Jakarta, Demokratis
Ceramah agama yang dinilai bermuatan penghinaan dan ujaran kebencian beredar di media sosial. Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi melihat hal itu tidak terlepas dari tingkat kompetensi penceramah, baik terkait teknik komunikasi maupun pengetahuan substansi. Oleh karena itu, perlu penguatan kompetensi penceramah.
“Jelas perlu penguatan kompetensi. Ini bisa menjadi tugas bersama Kementerian Agama dengan ormas keagamaan di semua agama,” ujar Wamenag dalam keterangan pers diterima, Senin (23/8/2021).
Wamenag menyebutkan, dua tahun terakhir ini, Kementerian Agama (Kemag) sudah menggulirkan program penguatan kompetensi penceramah yang dilakukan oleh semua Ditjen Bimbingan Masyarakat (Bimas).
“Kemag dalam dua tahun terakhir sudah menggulirkan program ini dan tentu perlu dioptimalkan untuk semua Ditjen Bimbingan Masyarakat, baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha, termasuk Pusat Pembinaan dan Pendidikan Khonghucu,” paparnya.
Menurut Wamenag, peristiwa ceramah yang dinilai bermuatan ujaran kebencian dan penghinaan tidak hanya terjadi di satu agama. Ada kalanya itu terjadi saat penceramah mengomentari agama lainnya. Padahal, bisa jadi pengetahuannya tentang hal itu terbatas.
“Ceramah sebaiknya diarahkan untuk memperdalam keyakinan umat, tanpa harus menyinggung keyakinan yang lain. Ini juga bisa menjadi bagian muatan pembinaan oleh ormas keagamaan,” ujar Wamenag.
Wamenag menambahkan, perkembangan teknologi berikut regulasinya juga perlu menjadi perhatian para penceramah. Saat ini ada UU ITE yang mengatur aktivitas di dunia maya, termasuk ceramah. Hampir semua masyarakat juga punya gawai yang bisa mereka gunakan untuk merekam lalu menyebarkan isi ceramah.
“Pemahaman tentang media sosial dan UU ITE juga bisa menjadi muatan pembinaan dalam penguatan kompetensi penceramah,” jelasnya.
Wamenag berharap ceramah tidak diwarnai ujaran kebencian dan penghinaan. Dalam kondisi seperti saat ini, semua pihak mestinya bisa saling merajut kebersamaan dan kerukunan. (Djoni)