Pada 24 Januari 1874 dalam agresi II ke tanah Aceh, Belanda berhasil menduduki istana dan Masjid Raya. Namun Belanda tidak berhasil menangkap Sultan beserta keluarganya. Sultan beserta keluarganya dan pengikutnya sudah lebih dulu menyingkir ke Longbata pada tanggal 15 Januari 1874.
Dari pelarian ini, para pejuang yang berada di kaki Gunung Seulawah tersebut tak sabar dan menderita terus-menerus dalam hutan menahan gigitan nyamuk Malaria. Oleh karena itu, ada beberapa dari mereka kembali ke kampung halaman, ada juga yang meneruskan pelarian.
Pada awal tahun 1881, para pelarian ini tiba di Tiro menjumpai Tengku Chik Muhammad Amin Dayah Tjut, seorang ulama Tiro yang mempunyai pengaruh besar. Dua kali diadakan musyawarah antara pemimpin-pemimpin dan ulama-ulama seluruh Pidie.
Keputusannya diangkatlah Muhammad Saman, yang kemudian dikenal dengan Tengku Chik di Tiro, menjadi panglima perang untuk merebut kembali tanah air yang telah jatuh ke tangan musuh.
Chik di Tiro lahir di Dayah Jrueng Kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh, pada tahun 1836 bertepatan dengan 1251 Hijriyah. Masa kecilnya dibesarkan dalam lingkungan agama yang taat.
Dalam meneguhkan ilmu agamanya, Chik di Tiro banyak belajar kepada para ulama terkenal di daerah Tiro. Itu pula lah sebabnya ia dipanggil dengan sebutan Tengku Chik di Tiro. Ia memang dikenal sebagai anak yang suka belajar agama dan mendalami ilmu-ilmu baru.
Setelah beberapa tahun di Tiro, hatinya tergerak untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam lagi ilmu agama serta menambah wawasannya di Mekkah. Sebelum keberangkatannya ke Mekkah ia minta restu pada pamannya yang sekaligus gurunya, Tengku Dayah TJut di Lam Krak.
Di Mekkah selain menunaikan haji, Chik di Tiro juga mempergunakan waktunya untuk menjumpai pemimpin-pemimpin Islam yang ada di sana. Dari mereka, Ia tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imprialisme dan kolonialisme.
Selain itu, ia juga bertemu dengan pejuang Islam lainnya yang berasal dari Jawa, Sumatra, Kalimantan dan pulau-pulau lain di Indonesia. Dari hasil pendidikan agama dan pengalaman selama berada di Mekkah dan ikut perjuangan di Lam Krak itulah tertanam di dalam jiwanya yang berakar dalam dan teguh.
Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, dirinya sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikannya dalam kehidupan nyata.
Dengan demikian, dalam kondisi yang amat genting saat keraton, mesjid raya, dan wilayah lainnya dikuasai Belanda serta semangat pejuang yang mulai menurun. Sangat tepat kalau kemudian muncul kepemimpinan Chik di Tiro.
Pada akhirnya, perang dikumandangkan menyebar ke seluruh wilayah Aceh. Seluruh lapisan masyarakat bahu-membahu mengangkat senjata untuk mengusir Belanda dari bumi Aceh.
Surat Chik di Tiro kepada Belanda
Pengaruh Teungku Chik di Tiro semakin meningkat sejak tahun 1882. Hal ini dapat dilihat dari satu instruksi rahasia oleh pemerintah Hindia Belanda yang memerintahkan Gubernur Jenderal Aceh untuk memberi hadiah bagi orang yang sanggup menyerahkan pemuka Aceh seperti Teungku Chik di Tiro, hidup atau mati, sebesar 1000 dollar.
Apa yang menyebabkan Belanda begitu bernafsu menghabisi Teungku Chik di Tiro? Hal ini karena begitu efektif dan masifnya dakwah Teungku Chik di Tiro. Lewat kenduri-kenduri, ia menyebarluaskan ajakan perang sabil.
Usaha pertama yang dilakukannya adalah membangkitkan semangat para pejuang dan mengumpulkan mereka dalam satu kesatuan yang kokoh yang tidak dapat dipecah belah. Untuk itu, ia mengadakan perjalanan keliling Aceh.
Dakwah Teungku Chik di Tiro bukan menyasar rakyat jelata Aceh saja, tetapi juga mengingatkan para uleebalang dan keuchik yang telah berpaling kepada Belanda agar kembali ke jalan Perang Sabil. Penyampaian surat-surat ini biasanya didelegasikan kepada para pemimpin agama, seperti Teungku Polem di Njong, Teungku Awe Geutah di Peusangan, dan lainnya.
Menukil buku H.C Zentgaff berjudul Aceh, salah satunya adalah suratnya kepada semua uleebalang, Imum, wakil keuchik termasuk Teuku Baid, uleebalang dari Tujuh Mukim. Teungku Chik di Tiro dalam suratnya mengajak para pemimpin itu dengan surah Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:
“Hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada makruf dan mencegah dari yang munkar.”
“Janganlah tuan-tuan sampai tertipu oleh kekuasaan kaum kafir, dengan harta mereka, dengan persenjataan-persenjataan mereka serta serdadu-serdadu mereka yang baik dibandingkan dengan kekuatan kita, milik-milik kita, persenjataan-persenjataan kita dan kaum muslimin, karena tidak ada yang berkuasa, yang kaya dan tidak ada yang memiliki balatentara yang terbaik selain Allah SWT. Yang Mahakuasa dan tidak ada yang dapat memberikan kekalahan dan kemenangan selain Allah SWT Rabbal ‘alamin”
Chik Di Tiro juga mengirim surat pada penguasa Belanda di Kutaraja. Pada tahun 1885, atau 12 tahun setelah pecahnya perang, dirinya dengan percaya diri menulis surat pada asisten Residen Belanda di Kutaraja. Isi surat itu hanya dua poin utama, selain permintaan Belanda agar meminta maaf kepada dunia karena telah menyerang Kesultanan Aceh, juga menyeru kepada Belanda untuk masuk Islam.
“Tuan Besar masuk agama Islam mengucap dua kalimah syahadat. Insya Allah sampailah tuan dunia akhirat, sempurna dunia dapat kerajaan [memerintah] dengan senang, boleh tuan Besar perintah atas Negeri Aceh ini.”
Surat tersebut baru dibalas pada tahun 1888, dengan menolak seruan Chik Di Tiro. Sebuah keputusan yang melahirkan duka berkepanjangan bagi Belanda, sebab akibatnya harus banyak korban jiwa dan anggaran dana perang yang tak sedikit harus dicurahkan ke Aceh.
Perang Sabil masyarakat Aceh
Taktik Belanda pada satu dekade pertama kehadiran mereka, memang lebih mementingkan strategi yang defensif. Mereka lebih memilih menguatkan wilayah yang mereka kuasai dan bertahan pada pos-pos mereka.
Strategi Belanda yang tetap berporos pada ‘konsenterasi lini,’ dan membuat mereka tidak agresif mengejar para gerilyawan Aceh. Sebaliknya, pos-pos pertahanan Belanda menjadi bulan-bulanan gerilyawan Aceh.
Pada tahun 1886, lebih dari empat kali pos-pos Belanda diserbu pejuang Aceh di bawah Teungku Chik di Tiro. Setahun kemudian, lebih dari 400 orang pasukan Chik di Tiro berhasil menembus pertahanan Belanda.
Pejuang Aceh membagi dirinya menjadi beberapa kelompok, melakukan serangan-serangan ke depan konsenterasi lini, menembaki pos-pos dan melakukan serangan-serangan sabotase terhadap transportasi Belanda, menyerang patroli, menyabotase jalur kabel telepon, rel kereta, dan menghancurkan jembatan-jembatan.
Kesalahan Belanda lain adalah ketidaktahuan mereka akan pengaruh Islam di Aceh. Perang gerilya tidak mungkin dapat terlaksana tanpa bantuan penduduk setempat. Justru nyawa perang tersebut terletak dari suplai dan dukungan penduduk setempat yang seringkali mengandalkan logistik dari rakyat setempat.
Tak hanya keteguhan hati dan keberanian yang membuat Teungku Chik di Tiro berhasil melawan penjajah. Faktor penunjang lainnya adalah inspirasi dari Hikayat Perang Sabil atau Hikayat Prang Sabi.
Menurut Zentgraft, mantan serdadu Belanda yang beralih profesi menjadi wartawan, karya sastra dari Teuku Chik Pante Kulu ini telah menjadi momok yang sangat ditakuti Belanda. Menurutnya, belum pernah ada karya sastra di dunia yang mampu membakar sisi emosional manusia untuk rela berperang dan siap mati, kecuali Hikayat Perang Sabil.
“Kalaupun ada karya sastrawan Prancis, La Marseillaise, di masa Revolusi Perancis, dan Common Sense di masa perang kemerdekaan Amerika, namun kedua karya sastra itu tidak sebesar pengaruh Hikayat Perang Sabil yang dihasilkan Muhammad Pante Kulu,” tulis Zentgraft.
Kepada kaum muslimin yang tak bertempur, Teungku Chik di Tiro mengumpulkan zakat untuk membiayai perlawanan kaum muslimin. Ia juga memberi imbalan pada kaum muslimin yang berhasil merebut senjata dari kompeni.
Satu hal yang paling penting, ia adalah otak di balik penyerangan-penyerang terhadap pos-pos militer Belanda. Kelompok pasukan Aceh di bawah asuhannya mendapat pelatihan berat yang menekankan pada latihan-latihan keagamaan.
Pengaruh Chik di Tiro memang tak tertandingi oleh ulama-ulama lain di Aceh. Sejarawan Anthony Reid menyebutnya ahli teori dan strategi perang suci yang cerdas. Sementara, Zentgraaff menyebutnya sebagai orang yang mengorganisir Perang Sabil. Ia menilai seruan Chik di Tiro berdampak besar pada rakyat Aceh.
“…ia merumuskan persoalannya dengan sederhana sekali: Menganut agama Islam dan hidup berdamai dengan orang-orang Aceh atau diusir dari daerah itu secara kekerasan dengan ancaman: masuk neraka di akhirat
Namun takdir menentukan nasib Teungku Chik di Tiro. Pada 25 Januari 1891, ulama ini wafat. Tersiar kabar bahwa beliau diracun oleh anaknya sendiri, Teungku Muhammad Amin.
“Namun kabar itu sendiri tak dapat dibuktikan kebenarannya. Tampaknya itu merupakan propaganda yang dihembuskan pemerintah kolonial, agar memecah belah pasukan Aceh,” tulis Ismail Jakub, dalam buku Tengku Tjhik Di-Tiro (Muhammad Saman), Pahlawan Besar dalam Perang Aceh (1881-1891). ***