wilayah Kecamatan Sukasari bersumber (APBD murni) TA 2018 di antaranya Desa Anggasari untuk kegiatan pembangunan di 4 titik senilai Rp 100 juta; Desa Batangsari 4 titik senilai Rp 40 juta; Desa Sukamaju 4 titik senilai Rp 160 juta; Desa Mandalawangi 5 titik senilai Rp 230 juta; Desa Curugreja 2 titik senilai Rp 70 juta; Desa Sukareja 3 titik senilai Rp 100 juta dan Desa Sukasari 5 titik senilai Rp 180 juta.
Bandes bersumber (APBD-P) TA 2018 Desa Batangsari 3 titik senilai Rp 160 juta, Desa Sukareja 1 titik senilai Rp 30 juta dan Desa Sukamaju 1 titik senilai Rp 30 juta.
Sementara dana Bandes (APBD murni) TA 2019 yang menggelontor di Desa Anggasari untuk 4 titik senilai Rp 85 juta, Desa Batangsari 20 titik senilai Rp 705 juta, Desa Sukamaju 4 titik senilai Rp 120 juta, Desa Mandalawangi 3 titik senilai Rp 110 juta, Desa Curugreja 2 titik senilai Rp 65 juta, Desa Sukareja 3 titik senilai Rp 60 juta dan Desa Sukasari 4 titik senilai Rp 4 titik senilai Rp 110 juta.
Hasil investigasi dan keterangan berbagai sumber dihimpun awak media menyebutkan, modus penyelewengan dana itu terjadi mulai dari klaim sepihak, pungutan liar (Pungli) dengan prosentase tertentu, praktek nepotisme, hingga yang paling parah dugaan adanya kelompok penerima fiktif.
“Disebut fiktif, karena wujudnya tidak ada. Sementara Surat Pertanggung jawaban dibuatkan seolah-olah kegiatannya telah dilaksanakan sesuai proposal,” jelas sumber.
Sementara itu, upaya untuk mengungkap skandal dana Pokir sendiri bukanlah perkara mudah. Berbagai pihak yang terlibat di dalamnya terkesan tutup mulut dan beberapa di antaranya justru menganggap praktek-praktek penyelewengan seperti itu merupakan hal yang lumrah, sehingga terkesan “penjarahan” dana pokir ini sebagai dibenarkan.
“Sebelum dana dikucurkan calon penerima dana atau pelaksana kegiatan harus bersepakat dahulu dengan oknum-oknum petinggi partai, anggota dewan yang terhormat atau pejabat tertentu mengenai besaran fee,” ujar sumber.
Masih menurut sumber tadi, besaran fee yang harus disetor kepada oknum tersebut, berkisar antara 10% – 30% dari total dana yang dikucurkan.
Eksesnya bagi Pemdes selaku Pengguna Anggaran (PA) dan para penerima bantuanpun latah (ikut-ikutan-Red) turut menyunat, sehingga dana yang direalisasikan hanya berkisar 60% saja.
Sementara pengakuan sejumlah Kades yang enggan disebut jati dirinya mengaku Bandes setelah diterima harus menyetor ke oknum dewan sebanyak 10% hingga 30% dari pagu.
Lebih mirisnya lagi kedapatan oknum pendamping desa merangkap sebagai broker berkolusi dengan oknum dewan sebagai aspirator. Sebelumnya oknum broker itu berkomitmen memberi dana inden sebagai tanda keseriusan memuluskan permintaan Bandes sejumlah desa tertentu, setelah dana cair yang mengurus fee (uang sogokan-Red) dengan pihak Pemdes broker itu sendiri.
Lebih ironisnya lagi, bantuan diduga diberikan kepada penerima manfaat abal-abal. Disebut abal-abal lantaran kelompok dibentuk secara tiba-tiba sementara kepengurusan dan anggotanya tidak jelas, diduga kelompok itu dibentuk hanya sebagai sarana pencucian uang bantuan.
Seperti pembentukan kelompok Konveksi AA Colection, di Desa Sukamaju, Kecamatan Sukasari, seharusnya mendapat bantuan dana sebesar Rp 60 juta yang direncanakan untuk pengadaan mesin obras, namun diduga dananya tidak dibelanjakan sesuai peruntukan, tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi ketua kelompok bareng aspirator (oknum mantan anggota dewan War dari Partai Demokrat). Menurut sumber, Boher ditunjuk War sebagai tim suksesnya saat nyaleg.
“Ternyata kelompok serupa Konveksi AA Colection bertebaran di desa-desa lain dengan modus sama hanya untuk menyerap dana Bandes. Jadi tidak berdasarkan kondisi nyata di lapangan,” tandas sumber lagi.
Istri Boher selaku Ketua Kelompok Konveksi AA Colection, saat dikonfirmasi menerangkan bila pembelian alat obras menjahit sudah dibeli sejak lama, jauh hari ketika sebelum ada pencairan Bandes.
War yang ditemui di kediamannya membantah tudingan miring itu. “ Dana Bandes sudah sampai ke penerima manfaat sesuai juklak dan juknis program. Saya juga turut mengawal dana itu agar sampai ke penerima manfaat dan tepat sasaran, bahkan ketika pelaksaaan kegiatan fisik saya sering membantu kekurangannya alias nombok,” ujarnya berdalih.
Dugaan penyelewengan dana bermodus pengurangan volume dan kualitas yaitu pengarungan lapangan sepak bola Desa Mandalawangi dari pagu biaya Rp 100 juta fisiknya direalisasi hanya 40% saja atau kisaran Rp 40 jutaan untuk pembelian tanah merah sebanyak puluhan truk saja.
Di kesempatan terpisah, Ketua Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi–RI (GNPK-RI) Kabupaten Subang Adang Sutisna Sm Hk saat dimintai tanggapan di kantornya (4/11/9) mengecam keras atas prilaku para Kades di wilayah Kecamatan Sukasari yang dinilainya sudah mencedrai amanat warganya.
Lagian bila benar kedapatan sejumlah desa kegiatan proyeknya diborongkan kepada pihak ketiga itu menyalahi juklak dan juknis program, semestinya dikerjakan oleh Tim Pelaksana Kegiatan Desa (TPKD) yang personalianya terdiri unsur lembaga kemasyarakatan dan tokoh masyarakat, hal ini agar misi program terkait pembedayaan masyarakat terwujud.
Pihaknya berjanji akan segera menelusuri kasus itu, setelah diperoleh data dan fakta hukum akan segera melaporkannya kepada aparat penegak hukum.
Adang menilai, bahwa oknum-oknum yang terlibat bancakan dana Pokir itu dikatagorikan perbuatan korupsi. Melihat kondisi seperti ini, pihaknya mendesak aparat penegak hukum segera mengusut dan menyeret oknum yang terlibat hingga ke meja hijau.
Upaya tersebut, kata Adang, merupakan hal yang urgen sebagai upaya menegakan supremasi hukum sebelum permasalahannya semakin meluas. (Abh)