Setiapkali 17 agustus, setiapkali itu pula kita melihat merah putih dan umbul-umbul berkibaran di seluruh pelosok negeri. setiapkali itu pula kita melihat suka cita dalam balapan karung, permainan kelereng, pukul kendi, panjat pinang dan balapan makan kerupuk atau lainnya di sungai. setiapkali itu pula kemudian semuanya berlalu dan melenyap. harapan-harapan kembali senyap membentur tembok-tembok kekuasaan yang dipagarbetis para intelektual salon. mesin-mesin politik memproduksi kehoaxkan sepanjang waktu yang meruncing dan menggemuruh. kebohongan dan omong kosong terus dipidatokan dan dinyanyikan dengan merdu. negeri ini menjadi simulakra. negeri para pengibul. sebab itu pula dalam keredupan cahaya kita bersuara sekalipun akan binasa.
Setiapkali 17 agustus, setiapkali itu pula kita melihat merah putih dan umbul-umbul berkibaran di seluruh pelosok negeri. setiapkali itu pula sedu sedan itu. kita membuka kembali catatan negara, hutang luar negeri makin mencekik negeri. tindakannya makin represif. wajah-wajah mengancam dan memburu berekliaran dan bergentayangan. setiapkali itu pula kemerdekaan yang hilang dan kebenaran yang dibungkam tidak bisa dimanipulasi dengan pidato-pidato kenegaraan, bagi sembako dan mengumpulkan orang karena itu hanya tiktokkan dan politik pencitraan. perut butuh nasi dan sayur-sayuran. sawah ladang butuh pengairan untuk kita bisa makan. setiapkali itu pula kita melihat perut bumi terus dikuras oligarki dan para pecundang yang sukses membiayai electoral justice untuk membeli penguasa negeri. besok atau lusa kita bakal menjadi pengemis zaman. mengais iba ke lain negeri. sebab itu pula dalam keredupan cahaya kita bersuara sekalipun akan binasa.
Setiapkali 17 agustus, setiapkali itu pula kita melihat merah putih dan umbul-umbul berkibaran di seluruh pelosok negeri. setiapkali itu pula kita melihat siswa dan mahasiswa baru lulus bila jawabannya sesuai dengan hafalan textbook yang diajarkan. pertanyaan-pertanyaan telah disediakan dalam pilihan jawaban. dengan demikian mudah dikendalikan. loncatan-loncatan pikiran dan imaji-imaji dibenam dan dikuburkan karena kelak bisa menjadi ancaman. birokrat tidak membutuhkan keluasan pikiran dan moral. birokrasi hanya menjalankan intruksi kekuasaan sebagai atasan. yang tak sepakat harus didepak. tindakan harus mendahului akibat sebelum percikan bara menjadi api yang menyala dalam riuh gemuruh angin. sebab itu pula dalam keredupan cahaya kita bersuara sekalipun akan binasa.
Setiapkali 17 agustus, setiapkali itu pula kita melihat merah putih dan umbul-umbul berkibaran di seluruh pelosok negeri. setiapkali itu pula kita mendengar kebohongan dan omong kosong dipidatokan. yang nyata-nyata tidak dikatakan. hitam dan putih bergantung kekuasaan. maju tak gentar membela yang bayar. sorak-sorak bergembira para penghamba bersukaria. dari sabang hingga merauke, dari pulau ke pulau sambung menyambung menjadi satu para koruptor, oligar dan pecundang-pecundang negeri. pemimpin marah jika diolok-olok padahal kelakuannya akal bulus. membuat kebijakan tak becus. negara menjadi salah urus. sebab itu pula dalam keredupan cahaya kita bersuara sekalipun akan binasa.
Setiapkali 17 agustus, setiapkali itu pula kita melihat merah putih dan umbul-umbul berkibaran di seluruh pelosok negeri. setiapkali itu pula kita tak bisa lagi mendengar suara rakyat adalah suara tuhan karena perut lapar. setiapkali itu pula suara tuhan dijualbelikan. dalam parlemen tuhan dicincang-cincang untuk kemegahan perut kekuasaan. dalam gedung penegak hukum tuhan dicabik-cabik hingga berkeping-keping kepentingan. dalam kabinet yang terlihat mata-mata para pemburu. wajah-wajah yang mengancam berkeliaran dan bergentayangan. kebangsaan, simbol dan lambang dan negara menjadi monopoli tafir kekuasaan untuk bisa memenjarakan orang-orang. setiapkali itu pula kritik dianggap kebencian dan penyebab kegaduhan yang harus dipidanakan. keresahan sosial yang disuarakan dan dinyatakan menjadi berbuah kriminal. dipaksa sehat di negeri yang sakit dan 404: not found terus diburu aparat keamanan sebagai penghinaan. maju tak gentar membela yang bayar. sorak-sorak bergembira para penghamba bersukaria. kita makin jauh dari republik dan demokrasi. sebab itu pula dalam keredupan cahaya kita bersuara sekalipun akan binasa. (O’ushj.dialambaqa, Sajak: Kemerdekaan Yang Hilang, Singaraja, 17 Agustus 2021).
Apakah kemerdekaan itu bisa kita artikan atau dimaknai bahwa setiap 17 Agustus berkibar bendera merah putih dan umbul-umbul di seluruh pelosok negeri? Apakah kemerdekaan berpikir dan menyatakan pendapat tidak bisa dikatakan sebagai eksistensi hakiki dari merdeka atau kemerdekaan itu sendiri? Apakah juga kemerdekaan itu harus menjamin akan keberadaan kedaulatan negara, dimana negara adalah rakyat, dan suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei)?
Presiden Simbol Negara
Bendera Merah Putih yang dikibarkan ke seluruh peloksok negeri pada setiap tanggal 17 Agustus itu harus dimaknai bahwa kita telah menyatakan kemerdekaannya, yaitu sejak pukul 10.00 WIB, hari Jumat tanggal 17 Agustus tahun 1945, tetapi apakah kita telah merdeka sesungguhnya? Keharusan tersebut bukan saja karena secara de jure dan de facto atas kemerdekaan tersebut, tetapi jauh lebih substantif adalah filosofi merdeka dan atau kemerdekaan, yang secara kohesif filosofis teologi pembebasannya tidak bisa kita cerai beraikan dalam memaknai merdeka atau kemerdekaan.
Sebagai sebuah negara yang berdaulat, apalagi kita memilih sebagai negara yang republik dan demokrasi, maka suara rakyat adalah suara Tuhan. Yang berarti suara rakyat yang tidak mengandung kebenaran bukanlah suara Tuhan, karena Tuhan sama sekali tidak pernah berbohong, sekalipun jika mau berbohong tiada terhalang bagi-Nya.
Oleh karena itu, suara rakyat yang tidak mengandung kebenaran adalah bukan suara Tuhan, melainkan suara setan atau iblis yang gentayangan dan bersemayam dalam ruh kekuasaan. Maka, kekuasaan harus dikawal oleh suara Tuhan, bukan oleh suara setan atau iblis supaya berada dalam relnya, tidak menjadi otoritarianisme atau fasisme.
Sebagai sebuah negara untuk membedakan suatu negara dengan negara lainnya atau membedakan kebangsaan antarnegara, negara haruslah mempunyai lambang sebagai identitas pembeda atas dasar kebangsaannya. Untuk itu, kita memilih lambang negara yang dituangkan dalam konstitusinya adalah adanya bendera, yaitu Merah Putih. Adanya Lagu Kebangsaan, yaitu Lagu Indonesia Raya. Adanya satu kesatuan wilayah yang beragam suku, bahasa dan daerah yang dilambangkan dengan Burung Garuda lengkap dengan semboyan dan makna perisainya dengan kaki Garuda mencengkram kokoh ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, sebagai NKRI (Negara Kesaruan Republik Indonesia). Adanya tanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu, yaitu Bahasa Indonesia.
Terminologi Presiden adalah simbol negara tidak ditemukan dalam konstitusi kita, apalagi Presiden sebagai lambang negara, sama sekali tidak ada kata tersebut dalam konstutusi kita. Dalam konstitusi kita, Presiden bukanlah bagian dari sebuah simbol apalagi dikatakan sebagai lambanga negara, sekalipun dikatakan Presiden adalah Kepala Negara. UUD’45 Pasal 35 sampai 36A menyebutkan lambang negara adalah Garuda dan semboyan yang tertera pada Garuda, yakni Bhinneka Tunggal Ika.
Bendera Merah Putih, Bahasa Indonesia, dan Lambang Negara Garuda Pancasila, serta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya tertuang dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. PP Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara terbagi atas: 1. Burung Garuda, yang menegok dengan kepala lurus ke sebelah kanan. 2. Perisai berupa jantung yang digantung dengan mata rantai pada leher Garuda, dan 3. Semboyan ditulis di atas pita yang dicengkram oleh Garuda.
Jika kemudian ada (menguat) penafsiran bahwa Presiden adalah simbol atau lambang negara seperti yang dikatakan pihak Rektorat UI (Universitas Indonesia) bahwa Presiden adalah simbol negara ketika merespon kritik BEM UI: Jokowi King of Lip Servisce adalah merupakan menjungkirbalikkan logika dan akal waras, dan ternyata juga tidak hanya Rektortiat UI.
Ali Mochtar Ngabalin Tenaga Ahli Utama KSP yang mendalilkan Pasal 310 ayat (2) sebagai penghinaan terhadap Presiden, bahkan Ngabalin telah melakukan penghinaan atas peradaban dengan mengatakannya: Hanya Warga Negara Kelas Kambing yang Tidak Punya Peradaban. Aparat keamanan pun kemudian idem Rektorat UI dan Ngablin, sehingga akan menguber atau memburu pembuat mural 404: Not Found, di mana gambar Presiden Jokowi ditutup matanya.
Tafsir kekuasaan tersebut hidup liar dalam Istana. Presiden tak bergeming dan membiarkannya liar, padahal dalam konstitusi sangat jelas dan gamblang bahwa Presiden bukanlah simbol apalagi lambang negara.
Dengan demikian, sesungguhnya, Presiden dan para penghamba kekuasaan tengah mempermainkan negara sebagai alat kekuasaan presiden. Padahal, presiden adalah sebagai penyelenggara negara. Jika tidak sesuai dengan tujuan dan kehendak negara, negara akan memposisikan dirinya sebagai oposisi terhadap penyelenggara negara (kekuasaan Presiden), karena negara adalah satu kesatuan yang bernama rakyat, dan suara rakyat adalah suara Tuhan, sehingga kedaulatan adalah di tangan rakyat, bukan di tangan Presiden.
Apa yang dikatakan Abraham Licoln government of the people, by the people, for the people (keputusan politik menyangkut kehidupan rakyat yang ditentukan oleh rakyat). Ini menunjukkan bahwa pondasi kita tidak dibangun atas dasar itu oleh rezim yang berkuasa. Begitu juga yang dikatakan John Locke: bernegara adalah untuk memelihara dan menjamin hak asasi manusia yang tertuang dalam perjanjian masyarakat (people). Yang menjadi realitas empiric adalah rezim yang selalu mengancam, merepresi ekspresi keresahan sosial sebagai penyebab kegaduhan sosial, yang sesungguhnya, adalah merupakan potret kekuasaan otoritarianisme dari rezim penguasa.
Ketika negara dipakai sebagai alat kekuasaan penyelenggara negara, maka mural 404: Not Found Presiden Jokowi bisa dijadikan delik pemidanaan terhadap grafiternya (pembuat mural) sebagai bentuk penghinaan terhadap Presiden yang ditafsirkan sebagai simbol atau lambang negara. Lantas dicarikan pembenarannya, maka sesungguhnya rezim penguasa melalui relasi kuasa dan kekuasaannya tengah menggiring negara menuju otoritarianisme untuk menjadi fasisme, menyingkirkan republik dan demokrasi, kemerdekaan menyatakan ekspresi pikiran dan pendapat harus dibrangus atau dipenjarakan.
Lambang negara adalah benda mati, Presiden itu benda hidup (Refly Harun). Oleh sebab itu, Presiden bisa dan boleh diganti di tengah jalan jika syarat dan ketentuan terpenuhi, atau gonta ganti, apakah melalui prosedural elektoral (Pilpres) atau melalui kemaharan sosial secara nasional (darurat konstitusional-menjadi konstitusional), seperti lengsernya Soekarno tahun 1966 (sidang MPRS 1966, formalistik konstitusi) dan Soeharto tahun 1998 dari kursi kepresidenanya, atau juga melalui proses konstitusional normatif seperti yang terjadi pada Gus Dur (Abdurrahman Wahid) tahun 2001 yang dilengserkan dengan pemakzulan di MPR.
Apakah negara boleh gonta ganti? Tentu tidak, kecuali bubar dan atau masing-masing daerah memisahkan diri seperti runtuhnya negara Uni Soviet Rusia. Lambang negara (Bendera, Lagu Kebangsaan, Burung Garuda dan Bahasa) tidak bisa digontaganti seenaknya udel kekuasaan penguasa, karena pengakuan dunia (internasional) atas sebuah negara merdeka dan berdaulat haruslah terpenuhi adanya lambang negara sebagai identitas kebangssaan sebagai warga dunia.
Jika mural 404: Not Found direlasikan dengan penghinaan terhadap Presiden sebagai lambang negara, maka alasan pemerintah, yang menganggap posisi presiden sebagai simbol negara dianggap warisan pemikiran feodal yang tak lagi relevan dengan era demokrasi, itu teori feodal yang anggap presiden itu lambang negara (Jimly Asshidiqie).
Feodalisme berakar dari alam berpikir kerajaan, dimana raja adalah absolut memegang kekuasaan dan menjalankan kekuasaan yang ia kehendaki. Raja menjadi perwakilan Tuhan atau menjadi Tuhan itu sendiri yang menentukan segala-galanya. Cara berpikir dan atau cara pandang Raja dan Kerajaan (ortodoks) tersebut ternyata masih banyak bersemayam dalam nurani dan batok kepala para pejabat dan pemimpin negeri ini karena hasrat hendak berkuasa.
Merawat Negara dan Bangsa
Mural, dalam hal ini, 404: Not Found di Batu Ceper Tangerang dan Dipaksa Sehat Di Negeri Yang Sakit di Pasuruan, sebagai seni memposisikan dirinya sebagai juru bicara sosial dalam konstruksi politik kesehari-harian (daily politics) untuk menyuarakan keresahan sosial di negeri ini.
Mural tersebut sebagai satire amat sangat santun, karena tidak dijungkirbalikkan dengan konsep karikatur sebagai nafas kegeraman kemarahan sosial, sehingga harus kita katakan mural 404: Not Found sangat amat beradab. Mural sebagai satire terbebas ketersembunyiannya, dan memang satire harus tidak menyembunyikan sesuatu demi kepentingan sesuatu, kecuali keresahan itu sendiri.
Mural sebagai seni yang mengekspresikan sesuatu hal, yang dalam hal ini adalah keresahan sosial yang disuarakan dan diekspresikan gratifernya merupakan respon atas situasi dan kondisi sosial dari kontruksi daily politics saat ini. Mural tidak terbatas hanya dalam bentuk gambar untuk menyuarakan nurani publik, kata-kata menjadi penguatan konkret dalam menyuarakan keresahan sosial, karena tidak semua pesan yang disampaikan melalui gambar atau lukisan kadang bisa dipahami semua kalangan.
Mural menjelang kita merdeka justru lrebih dahdyat lagi. Mural tidak saja bicara dalam ruang tertutup, melainkan mengambil dimensi yang lebih luas, yakni ruang terbuka, seperti tembok, dinding, mobil yang lewat, kereta api dan media apapun yang terbuka, sehingga pesan yang disuarakan bisa sampai pada tujuan.
Mural menjelang kemerdekaan, sebagai pilihan merdeka atau terus di bawah telapak kaki colonial terus disuarakan, sangatlah heroik baik dalam gambar yang diekspresikan maupun kata-kata yang dicoretkannya, coretan dinding. Membangkitkan semangat pantang menyerah, dan takad pilihan lain, selain kita harus merdeka, melepaskan diri dari pendudukan kolonial Belanda. Sekali Merdeka Tetap Merdeka. Merdeka Ataoe Mati. Freedom For Nation. “Boeng, Ajo Boeng” dalam poster gambar (dari 3 perupa; S. Soedjojono, Affandi, Dullah, dan kata-katanya dari Chairil Anwar, paling fenomenal saat itu).
Penjajah, Belanda tentu geram dan sangat marah dengan mural-mural yang membakar semangat perlawanan untuk mengusir dirinya. Tetapi bagi kita saat itu, nasionalisme dan patriotisme yang disuarakan di ruang terbuka tersebut adalah untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap penjajah. Api yang membara melawan penjajah, Merdeka Ataoe Mati, Boeng Ajo Boeng dan seterusnya. Memaknai itu semua adalah dua kepentingan yang bersilangan yang sangat konfrontatif. Tamparan bagi harga diri (negara dan bangsa) Belanda, dan bagi kita itu adalah dukungan moral yang sangat menentukan bagi perjuangan bangsa melawan kolonial.
Mural atau karikatur atau kartun-kartun, juga sangat massif bahkan terstruktur dan sistemik pada masa rezim Orla. Yang tidak sepakat dengan kebijakan dan keputusan politik rezim Soekarno akan dibantai dan diserang habis-habisan bahkan dipenjarakan. Mural, karikatur dan lainnya sangat berarti sebagai alat agitatif, perang pikiran, dan alat konfrontatif. Karya Seni sebagai sebuah prores kreatif, itu semua sangat bergantung pada nurani, logika dan akal waras senimannya.
Kita contohkan di antaranya pada masa rezim Soekarno, dimana para penghamba kekuasaan melakukan serangan kepada yang tidak menyokong rezim dengan mural atau karikatur dan coretan-coretan lainnya, seperti, ada gambar orang berdasi, bertopi dan berkacamata dengan mulut terbuka mengeluarkan lembaran-lembaran berisi tulisan: LIP (di bibir atas), KAMI REVOLUSIONER. SERVICE. PENGABDI PANTJASILA. MANIPOLIS. TIDAK ANTI NASAKOM (Mei 1964).
Ada gambar beberapa orang di sebuah pusara; satu pria menghadap makam, suami istri di samping makam dan satu pria di smping suami istri. Pada kepala makam (Tataban) ada tulisan: MANIKIBE. Pada tengah makam bertuliskan: HUMANIS UNIVERSAL, KKPSI. Tulisan paling bawah gambar seorang lelaki dan pasangan suami istri: BU-BU- NANANG LIAT JANG BERKABUNG KOK AJEM ADJA (31 Mei 1964).
Ada gambar laki-laki pakai laken dan sarung, membawa tongkat (semacam tongkat berbendera) dengan tulisan: REVOLUSIONER MENDUKUNG MANIPOL/USDEK. DWI KORA. ACC. Pada bagian pantat atas bertulisan: MAJALAH SASTRA. PERNYATAAN MENDUKUNG MANIKEBU. Pada bagian pinggang bertuliskan: MANIKEBUIS (4 Oktober 1964).
Ke-3 contoh karikatur atau mural atau coret-coretan tersebut, siapa yang diuntungkan? Tentu, bukan suara Tuhan, tetapi sura kekuasaan. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, dengan sayap kebudayannya) yang sangat reaksioner dan menyebut dirinya barisan seniman, budayawan dan intelektual progresif revolusioner sebagai corong dan alat kekuasaan untuk merepresi, mengagitatif dan membombardir serangan untuk membungkam kemerdekaan berpikir dan berpendapat yang menyuarakan keresahan dan penderitaan bangsa atas salah mengurus negara. Kekuasaan menjadi sangat otoritarian di tangan Soekarno, yang membuat Bung Hatta permisi (mundur) dari kursi wakil kepresinannya.
Pada era rezim Orba-Soeharto, juga massif dengan mural, karikatur, kartun dan lainnya. Para intelektual akademik bersuara lantang tapi juga tidak didengar, dibungkam bahkan dipenjarakan. Mural-mural (anonym) tidak bisa dikendalikan. Rezim penguasa dan kekuasaan tidak berdaya melacaknya.
Mural-mural, karikatur-karikatur pada era Soekarno yang jauh lebih massif berisi dukungan penuh tanpa cacat kepada kekuasaan rezim Soekarno. Sebaliknya, pada era rezim Soeharto, justru mural, karikatur, pentas teater, dan lainnya secara massif menohok rezim penguasa Soeharto. Pembungkaman demokrasi pun banyak korban, terutama yang menjadi aktivis.
Sekarang yang terjadi, mural, karikatur, kartun, meme dan lainnya yang bersifat satir dalam ekspresi seni, dan tanpa kecuali kritik, yang banyak mengekspresikan keresahan sosial atas prilaku konstruksi daily politics yang membungkam dan mengamcam kemerdekaan menyuarakan pikiran dan pendapat, bahkan rezim Jokowi bisa dikatakan serupakan perdauan (oplosan) dari rezim politik Soekarno dan Soeharto, dimana pendekatan keamanan dan penyelesaian masalahnya lebih memilih dengan tindakan mengamankan (memenjarakan).
Sekalipun, sang Presidennya, seolah-olah menjadi negarawan yang amat sangat arif dan seperti orang suci atau yang disucikan oleh para penghamba kekuasannya. Presiden mengatakan, dalam negara demokrasi, kritik terhadap pemerintah merupakan hal yang biasa, tapi juga ingat kita ini memiliki budaya tata krama, memiliki budaya kesopansantunan (kompas.com, Rabu, 30/6/2021.09.58 WIB, atau bisa kita putar ulang video yang diunggah).
Tapinya itu: “juga ingat kita ini memiliki budaya tata krama, memiliki budaya kesopansantunan”, yang kemudian menjadi tafsir dan pemaknaan tunggal kekuasaan. Tapinya, masuk pada tafsiran “ranah dan ruang subyektif(itas), debatable yang tak akan berujung, sehingga kita tidak bisa memperdebatkan subyektivitas (seperti pasal pasal KUHAP mengenai alasan subyektif) tersebut dengan logika dan akal waras.
Ya memang keluar dari rel obyektivitas, artinya tidak bisa diuji dan tidak bisa dibantah argumentasi kosongnya tersebut. Hal yang subyektif ya bukan hal obyektif dan atau tidak akan bisa diobyektifkan, suka-suka selera saja Terkecuali, kita memiliki kejujuran. Artinya, itu bisa kita membongkar argumentasi “tapinya itu“ dengan pendekatan “dekontruksi” Jacques Derrida. Tetapi, itu semua akan menjadi nihilism, jika absurd masih mendingan masih bisa kita bedah dengan logika dan akal waras.
Demikian juga dengan mural 404: Not Found dan Dipaksa Sehat Di Negeri Yang Sakit. Kekuasaan akan menganggap penghinaan dan atau olok-olok yang mempermalukan dan menyakitkan, tetapi bagi kita yang melihat realitas sosial, itu sebagai kritik yang mengingatkan rezim penguasa akan keresahan sosial atas prilaku kekuasaan.
Para grafiter sebagai pembuat mural itu harus kita katakan sebagai pejuang yang tanpa pamrih sebagai juru bicara nurani publik yang terpinggirkan dan tersingkirkan, mengakumulasikan keresahan sosial atas situasi dan kondisi dibanyak hal yang bagikan langit dan bumi terbentang dalam konstruk daily politics.
Dalam realitas sejarah, negara yang dikendalikan atau dibelenggu oleh kekuasaan, dimana kekuasaan penyelenggara negara makin menafikkan dari republik dan demokrasi, kekausaan akan menjadi otoritarianisme, dan civil society tidak berdaya untuk menyuarakan pikiran dan pendapatnya, dibungkam dan diburu wajah-wajah yang mengancam. Kemerdekaan yang hilang.
Negara tidak lagi hadir sebagai negara, dan bangsa menjadi terbelah dan bahkan menjadi pertikaian sesama bangsa yang bisa tak berujung. Rakyat menjadi tumbal dan ditumbalkan atas nama negara. Negara tak berdaya melawan kekuasan penyelengara negara, dalam hal ini Presiden yang memainkan negara sebagai alat kekuasaan untuk bisa membungkam dan memenjarakan semua orang yang tidak sepakat dan atau yang mengkritik atau yang mengolok-oloknya, terkecuali yang memuji-mujinya. Presidenya memainkan siluet, seolah-olah welcome terhadap kritik dan olok-olok, tetapi realitas politiknya diburu oleh aparatus negara dan diserang maki-makian oleh para penghamba kekuasaan dan buzzer-buzzer yang berada dalam sumbu kekuasaannya.
“Jangan mengganggu apapun kesalahan pemerintah. Saya membacanya ada banyak situasi di negeri ini yang Presiden RI yang hari ini adalah Joko Widodo yang ada di gambar itu. Itu dia ingin katakan bahwa ada banyak situasi dan problem yang presiden tidak, belum atau agagal menanggulanginya.”(Haris Azhar, Chanel)
“Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada yang membuat mural tersebut itu adalah alarm demokrasi, artinya sistem demokrasi kita bekerja. Bukan melanggar hukum karena bukan gambar yang menghina, bukan gambar yang merugikan martabat seseorang, bukan gambar yang melanggar moralitas publik. Jadi tidak ada alasan untuk menghalangi kekebasan untuk menyampaikan ekspresi dari teman-teman seni tersebut. Tidak bisa dipidana. Jadi saya cukup turut serta dan cukup protes jika polisi mencari pembuat mural tersebut. Polisi perlu menghargai dan memahami ekspresi dari seni, seni garfiti atau mural. Bahwa dibilang itu menghina lambang negara. Presiden adalah Kepala Negara, bukan lambang negara“(Ibid).
“Kalau ada yang bilang merugikan orang lain, dinding atau tempat gambar yang ditempel itu adalah fasilitas publik. Tidak ada yang rusak dari fasilitas publik tersebut, bahkan jauh lebih indah ada gambarnya dibandingkan gambar yang polos. Jika ada staf Sekneg yang komentar, biarkan saja berkomentar karena dia baru diangkat jadi staf khusus, jadi butuh dia menunjukkan bahwa dia sudah bekerja untuk jabatan tersebut tapi komentarnya tidak ada kontributif untuk menyelesaikan masalahnya“(Ibid).
“Saya melihat bahwa ada banyak keresahan masyarakat, ada banyak masyarakat yang mengidentifikasi bahwa hak-hak mereka mulai diabaikan oleh pemerintah baik it dibatasi maupun diambil maupun disalahgunakan. Kewengang-kewengan yang ada di pemerintah itu tidak punya relavansi untuk menjawab perubahan di masyarakat. Tidak akan cukup energi pemerintah untuk menghalangi, untuk merepresi berbagai macam ekspresi yang mucul dari masyarakat.
Dibanyak situasi kelompok yang kontributif adalah teman-teman pekerja seni. Anda mau cek di Mesir ketika revolusi, Amerika Latin situasi apapun pasti ada ekspresi yang muncul dari teman-teman seni selain dari teman-teman akademisi, jurnalis, ada banyak kelompok yang dia secara otomatis, ini bukan diatur tapi ini alamiah dari masyarakat untuk memunculkan penderitaannya apa yang dia lihat, kerugian, kesalahan, penyalahgunaan wewenang. Itu semua pasti akan terpotret dan akan dituangkan keberbagai macam bentuk-bentuk aksi, protes atau ekspresi” (Ibid).
“Kita masyarakat harus lebih banyak protes, penyampaian dari apa yang kita temukan baik itu kesalahan maupun penyalahgunaan wewenang, pendeirtaan, apapun harus itu harus kita komunikasikan. Jangan takut. Justru dari situasi ini saya ingin mengajak untuk lebih berani menyampaikanm kesalahan atau problem-problem hubungan antara kekuasaan dengan warganya di berbagai hal di berbagai tempat wilayah di berbagai kelompok.
Mari kita beritahu kepada penguasa tidak usah gegabah, tidak usah represif tidak usah dikit-dikit menghukum mencari, tak usah. Justru harusnya teman-eman yang biasa melakukan mural atau graffiti tersebut harus dikasih ruang, diperbanyak mengeskresikan dan menyampaikan. Jadi lebih menarik, edukatif dan lebih semarak. Pesawat presiden saja dimural dengan merah dan putih. Kenapa masyarakat tidak boleh melakukan cat mengecat. Perintah seharusnya memahami gambar tersebut lalu juga mengoreksi diri dan meminta polisi untuk tidak melakukan pemidanaan kepada siapapun yang membuat mural tersebut” (Ibid).
“Ini adalah ketegangan pemerintah dengan warga. Ketegangan pemerintah yang memang makin tidak bisa mengontrol kesalahannya yang makin diketahui oleh masyarakat. Ini reskiko yang kita sebagai warga harus hadapi, anda diam akan semakin buruk kalau anda respon anda diperlakukan buruk. Jadi sebetulnya tidak ada pilihan buat kita, yang penting baik buat kita menyampaikan fakta yang sebenarnya dan apa yang seharusnya secara norma dan prinsip itu diterapkan atau terjadi” (Ibid).
“Ajaibnya kalau mural itu memuji presiden, muralnya gak dihapus, kalau ngeledek justru dihapus. Padahal dua-duanya adalah bentuk ekspresi. Ekspresi pujian dan ekspresi kritik. Itu statusnya sama. Orang yang memuji maupun yang mengolok-olok sama-sama bentuk ekspresi. Mestinya dibiarkan saja. Saya senang kalau mural Jokowi Not Found itu dipasang di kaos anak-anak muda, sehingga orang bertanya apa artinya not found, jadi bahan pembelajaran” (Rocky Gerung, FNN Chanel).
Oleh sebab itu, untuk menjaga, merawat keajegan negara dan untuk merebut kembali kemerdekaan yang hilang itu, para graffiter bicara dengan muralnya, antara lain, 404: Not Found Presiden Jokowi, Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit. Para sastrawan; Penyair bicara dengan puisi/sajaknya, cerpenis bicara dengan cerpennya, Novelis bicara dengan novelnya, Dramawan bicara dengan dramanya.
Karikaturis bicara dengan karikaturnya. Kartunis bicara dengan kartunnya. Komikus bicara dengan komiknya. Perupa bicara dengan gambar atau lukisannya. Musisi bicara dengan musiknya.
Budayawan dan intelektual bicara dengan analisis akademiknya, Kritikus bicara dengan kritiknya, dan para Pelajar-Mahasiswa bicara dengan apa yang dirasakan dan apa yang dilihat dengan logika dan akal waras yang digodog dalam kawah canradimuka, kemudian terpaksa harus menjadi parlemen jalanan bersama-sama rakyat dan kaum intelektual untuk menjaga kejatuhan dan kehancuran negara dan bangsa.
Kehancuran negara dan bangsa sejatinya adalah dirusak oleh rezim penguasa dan para penghamba kekuasaan yang menuhankan kekuasaan. Mereka seolah-olah menjaga dan merawat negara dan bangsa dengan berbagai dalil-dalil (kepalsuan) untuk memperkuat apologinya; seolah-olah demi kepentingan negara dan bangsa. Sejatinya adalah menjaga kelangsungan perut kekuasaannya.
Sosiologi sejarah dan politik di negeri ini selalu mengatakannya seperti itu. Kekuasaan penguasa mengendalikan negara, kemerdekaan untuk bersuara menyatakan pikiran-pikiran dan pendapat atas fakta dan realitas dibungkam dan diburu, jika bersebrangan dengan kepentingan kekuasaan. Ruang yang terbuka adalah untuk memuji-muji atau puji-pujian seperti dalam “Peradaban Baginda”, tradisi dan budaya Raja dan Kerajaan, yang dalam arena republik dan demokrasi itu merupakan penghinaan atas peradaban adab yang bermartabat.
Bagi kita yang masih mempunyai logika dan akal waras, dengan mural 404: Not Found, Dipaksa Sehat Di Negeri Yang Sakit, dan sastra yang bicara, karikatur yang bicara, kartun yang bicara, meme yang bicara, lukisan yang bicara, dan kritik yang bicara, dan lain-lainnya justru kita bisa melakukan pembacaan atas situasi dan kondisi sosial dalam konstruksi daily politics sebagai panorama dan fatamorgana yang menghatu biru (baca: kelabu).
Paling tidak, kita mendapat petunjuk pembacaan situasi dan kondisi sosial yang komprehensif secara sosiologis dan politis sebagai alat bukti permulaan yang lebih dari sekedar cukup, sehingga kita bisa terus menerus tanpa lelah untuk bisa menjaga dan merawat negara dan bangsa agar kemerdekaan yang hilang bisa kita rebut kembali, agar kebenaran dan keadilan yang dibungkam bisa kita suarakan, dan kita dinyatakan kembali.
Itu semua, tidak bisa dimanipulasi dengan pidato-pidato kenegaraan, bagi sembako dan mengumpulkan orang. Tidak bisa dimanipulatif dengan kertas-kertas seminar dari para intelektual salon yang dibagikan. Tiktokan tidak akan berarti apa-apa, sebab empirik sebagai realitas suatu fakta harus kita setia menjaganya sebagai kenyerian sejarah yang harus kita buka kembali dan dibaca berulang-ulang dalam keredupan cahaya untuk negara dan bangsa.
“404: Not Found, mural Tangerang, Dipaksa Sehat Di Negeri Yang Sakit, mural Pasuruan” yang disuarakan tersebut, secara kualitatif negara dan negeri ini berada dalam situasi dan kondisi SOS, berada dalam pelukan otoritarianisme yang dipagarbetis oleh oligarki, cukong, pecundang dan intelektual salon. Itu semua, semoga kita bisa merenuangkannya untuk membangun kesadran kolektif untuk segera bergegas dan berbenah sebelum matahari tenggelam dan cayaha redup. Membaca kembali dengan kejujuran, karena ketiadaan kejujuran, kita akan tenggelam dan binasa.
Siapa lagi jika kika bukan kita yang menjaga dan merawat negara dan bangsa? Karena suara rakyat suara Tuhan, dan berarti suara yang mengandung kebenaran, maka harus ada kaum (sekumpulan orang) yang menyeru (berbuat) kepada kebajikan (QS. Ali-Imran: 104), untuk meluruskan, dan mengingatkan penguasa agar tidak tergelincir dalam kebinasaan suatu bangsa, negeri.
Penguasa, No! Oligarki, No!, Pecundang, No! dan Intelektual Salon, No!. Umar bin Khottob belum bisa kita temukan. Kemerdekaan yang hilang harus kita rengkuh kembali di tengah angin, gelombang dan badai, di mana penguasa, oligarki, intelektual salon dan para pencung terus berjalan menggiring negara dan negeri ini ke rumah otoritarianisme bahkan ke fasisme. ***
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. e-mail: jurnalepkspd@gmail.com