Jakarta, Demokratis
Apabila isunya hanya PPHN, yang tidak punya payung hukum. Sementara kita cari jalan keluar lain sebagai payung PPHN bukan dengan undang-undang.
“Pada tempo menjelang pemilu yang waktu efektifnya tersisa dua tahun lagi yang akan digelar pada tahun 2024. Artinya tak semudah yang kita bayangkan untuk mengamandir UUD 1945,” kata Yanuar Prihatin anggota DPR/MPR RI di Jakarta, Rabu (2/9/2021).
Dengan waktu yang begitu mepet, di sisi lain padahal pada prakteknya selama ini sudah ada yang memayungi Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang ditetapkan lewat undang-undang produk DPR bukan oleh MPR.
“Dengan adanya alasan yang baru bahwa tidak cukup dengan undang-undang. Maka sebaiknya dengan Ketetapan yang lebih tinggi yang harus kita bikin bersama,” terang Yanuar lagi.
“Bahwa amandemen Undang-Undang Dasar 1945 memang bukan hal tabu, tapi kami mengajak untuk digali, dikaji lebih dalam, didiskusikan sebagai bagian dari proses pendewasaan politik kita lebih dahulu,” usulnya.
“Karena melarang amandemen juga tidak tepat. Bebas-bebas saja orang bicara soal wacana apa saja tetapi konteksnya harus terkait dengan permasalahan yang kita miliki hari ini,” tantangnya.
“Apabila belajar mulai sejak amandemen yang terakhir kemarin yakni dari tahun 1999, 2000, 2001, 2002. Apakah hasil hasil amandemen sudah efektif, kita cek saja perjalanan bangsa kita sejak reformasi,” jelas dia.
“Apa levelnya terus up and down atau malah standar saja alias cuma rata-rata saja,” kata Yanuar.
Seperti alokasi dana pendidikan 20 persen dari APBN. Betulkah yang salah adalah konstitusi atau regulasi di bawahnya. “Jangan-jangan mungkin aspek teknis, aspek teknokratis yang terjadi di lapangan yang malah jadi sebabnya,” ungkapnya.
“Semestinya apabila konstitusi, undang-undang dan peraturan-peraturan lain sudah oke. Tapi masih macet juga. Berarti ini kan soal teknis orangnya, soal keadaan di lapangan. Hal ini juga harus betul-betul kita urut sampai dengan detail juga,” tandasnya. (Erwin Kurai Bogori)