Pada tahun 1956, Hoegeng dimutasi sebagai Kepala Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara yang sebenarnya dia tolak. Sebelum berangkat, Tengku Azis, seorang perwira Polri yang kemudian menjabat Deputi Kapolri saat Hoegeng menjabat Kapolri, memberitahu tentang karakter situasi di Medan, khususnya dunia bisnis yang didominasi “Cina Medan”.
“Mereka sangat ulet mendekati pejabat-pejabat yang ditempatkan di Medan, terutama kejaksaan dan kepolisian. Tentu saja ada maunya, bagai kata pepatah ‘ada udang di balik batu’,” Tengku Azis memberitahu.
Kata Tengku lagi, mereka datang dengan hadiah menggiurkan. Dengan menyuap pejabat mereka bertindak leluasa melakukan bisnisnya, tentunya ilegal. Seperti “smokel” (penyelundupan) dan perjudian.
Menumpang kapal laut bersama keluarga, dia disambut di Dermaga Belawan Medan oleh sejumlah perwira Polda Sumut, berkenalan, dan beramah tamah dengan kenalan mereka.
Setibanya di pos tugas baru, Hoegeng sekeluarga dua bulan menginap di Hotel De Boer, sembari menunggu Arief Endah Rangkayo, pejabat yang digantinya, pindah ke Makassar dan baru rumah dinas di Jl A Rivai 26 Medan kosong.
Baru saja turun di Dermaga Belawan, apa yang diinfokan Tengku Azis itu mulai dialami Hoegeng. Seseorang yang mengaku utusan kelompok pengusaha Cina Medan memberitahu Hoegeng bahwa rumah dan mobil sudah tersedia.
“Barang-barang itu disimpan saja dulu, nanti akan dihubungi jika saya memerlukannya,” Hoegeng menolak dengan halus.
Saat pindah ke rumah dinas, Hoegeng kaget. Entah bagaimana caranya utusan itu tahu jadwal kepindahan Hoegeng. Saat dia menengok pada pagi harinya, perabotan seperti piano, kulkas, tape, kursi tamu, beserta perabotan lain sudah terpasang di rumah dinas. Hoegeng minta agar barang-barang tersebut disingkirkan yang ternyata hingga waktu yang ditentukan ternyata tidak dilakukan.
Dia tak sabar lagi. Pada anggota kepolisian yang membantu dan kuli dia minta perabot-perabot tersebut dikeluarkan dan diletakkan saja di tepi jalan di depan rumah. Sempat juga dia berpikir, sayang sebenarnya membuang perabot mewah itu, yang entah kapan dapat dibeli sendiri.
Tidak terhitung jumlah kasus penyelundupan dan perjudian di Sumut yang berhasil dibongkar selama dia menjabat. Sekali ditangkap bisa dua tiga orang mereka yang terbekuk. Dia juga menangkap basah anggota tentara dan kepolisian yang menjadi bekingnya.
Ada seorang anggota polisi berpangkat Kompol menjadi beking penyelundupan minyak nilam dalam partai besar di Teluk Nilang untuk diseberangkan ke Penang, Malaysia, ternyata menaruh dendam. Oknum tersebut menyantet Hoegeng melalui perantaraan dukun.
Namun, dukun itu tidak tahan sendiri, hingga dia menghadap Hoegeng untuk minta ampun dan menyembuhkan Hoegeng. Usaha Hoegeng menggiring Kompol ke pengadilan dibatalkan karena dia keburu minta pensiun.
Hoegeng juga pernah menggrebek sebuah arena perjudian yang dibeking oknum tentara di lantai atas sebuah rumah. Tidak terlalu sulit bagi Hoegeng berkoordinasi dengan “bos” tentara di Sumut, karena Kolonel Mahidin Simbolon yang menjabat Panglima Teritotial Tentara (Kodam) Bukit Barisan adalah figur terkenal bersih dan antikorupsi serta antikoruptor.
Menjelang diangkat sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. Sebelum dirinya dilantik, dia minta kepada istrinya Merry agar menutup usaha kembangnya. Hoegeng tidak ingin ada orang datang pesan kembang untuk menyampaikan ucapan selamat kepadanya dari usaha kembangnya sendiri.
Tidak mudah dia bertuas di Imigrasi karena berhadapan dengan situasi pelik. Masalahnya, banyak instansi yang “menitipkan” orang-orangnya hanya untuk membantu kelancaran teknis instansinya sendiri dalam pengurusan jasa keimigrasian. Bahkan, Hoegeng pernah mendapatkan bukti seorang oknum jawatan atau instansi lain, mengintervensi jawatan yang dipimpinnya dengan hanya nota yang ditulis di atas bungkus rokok. Usaha Hoegeng memotong intervensi pihak eksternal ternyata berhasil.
Hoegeng pernah memecat seorang karyawan yang minta cuti, padahal jatah cutinya selaku pegawai negeri telah habis. Dia juga menolak permintaan seorang pengusaha besar yang hendak memperoleh paspor diplomatik dengan mengklaim bahwa dia “anak emas” Bung Karno.
Selama bertugas di Imigrasi, Hoegeng mengenakan seragam anggota Polri karena dia hanya menerima gaji seagai anggota Polri, tidak mengambil gaji dan fasilitas di Jawatan Imigrasi. Hoegeng berhenti di Jawatan Imigrasi karena dipromosi menjadi Menteri Iuran Negara 19 Juni 1965, dilantik di Istana Negara dalam “Kabinet 100 Menteri”.
Ketika menjabat Menteri Iuran Negara ini, suatu hari dalam penerimaan pegawai di Ditjen Bea Cukai yang dibawahinya, seorang pelamar mambawa “katabelece” (nota permintaan khusus) dari dr Leimena. Maksudnya tentu jelas.
Teringat pesan Leimena sendiri, Hoegeng berkirim surat pada beliau. Intinya, Hoegeng tidak dapat memberi jaminan bahwa pembawa “katabelece” dapat diterima sebagai pegawai. Esoknya, Leimena mengontak Hoegeng, minta maaf karena telah membuat nota.
Hoegeng dilantik sebagai Panglima Angkatan Kepolisian (kini Kapolri) 15 Mei1966, menggantikan Jenderal Soetjipto yang mengundurkan diri bersama para deputinya. Pada masa kepemimpinannya, Hoegeng melakukan dua pembaruan, pertama, mengubah Angkatan Kepolirian Republik Indonesia (AKRI) menjadi Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kedua, istilah Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian RI diganti menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri).
Ketika menjabat Kapolri, pukul 07.00, Hoegeng sudah ada di kantornya, di Mabes Polri Kebayoran Baru Jakarta Selatan, saat stafnya belum lagi tiba. Dari rumah pribadinya di kawasan Menteng ke kantor, setiap hari dia mengubah rute perjalanannya. Maksudnya untuk melihat gambaran situasi dan dalam kaitan dengan inspeksi berkaitan dengan tugas kepolisian.
Dia tidak malu mengambil alih tugas teknis seorang anggota polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di tempat. Misalnya, saat terjadi kemacetan di sebuah persimpangan jalan yang sibuk. Mengenakan baju dinasnya, dia melaksanakan tugas seorang polantas di jalan raya dengan ikhlas, sekaligus memberi contoh dan motivasi bahwa polisi adalah pelayan masyarakat.
Di depan rumah pribadinya, Hoegeng tidak memasang gardu penjaga agar senantiasa dekat dengan masyarakat. (Kini, untuk alasan keamanan wajib ada penjaga di depan rumah pejabat polisi). Dia membuat ini agar masyarakat tak perlu merasa takut dan enggan bertamu ke rumah seorang Kapolri. Dia menjabat Kapolri hingga 1971. ***